Pasutri Y F Surifin-F Marsilin: Menapaki Jalan Anugerah Tuhan

99
Berlimpah Kasih: Pasutri Surifin-Marsilin bersama anak-anak dan cucu mereka.
[HIDUP/Celtus Jabun]

HIDUPKATOLIK.com – Anak pertama meninggal. Anak kedua gugur dalam kandungan. Anak-anak keempat dan kelima berkebutuhan khusus. Bahagia berganti duka, duka berganti bahagia. Allah adalah kasih, sumber segala kebahagiaan.

Kelahiran sang buah hati hadir sebagai anugerah indah bagi pasutri Yuvensius Fransiskus Surifin dan Fransiska Marsilin, yang menikah pada 1984. Saat itu, Surifin dan Marsilin tinggal di Sintang, Kalimantan Barat. Surifin mengajar Agama Katolik di sebuah Sekolah Dasar (SD). Sebelumnya, Surifin sempat bekerja selama satu tahun di PT Alas Kusuma, Sintang.

Kebahagiaan itu pupus, bahkan berbuntut duka mendalam, kala anak mereka meninggal pada usia 31 bulan. “Saya, hampir satu minggu tidak keluar dari kamar,” ungkap Marsilin.

Waktu bergulir, mereka perlahan-lahan berani menerima pengalaman pahit itu. Satu tahun berselang, Marsilin mengandung. Kembali, mereka merasa bahagia dan berlimpah berkat. Namun, duka kembali menghampiri. Janin dalam rahimnya hanya bertahan tiga bulan. Kepahitan duka kembali menyesakkan dada.

Surifin dan Marsilin merasa terpukul. Namun, mereka berusaha untuk tidak larut dalam pengalaman pahit yang kedua ini. Mereka tetap percaya bahwa rencana Tuhan indah. “Kami selalu yakin Tuhan itu baik kepada semua manusia,” tandas Marsilin.

Apa yang mereka yakini itu terus mereka hayati dalam mengarungi samudera rumah tangga. Pun ketika pengalaman pahit kembali bertandang: anak keempat dan kelima tidak tumbuh normal sebagaimana anak seusianya. Kedua buah hatinya mengalami kelemahan fisik dan mental. Keduanya sulit berkomunikasi dan tidak bisa berjalan normal.

Tetap Bersyukur
Pada 14 April 1988, Surifin dan Marsilin dikaruniai anak perempuan, dan mereka beri nama Lidwina Alap’m Ari. Kehadiran Lilit, demikian panggilannya, membawa suka cita besar. Mereka mendampinginya dengan kasih sayang. Kini, Lilit telah menyelesaikan pendidikan sarjana pendidikan.

Dua tahun setelah kelahiran Lilit, Surifin dan Marsilin menerima anugerah seorang putri. Tetapi, mereka dirundung khawatir karena pada saat seharusnya lahir, bayi yang dikandung Marsilin belum jua lahir.

Surifin dan Marsilin berkonsultasi dengan dokter kandungan. Dokter mengatakan, anak mereka akan lahir pada bulan berikutnya. Mereka menunggu dengan sabar, hingga pada 18 Januari 1990, anak itu lahir dan diberi nama Friska Wehellina Tutut.

Waktu berjalan, pasutri ini pun menyadari bahwa ada yang berbeda dengan Tutut. Anak ini tidak tumbuh dan berkembang seperti anak seusianya. “Kami tetap menerimanya, karena dia adalah anak kami,” tegas Surifin.

Awal 1992, Surifin memboyong keluarganya pindah ke Sebangki, Landak, Kalimantan Barat. Surifin menekuni profesi sebagai guru di SD 03 Sebangki. Di tempat baru ini, Surifin dan Marsilin membesarkan buah hati mereka. Dan, pada 6 Agustus 1992, Surifin dan Marsilin mendapat anugerah seorang putri lagi, Filaria Firna atau akrab disapa Fifir. Hampir sama dengan Tutut, anak itu mengalami perkembangan yang tidak normal. “Kami memang sempat merasa putus asa. Namun, kami selalu bersyukur karena anak adalah anugerah Tuhan,” kata Surifin.

Mendapat anugerah anak berkebutuhan khusus, tak mengurangi limpah kasih sayang Surifin dan Marsilin. Mereka dengan setia mengurus dan merawat dua anak mereka yang berkebutuhan khusus. Saat ini, Tutut berusia 24 tahun dan Fifir, 22 tahun. Sedangkan Lilit, kakak mereka, telah menikah dan dikaruniai seorang putra.

Saling Mengisi
Di tengah kesibukan sebagai Camat Sebangki, Kabupaten Landak (2010- sekarang), Surifin selalu memberikan waktu dan tenaga untuk memperhatikan buah hati mereka, khususnya Tutut dan Fifir. Surifin dan Marsilin saling mengisi dan melengkapi dalam menjaga dan mendampingi mereka.

Tentu, merawat dan membesarkan anak-anak mereka bukan hal yang mudah. Karena itu, mereka menyadari bahwa harus bekerja sama untuk mengurus rumah tangga dan mendampingi anak-anak. Sebelum berangkat ke kantor, Surifin selalu membantu sang istri untuk mengurus rumah dan anak-anak. “Dalam kondisi seperti ini, kami sebagai orangtua saling memahami. Nasihat dari Bapak, membuat saya tenang,” ujar Marsilin.

“Kami tidak mau cari pembantu. Hidup ini adalah anugerah. Kami tidak pernah mengeluh. Semuanya ini rencana Tuhan,” tambah Surifin ketika ditemui di rumahnya, Sabtu, 30/8. Surifin dan Marsilin bertekad bulat untuk semaksimal mungkin mendampingi anak-anak mereka. Ungkap Surifin, “Kecuali kami sudah menghadap Bapa, baru diurus oleh orang lain. Yang saya pikirkan sampai saat ini adalah siapa yang akan mengurus Tutut dan Fifir, ketika kami tidak ada lagi.”

Kini, sehari-hari Marsilin setia menemani Tutut dan Fifir. Ia jarang keluar rumah. Kalaupun harus, karena urusan penting, ia tidak akan berlama-lama. “Mereka selalu ada kontak dengan kami. Kalau mereka ditinggal selama satu atau dua hari, mereka pasti demam,” ucap Marsilin. Namun, perempuan kelahiran Baet Kawan, 21 Juni 1966, ini tetap menjalin relasi dan komunikasi dengan warga sekitar. “Warga di sini sangat mengerti dengan kondisi kami,” katanya.

Kehadiran Tutut dan Fifir menjadikan Surifin dan Marsilin semakin dewasa, terutama dalam mengolah emosi. “Kami dilatih untuk mempunyai kepekaan dan kesabaran. Sebagai manusia, kadang-kadang saya merasa lelah mengurus Tutut dan Fifir. Namun, keberadaan mereka tidak pernah menjadi beban bagi kami. Mereka adalah tanggung jawab kami sebagai orangtua. Apapun kondisi mereka, ya disyukuri,” ungkap laki-laki kelahiran Sebangki, 1 Januari 1963 ini.

Di celah kesibukan bekerja dan mendampingi buah hatinya, Surifin pun tetap menyediakan diri untuk terlibat dalam kegiatan di Lingkungan dan Gereja. Warga Paroki St Yohanes Pemandi Pahauman ini pernah dipercaya sebagai Ketua Umat pada 1994-2010. Hidup rohani bagi mereka adalah bagian penting untuk semakin percaya akan kehendak Tuhan. Mereka membiasakan berdoa bersama, menyandarkan diri pada Tuhan dalam menghadapi setiap babak kehidupan mereka.

Pasutri ini berpegang pada sabda Yesus: “Aku datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. Mereka mau mengikuti Sang Guru. Bagi Surifin dan Marsilin, merawat anak adalah suatu bentuk pelayanan. Maka, mereka berusaha dengan total memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka.

Celtus Jabun/Maria Pertiwi

HIDUP No.41, 28 September 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini