HIDUPKATOLIK.com – Wilayah Keuskupan Bandung ditandai oleh keanekaragaman budaya, keberagaman agama dan kemiskinan. Keanekaragaman ini menjadi tantangan Mgr Anton dalam menggembalakan umat.
Di Wisma Keuskupan Bandung, Vikjen Keuskupan Bandung RD Paulus Wirasmohadi Soeryo kepada HIDUP, Jumat, 1/8, mengungkapkan bahwa umat Keuskupan Bandung tergolong minoritas. Di daerah yang rentan konflik, khususnya karena perbedaan agama, Gereja terus berupaya menjalin silaturahmi dengan para tokoh-tokoh agama.
Menurut Pastor Didiek, silaturahmi sudah berjalan rutin dengan berkunjung ke beberapa tokoh Muslim. Upaya silaturahmi, lanjutnya, juga sudah dilakukan melalui FKUB dan komunitas Jaringan Komunikasi Antarumat Beragama (JAKA TARUB). Selain itu, para pastor paroki juga didorong untuk menjalin komunikasi dengan tokoh agama lain di wilayahnya. “Namun disayangkan, jalinan silaturahm ini di tingkat akar rumput masih dirasa kurang,” ungkapnya.
Dari sisi Internal, Pastor Didiek juga menyoroti kehidupan umat beriman yang perlu dikembangkan terkait dengan pengetahuan iman. Sejumlah umat, terutama kaum muda, meninggalkan Gereja. Ia berharap agar Gereja mencari tahu permasalahannya dan menggarap “Kultur Imani” umat.
Sementara Pengawas Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup Bandung Maria Anna Sutirah Teko, yang ditemui di rumahnya di daerah Buah Batu, Bandung, Sabtu, 2/8, memandang baik upaya Gereja dalam menjalin relasi dengan para tokoh agama yang sudah dibangun sejak zaman Mgr Alexander Djajasiswaja dan Mgr Pujasumarta, juga langkah Gereja memasang ucapan selamat Idul Fitri dan kegiatan buka bersama di paroki.
Melihat sisi internal, salah satu Pengawas Yayasan Kemala Bhayangkari, Bandung yang berusia 83 tahun ini merasa bahwa Keuskupan Bandung memang membutuhkan uskup baru, dengan visi dan gaya kepemimpinan baru sesuai dengan gejolak dan tuntutan masa kini. Ia berharap, lewat kecerdasan dan rasa humor, Mgr Anton dapat menjadi bapak yang merangkul berbagai tarekat dan para imam diosesan. “Mgr Anton lahir di kota Bandung. Ia putra asli Keuskupan ini. Saya yakin, beliau dapat memberi semangat baru bagi Gereja Keuskupan Bandung,” ujar Ibu Teko.
Tantangan Budaya
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Karya Pastoral (DKP) Keuskupan Bandung Matias Endar Suhendar menitikberatkan pada dialog karya dalam menjalin relasi antaragama. Ia berharap Gereja dapat meningkatkan dialog yang efektif misalnya dengan dialog karya. “Selama ini dialog karya sudah terealisasi lewat kelompok pertanian organik dan Credit Union yang melibatkan umat dan masyarakat. Kegiatan seperti ini perlu ditingkatkan,” ungkapnya ketika ditemui di Gedung Dewan Karya Pastoral Bandung, Jumat, 1/8.
Alumni STFK Pradnyawidya Yogyakarta ini juga menggarisbawahi, Gereja juga ditantang untuk lebih berani masuk ke ranah budaya Sunda. Saat ini ada beberapa tradisi Sunda yang ditolak beberapa kalangan dan dianggap musyrik. Padahal budaya tersebut kaya nilai dan saat ini sedang marak bermunculan komunitas Sunda.
Untungnya, Gereja sudah terbuka mengakomodir tradisi tersebut. Orang Sunda pun merasa identitasnya diakui. Oleh karena itu, Endar berharap langkah ini ditingkatkan.
Karya Gereja
Rektor Universitas Parahyangan Bandung Robertus Wahyudi Triweko berpendapat, kehadiran Gereja saat ini belum cukup dirasakan di tengah masyarakat. Secara kuantitatif, jumlah umat Katolik dan lembaga-lembaganya dibandingkan dengan jumlah penduduk dan lembaga serupa di wilayah Keuskupan Bandung relatif kecil. “Namun ini diharapkan memicu semangat menjadi ‘garam’ dan ‘terang’ di tengah masyarakat,” ungkapnya kepada HIDUP melalui surat elektronik, Selasa, 5/8.
Menurut Triweko, beberapa karya pada bidang pendidikan dan kesehatan telah dirasakan masyarakat di masa lampau. Saat ini, pengaruhnya sudah tidak terlalu kuat. Karena, sekolah negeri dan swasta, rumah sakit, lembaga sosial dapat memberikan pelayanan sama atau bahkan lebih baik. Situasi ini, menurut Triweko, dapat dijadikan evaluasi.
Berkaitan dengan pendidikan, Triweko berharap agar lembaga pendidikan Katolik tetap terus menggali spiritualitas dan nilai-nilai dasar kekatolikan yang khas. Pendidikan hendaknya menjadikan manusia seutuhnya dan semakin memanusiakan manusia. “Indonesia tidak hanya membutuhkan orang pinter, tetapi juga orang yang bener dan berkarakter, yang mampu memegang teguh nilai-nilai moral, dan mempunyai kepedulian sosial yang tinggi,” tegasnya.
Tiga Dialog
Beberapa tantangan ini, oleh Uskup Bandung sebelumnya Mgr J.M. Pujasumarta, dirangkum sebagai sebuah realitas wilayah Jawa Barat, yang merupa kan bagian dari realitas Asia yang ditandai oleh keanekaragaman budaya, kebera gaman agama dan kemiskinan. “Tantangan-tantangan tersebut beberapa tahun terakhir ini dilengkapi dengan tantangan pemanasan global,” ungkapnya melalui surat elektronik, Jumat, 8/8.
Mgr Puja memberikan solusi “the threefold dialogue”. Pertama, dialog dengan aneka ragam budaya dengan menghargai budaya Sunda, dalam keterbukaannya terhadap anekaragam budaya umat Jawa, Tionghoa, Batak, dll. Keanekaragaman budaya ini, menurut Mgr Puja telah dipersatukan dalam budaya baru, yaitu Indonesia. Inkulturasi, sebagai pendekatan budaya merupakan strategi pewartaaan kabar sukacita selaras dengan rasa perasaan budaya umat. Mgr Puja melihat bahwa sekolah-sekolah Katolik menjadi tem pat yang baik untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal tersebut. “Strategi budaya ini tentu amat berdaya menghadapi kecenderungan pemaksaan penyeragaman budaya tertentu,” ungkapnya.
Kedua, dialog lintas iman dengan berbagai umat beragama yang hidup berdampingan, yang dilakukan dengan jujur. Karena itu, dialog lintas iman perlu dikembangkan sampai pada pengalaman akan Allah yang mempersatukan.
Ketiga, dialog dengan kaum miskin melalui berbagai upaya pemberdayaan perlu diupayakan terus menerus secara kreatif, agar Gereja Keuskupan Bandung dapat mewujudkan hati orang Samaria yang baik, yang peduli pada korban-korban perjalanan hidup dewasa ini.
A. Nendro Saputro
HIDUP NO.33, 17 Agustus 2014