Mimpi Damai di Tanah Suci

153
Jalan Damai: Presiden Mahmoud Abbas dan Shimon Perres diikuti Paus Fransiskus dan Patriarkh Bartholomeos I di Taman Vatikan untuk bersama di dalam doa bagi perdamaian.
[Franco Origlia/Getty Images]

HIDUPKATOLIK.com – Momen Taman Vatikan seolah terkoyak oleh konflik berdarah antara Israel-Palestina belakangan ini. Namun, boleh jadi kenangan momen itu justru menemukan makna dan relevansinya.

Tanah Suci terus menjadi sorotan mata dunia. Apalagi akhir-akhir ini, Israel melancarkan serangan ke daerah Gaza. Tragedi kemanusiaan akibat konflik Israel-Palestina tak kunjung usai. Unjuk kekuatan militer kian membabi buta. Alhasil balada ratap dan tangis pun menjadi tontonan penuh kemirisan. Warga sipil tak berdosa, kaum perempuan dan anak-anak, menjadi korban.

Seruan perdamaian yang digelar di Taman Vatikan seolah tertimbun penya kit permusuhan yang sudah kronis. Kenangan pelukan dan sapaan hangat antara Presiden Israel Shimon Perres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di hadapan Paus Fransiskus kembali terasa dingin. Pohon zaitun –simbol perdamaian– yang ditanam bersama para putra Abraham itu stagnan sebagai simbol belaka. Larik-larik doapun hangus terbakar api amarah atas klaim pendudukan tanah. Lalu apakah “Doa untuk Perdamaian” yang diprakarsai Bapa Suci dan tercatat dalam buku sejarah keturunan Abraham itu masih bermakna?

Bukan Perang Agama
Meski pertemuan di Vatikan menjadi ajang mohon damai berdasarkan tiga tradisi kepercayaan monoteis, bukan berarti merujuk pada konflik yang terjadi antara Israel-Palestina. Perres bukanlah presiden kaum Yahudi semata. Ia menjadi pimpinan negara dengan penduduk yang terdiri dari beraneka ragam keyakinan. Begitu pula dengan Abbas. Perjuangan Palestina selama ini tidak mengatasnamakan agama Islam.

Baik Israel maupun Palestina memiliki tradisi keagamaan yang bervariasi. Umat Katolik ada di dua negara itu. Begitupun Protestan, Orthodoks, Islam dan Yahudi. Jika mendasarkan diri hanya pada nama dan cara berpakaian, orang tak akan bisa membedakan agamanya. Alih-alih mengutamakan agama, Palestina –misalnya– menjadi negara sekuler yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Meski mayoritas Muslim, masih ada walikota kristiani: Vera Baboun di Bethlehem dan Janet Mikhail di Ramallah. Hari raya Natal dan Idul Fitri pun dirayakan dengan meriah.

Oleh karena itu, pertemuan di Vatikan justru menempatkan perbedaan agama se bagai pintu masuk seruan damai. Mereka memiliki jejak yang sama sebagai keturunan Abraham. Relasi persaudaraan asali ini secara apik dibingkai Bapa Suci untuk menggulirkan ide perdamaian. Akar tradisi monoteis menjadi titik pijak mendekatkan yang berjauhan dan merangkul erat sebagai saudara. “Tak ada lagi peperangan dan beranilah menjadi saudara satu sama lain,” tandas Bapa Suci seperti dilansir Radio Vatikan (8/6).

Jelaslah bahwa Paus ingin memerangi kekerasan yang merajalela di Tanah Suci. Format doa tak lain adalah cara berwawan hati–dijauhkan dari intrik politik. Pendekatan spiritual ini bertolak pada keyakinan bahwa kekuatan doa mampu memberikan daya ubah bagi siapa pun juga.

Prinsip Netralitas
Selain berpijak pada keyakinan akan kekuatan doa, kehati-hatian dalam melangsungkan “Seruan Perdamaian” ini begitu terasa. Artinya, secara teologis acara ini dapat diterima oleh ketiga tradisi yang menjalaninya. Tak ada pihak yang dinistakan maupun diciderai. Proses doa berlangsung secara bergantian. Setiap tradisi diberi waktu untuk membuka dan menutup doanya; baru dilanjutkan dengan tradisi yang lain berdasarkan urutan ke lahirannya dalam kronologi historis.

Tak heran jika Gereja juga berusaha menyingkirkan bau sinkretisme maupun indiferentisme dalam momen bersama-sama berdoa ini. Sinkretisme ialah meramu aneka ajaran dan praktik keagamaan yang berbeda, bahkan bertentangan menjadi satu. Unsur-unsur di luar agama yang dianut serta merta dicampuraduk dengan ajaran dan praktik agama yang otentik, sehingga kebenaran wahyunya menjadi relatif. Sementara indiferentisme berarti paham yang menyamaratakan semua agama. Padahal tiap agama berbeda, bahkan acapkali bertolak belakang. Untuk menghindari dua kefatalan itu, Taman Vatikan menjadi tempat yang netral.

Usaha itupun tampak dalam Islam dan Yahudi. Mereka meyakinkan diri, momen ini bukanlah “doa bersama”, tetapi “bersama-sama berdoa” secara bergiliran. Dalam menjaga netralitas ini, Bapa Suci sebenarnya sudah bermodal peziarahan panjang bersama dua sahabatnya yang mewakili saudara dari tradisi Abrahamistik sejak berkiprah sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Argentina. Mereka pun memenuhi undangannya ikut serta dalam kunjungan apostolik di Tanah Suci: Rabbi Komunitas Yahudi Benei Tikva Argentina, Abraham Skorka dan Omar Abboud, pimpinan Komunitas Islam Argentina.

Harapan Bersama
Lepas dari tafsir akan peristiwa bertemunya tiga putra Abraham di Vatikan, tersurat pesan damai bagi Tanah Suci. Ini lah usaha merajut mimpi yang saling dikomunikasikan. Harapannya, tembok perseteruan yang keras dan dingin selama puluhan tahun mampu di runtuhkan. Tentu saja tidak dalam waktu sekejap. Namun momentum ini seolah menjadi gugatan nurani pemimpin Israel dan Palestina untuk mengikat tali persaudaraan dan memangkas duri-duri kebencian masa silam.

“Panggilan untuk menciptakan perdamaian butuh keberanian, melebihi pe perangan. Inilah panggilan untuk berani mengatakan ‘ya’ tanpa konflik, ‘ya’ berdialog dan menghentikan kekerasan, ‘ya’ bernegosiasi dan menghapus permusuhan, ‘ya’ menghormati kesepakatan dan menolak provokasi, ‘ya’ bersikap tulus dan tidak bermuka dua. Semua itu butuh keberanian, daya juang dan keuletan,” tegas Paus seperti dilansir news.va (8/6).

Harapan senada juga disampaikan Perres secara lugas. “Kita semua butuh perdamaian. Damai di seluruh muka bumi,” ungkapnya dalam sambutan. Lebih lanjut ia menggarisbawahi, jika dua orang Israel dan Palestina masih sulit berdamai, mereka harus segera berjuang untuk mengakhiri tangisan, menghentikan ke kerasan dan mencari solusi damai atas konflik yang terjadi.

Sementara Abbas berkata dalam sambutannya, “Semua orang bisa hidup berdampingan dengan damai. Rekonsiliasi dan perdamaian ialah tujuan kami”. Ia berharap, perdamaian, keamanan dan stabilitas hendaknya diperjuangkan untuk diwujudkan di Tanah Suci. Meski stabililitas di Tanah Suci belum tercipta, momen Taman Vatikan tetap menyisakan gaungnya. Pengalaman bermimpi hidup damai mendiami Tanah Terjanji tentu sudah terpatri dalam kalbu setiap mata yang menyaksikan –bahkan mengalami momen Taman Vatikan itu.

Hingga kini, Paus Fransiskus terus mengumandangkan ajakan seluruh pihak yang berkehendak baik untuk selalu berdoa bagi terwujudnya mimpi damai di Tanah Suci. Aneka kesempatan ia gunakan untuk menyisipkan seruan damai ini. Semua seruannya sebenarnya merupakan proses merajut mimpi: Israel dan Palestina bisa hidup berdampingan dengan damai. Israel butuh keamanan dan kedamaian melalui batas-batas teritorial yang jelas dan diakui secara legitim oleh komunitas internasional. Dan, Palestina tetap memiliki hak atas wilayah untuk hidup secara bebas dan bermartabat, terbebas dari ancaman dan teror di tanah airnya sendiri.

R.B.E. Agung Nugroho

HIDUP NO.31, 3 Agustus 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini