Menebar Jala Kasih di Tanah Suci

125
Tolak Mobil Antipeluru: Paus Fransiskus disambut rakyat saat tiba di Palestina.
[haaretz.co.il]

HIDUPKATOLIK.com – Kunjungan Paus Fransiskus ke Tanah Suci punya sederet misi: ekumenis, mediasi dan rekonsiliasi, dialog antaragama dan perdamaian. Ia menghibur para pengungsi, merangkul tiga agama monoteis, dan berusaha merujukkan Israel-Palestina.

Joseph Hazboun dan Rima, serta dua anak mereka Yazan dan Laian termasuk keluarga beruntung. Mereka masih bisa bersatu sebagai satu keluarga. Joseph ialah warga Bethlehem. Sementara istrinya berasal dari Yerusalem. Mayoritas keluarga dari dua daerah asal yang berbeda itu biasanya tercerai-berai dan tak pernah bisa berkumpul karena konflik Israel- Palestina yang terus berkecamuk.

Kebersamaan langka sebagai keluarga juga dialami George Sbeit dan Shadia bersama dua anak mereka Nicole dan Cesar. Mereka berasal dari Ikrit, desa kristiani yang telah diduduki tentara Israel pada 1948. Meski hingga kini terpaksa menerima nasib tak pernah bisa kembali ke kampung halaman, mereka masih bisa berkumpul bersama.

Sama halnya dengan Elias Abu Mohor dan Juliet bersama dua putri mereka Isabel and Elizabeth. Mereka harus kehilangan tempat tinggal di Cremisan, Beit Jala karena tembok pemisah yang di bangun Israel. Sementara keluarga Shawki Halaby dan Abla harus terpisah dari salah satu putranya yang menjalani hukuman di penjara Israel. Suami istri itu berasal dari Yerusalem dan kini tinggal bersama dua putra mereka Fadi dan Tamer.

Empat keluarga Palestina itu tak pernah bermimpi bisa duduk makan siang bersama Paus Fransiskus. Mereka dijamu Bapa Suci di Biara Fransiskan Casa Nova Bethlehem, Minggu, 25/5. Menurut lansiran lpj.org, Komisi Media resmi yang ditunjuk Panitia Kunjungan Apostolik Bapa Suci ke Tanah Suci, undangan makan siang bersama Paus juga dilayangkan pada empat orang selain empat keluarga itu. Mereka ialah Layla Shatara, janda dari Bethlehem; Rania Michel Mizak, perwakilan umat Katolik Gaza; Mike Abed Rabbo, pemuda dari Beit Jala yang tak pernah bisa mendapatkan kartu identitas; dan Zakaria Zakakaria, pecandu obat yang sedang menjalani rehabilitasi di Bethlehem.

Secuil kisah kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Tanah Suci itu di nilai sebagai ekspresi misi damai yang ia bawa. Keputusannya tak mau menggunakan mobil anti peluru menunjukkan komitmen misi damai yang ingin ia serukan. Selama tiga hari (24-26/5), ia mengunjungi Yordania, Palestina dan Israel salah satu wilayah rentan konflik berkepanjangan di Timur Tengah.

Sebenarnya, lawatan Paus ke Tanah Suci, pertama-tama bertujuan untuk misi ekumenis, bertemu dengan Patriakh Bartolomeos I. Namun banyak pihak menilai, kunjungan itu tak melulu hanya untuk berjumpa dengan Patriakh Ekumenis dari Gereja Orthodoks Konstantinopel. Misal, misi dialog antar agama, terutama dengan agama-agama Abrahamistik: Kristiani, Islam dan Yahudi. Paus pun mengajak dua sahabat dekatnya dalam kunjungannya ini, yakni Rabbi komunitas Yahudi Benei Tikva Argentina, Abraham Skorka dan Omar Abboud, pimpinan komunitas Islam Argentina. Misi lainnya, yakni misi peneguhan dan penghiburan bagi rakyat Palestina yang tak pernah merasakan kedamaian. Potret makan siang bersama keluarga korban perang Israel-Palestina itu menunjukkan bela rasa Bapa Suci pada kaum marjinal. Misi peneguhan dan perdamaian itu juga untuk rakyat Timur Tengah pada umumnya. Meski hanya berkunjung ke Tanah Suci, Bapa Suci tetap konsisten menyerukan damai bagi negara-negara di Timur Tengah. Bahkan ada pendapat, Paus juga punya misi yang justru bermuatan politik, yakni mencari resolusi damai antara para pemimpin Israel dan Palestina.

Penghiburan di Yordania
Pada Sabtu pagi, 24/5, Paus Fransiskus bertolak dari Bandara Fiumicino, Roma untuk mengawali tiga hari visitasi apostolik ke Tanah Suci. Selama penerbangan, Bapa Suci meluangkan waktu menyapa dan bergurau dengan awak media yang turut serta dalam lawatannya. Ia pun mengirimkan telegram pada para Kepala Negara yang wilayahnya dilintasi pesawat Alitalia yang ia tumpangi: Italia, Yunani, Siprus dan Israel. Isinya berupa salam persahabatan dan minta dukungan doa untuk perjalanan apostoliknya.

Destinasi pertama ialah Bandara Internasional Ratu Alia Amman, Yordania. Sesampai di Amman, Bapa Suci langsung disambut menuju Istana Al- Husseini. Ia beraudiensi dengan Raja Abdul lah II bersama keluarga Kerajaan Hashemit dan jajaran pemerintahan Yordania. Dua pimpinan negara ini bertemu terakhir di Vatikan, 29 Agustus 2013. Dalam sambutannya, Paus memuji peran Yordania sebagai negara Timur Tengah yang mau menegakkan kebebasan beragama, mengusahakan dialog antaragama dan menerima pengungsi dari Irak, Palestina dan Suriah. Secara khusus, Bapa Suci menyapa umat Katolik di Yordania. “Meskipun minoritas, kehadiran umat Katolik begitu signifikan dan bernilai dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Terima kasih untuk sekolah dan rumah sakit yang Anda layani!” Paus berharap, kehadirannya ini bisa memperkokoh relasi Katolik-Islam, baik di Yordania maupun di se luruh dunia.

Pada sore harinya, Bapa Suci memimpin Ekaristi di Stadion Internasional Amman. Misa yang diikuti lebih dari 25 ribu orang ini sekaligus menjadi momen penerimaan Komuni Pertama bagi 1.400 anak. Dalam khotbahnya, ia kembali menyerukan pesan damai bagi Timur Tengah. Ia merefleksikan peristiwa pembaptisan Yesus di mana Roh Kudus telah mempersiapkan, mengurapi dan akhirnya mengutus-Nya sebagai Duta Damai Sejati. Tak heran jika Paus minta agar semua umat beriman siap sedia diutus menjadi duta damai bagi Timur Tengah.

Usai Misa, Paus diajak mengunjungi situs pembaptisan Yesus di Sungai Yordan. Raja Abdullah rela menjadi supir mobil golf yang ditumpangi Bapa Suci. Dalam perziarahan di situs pembaptisan Yesus itu, Paus berjumpa dengan kelompok pengungsi dan kaum muda difabel di salah satu Gereja Katolik ritus Latin di Betani. Lagi-lagi, ia mengulangi seruan damai di Timur Tengah bagi semua pihak terutama Suriah. Ia juga mengapresiasi Caritas Yordania yang berjibaku membantu para pengungsi disana. Di hadapan sekitar 600 pengungsi, Bapa Suci memberikan penghiburan pada mereka. Yordania merupakan negara di Timur Tengah yang menampung se kitar dua juta pengungsi, baik dari Irak, Suriah dan Palestina. Sekitar 20 persen pengungsi masih menempati tenda-tenda dengan fasilitas umum yang amat terbatas. Mayoritas pengungsi memang berasal dari Irak. Mereka sudah berdiam di Yordania selama 23 tahun sejak meletusnya Perang Teluk pada 1991 dan 2003.

Bapa Suci menegaskan, Yesus telah hadir di tengah dunia, menjadi sama dengan manusia dan ikut serta memikul derita umat-Nya. “Meski Anda mengalami kesulitan dalam hidup, Anda telah menjadi tanda pengharapan. Anda sungguh beroleh tempat di hati-Nya dan dalam doa saya. Saya bersyukur melihat Anda semua berkumpul di sini dengan sambutan hangat dan penuh semangat,” hibur Bapa Suci seperti diberitakan Radio Vatikan, 24/5.

Resolusi Politik
Pada hari kedua, Minggu pagi, 25/5, Bapa Suci melanjutkan perjalanan apostolik nya ke Bethlehem, Palestina. Ia dilepas oleh Raja Abdullah dari Bandara Ratu Alia menuju Bethlehem. Perjalanan langsung dari Amman ke Bethlehem ini dinilai banyak pihak sebagai keputusan Paus yang amat luar biasa.

Perjalanan dengan helikopter dari Yordania itu sebenarnya melintasi Israel. Namun Paus tidak singgah di Israel. Ia justru langsung terbang menuju Bethlehem. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam. Upacara penyambutanpun digelar oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang bertemu terakhir kali dengan Paus di Vatikan, 17 Oktober 2013. Penyambutan itu dihadiri para petinggi pemerintahan Palestina, tokoh masyarakat dan pemimpin berbagai agama di Palestina.

Dalam sambutannya, Paus secara tegas menyebutkan Palestina sebagai negara. Bahkan, ia menyebut Abbas sebagai “man of peace and peace maker”. Ini menegaskan dukungan Takhta Suci pada pengakuan kedaulatan Palestina dalam kancah internasional.Padahal, umat kristiani di Palestina hanya 1,25 persen dari total populasi atau sekitar 50 ribu jiwa. Sementara agama mayoritas ialah Islam. Namun, kehadiran umat minoritas kristiani dalam negara berpenduduk empat juta jiwa ini dipandang menjadi jembatan relasi Barat dengan dunia Arab. Apalagi, banyak situs suci dari tiga agama monoteis terhampar di wilayah ini.

Dalam ketegangan konflik Israel-Palestina, langkah yang diambil Bapa Suci ini menimbulkan banyak intrepretasi. Namun, yang diharapkan ialah solusi yang adil dan langgeng bagi kedua belah pihak. Paus menegaskan, Israel dan Palestina hendaknya bisa hidup berdampingan dengan damai. Israel butuh kedamaian dan keamanan dalam batas-batas wilayah yang jelas dan diakui dunia internasional. Sementara Palestina pun punya hak untuk hidup bermartabat dan bebas dari ancaman di dalam tanah airnya sendiri.

Usai bertemu dengan pejabat pemerintahan Palestina dan para tokoh agama, Paus merayakan Ekaristi di Manger Square, di samping Gereja Kelahiran Tuhan di Bethlehem. Kedatangannya di Manger Square disambut alunan lagu Mawatani Tanah Airku yang syairnya berisi kerinduan rakyat Palestina akan kemerdekaan, kedaulatan dan kedamaian. Dalam homili, Bapa Suci mengajak umat untuk melihat dengan jujur di hadapan bayi Yesus yang hadir kedunia sebagai tanda. Maka kehadiran umat kristiani di Tanah Suci pun hendaknya menjadi tanda kehadiran Yesus, yakni membawa persaudaraan, pengampunan dan rekonsiliasi, solidaritas dan cinta.

Di akhir Misa, sebelum dilanjutkan dengan Regina Caeli, Paus mengundang Pre siden Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres untuk datang ke Vatikan. “Di sini, di tempat kelahiran Sang Raja Damai, saya mengundang Anda Presiden Mahmoud Abbas dan Presiden Shimon Peres untuk berdoa bersama pada Tuhan demi rahmat perdamaian. Saya menawarkan rumah saya di Vatikan sebagai tempat untuk pertemuan doa bersama ini,” ajak Bapa Suci seperti dilansir Radio Vatikan, 25/5. Usai Misa, Paus makan bersama beberapa keluarga Palestina yang menjadi korban perang.

Selama di Bethlehem, Bapa Suci berziarah di Gereja Kelahiran Tuhan dan mengunjungi para pengungsi Palestina di kamp pengungsi Phoenix Center. Mereka ialah korban perang yang berasal dari Dheisheh, Aida, Beit Jibrin, dll. Paus disambut anak-anak yang mengenakan kaos bertuliskan daerah asal yang harus mereka tinggalkan karena perang. Lagi-lagi, Paus menyerukan pesan damai dan menguatkan hati para pengungsi.

Dalam perjalanan berkeliling Bethlehem, tak disangka Paus turun dari mobil, diiringi beberapa anak Palestina. Ia mendekati tembok pemisah yang dibangun Israel sebagai legitimasi kekuasaan atas tanah. Ia menyentuh tembok itu dengan dahinya dan diam memejamkan mata untuk berdoa. Tampak di dekat tembok yang ia dekati, siluet seorang tentara Israel sedang berjaga di balik jendela pengintai. Segera ratusan moncong kamera mengabadikan peristiwa di luar agenda kunjungan Paus ini. Menurut Juru Bicara Vatikan RP Frederico Lombardi SJ, Bapa Suci ingin menunjukkan kepeduliannya pada penderitaan rakyat. “Ini merupakan momen spiritual yang amat mendalam di depan simbol pemisah yang kejam,” pungkasnya.

Misi Ekumenis
Usai di Bethlehem, Paus langsung ter bang dengan helikopter menuju Tel Aviv, Israel. Di Bandara Internasional Ben Guiron, ia disambut Presiden Israel Shimon Peres dan Perdana Menterinya Benyamin Netanyahu, bersama jajaran pemerintahan dan para pimpinan agama di Israel. Peres bertemu Paus terakhir kali di Vatikan, 30 April 2013. Dalam upacara sambutan, Bapa Suci mengungkapkan undangannya, yakni mengajak Peres dan Abbas berdoa mohon rahmat perdamaian bersamanya di Vatikan.

Penyambutan ini hanya mengantar Paus melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem untuk bertemu dengan Patriakh Bartolomeos I. Ia tiba di Helipad Bukit Scopus Yerusalem pada sore hari. Agenda pertama ialah pertemuan pribadi dengan Patriakh Konstantinopel dikediaman Delegatus Apostolik Yerusalem. Sekitar setengah jam, mereka membicarakan langkah ekumene untuk membuka jalan persekutuan penuh antara Gereja Barat dan Timur. Mereka pun membuat deklarasi bersama sebagai peringatan 50 tahun pertemuan historis Gereja Barat dan Timur, serta kerinduan menjalin relasi ekumenis secara lebih mendalam.

Lalu Paus Fransiskus dan Patriakh Bartolomeos mengadakan ibadat ekumene bersama di Gereja Makam Suci. Pertemuan ini menjadi peringatan 50 tahun perjumpaan perdana penerus St Petrus, Paus Paulus VI dan penerus St Andreas Patriakh Athenagoras, 5 Januari 1964. Dua primat Gereja itu berdamai setelah 900 tahun terpisah dan saling mengutuk.

Dalam ibadat yang diakhiri dengan berkat bersama dua pimpinan Gereja itu, Fransiskus dan Bartolomeos tampak akrab. Berulang kali mereka saling berpelukan, duduk berdampingan dan berlutut bersama di depan batu yang diyakini sebagai makam Yesus. Mereka saling menyadari, baik Katolik maupun Orthodoks adalah anak Allah, umat kristiani yang telah dimeteraikan dengan pembaptisan. Fransiskus pun sempat mencium tangan Sang Patriakh dan dibalas dengan ciuman dan pelukan. Ungkapan bahasa tubuh dan perjumpaan fisik dinilai lebih bermakna dalam menyatakan kasih persaudaraan. Pertemuan ini ditutup dengan jamuan makan malam antara Fransiskus dan Athenagoras bersama para patriakh dan uskup di Kepatriakhan Latin Yerusalem.

Anak Abraham
Paus memulai agenda hari ke tiga di Tanah Suci, Senin, 26/5, dengan mengunjungi Grand Mufti Yerusalem Sheikh Mohammad Ahmad Hussein di Al-Kubbah Al-Na hawiyya. Situs ini menjadi tempat ziarah tiga agama Abrahamistik. Yahudi meyakininya sebagai tempat Abraham mempersembahkan Ishak dan Bait Allah zaman Salomo. Islam menjadikannya tempat suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah. Sementara Kristiani menganggap sebagai tempat di mana Yesus bernubuat tentang kehancuran Bait Allah Yerusalem. Maka dalam sambutan nya, Bapa Suci mengundang kerja sama dan dialog persaudaraan sebagai putra-putri Abraham.

Lalu Bapa Suci melanjutkan peziarahan ke Tembok Ratapan. Ia berdoa dan menyelipkan kertas berisi doa Bapa Kami di tembok setinggi 15 meter itu. Setelah itu, ia mengunjungi pemakaman nasional Israel, MonteHerzl. Ia meletakkan bucket kembang dan berdoa di makam Theodore Herzl, pendiri gerakan Zionis. Ia juga datang di Museum Yad Vashem, yang dibangun pada 1953 untuk memperingati enam juta bangsa Yahudi korban holocaust. Ia sempat bertatap muka dan menyapa para korban yang selamat dari tragedi genosida itu.

Kebersamaan dengan sahabat Yahudi ini diakhiri dengan kunjungan di Heichal Shlomo Center, samping Sinagoga Agung Yerusalem. Paus bertemu dengan dua pimpinan Rabbi Israel: Ashkenazi Rabbi David Lau dan Sephar di Rabbi Shlomo Amar. Lagi-lagi, Paus menyerukan usaha damai yang bisa dilakukan melalui kerjasama umat Katolik dan Yahudi di Israel.

Setelah itu, Bapa Suci melakukan tiga pertemuan pribadi, dengan Presiden Peres di Istana Kepresidenan, Perdana Menteri Netanyahu di Notre-Dame Center Yerusalem, dan Patriakh Bartolomeos di samping Gereja Orthodoks Viri Galillei, Bukit Zaitun.

Menanam Harapan
Menutup kunjungannya di Tanah Suci, Bapa Suci beraudiensi dengan sekitar 400 kaum religius, imam dan seminaris di Gereja Getsemani, di kaki Bukit Zaitun. Ia juga memimpin Misa bersama para Uskup dan Ordinaris Wilayah di Tanah Suci di Cenacle (Kamar Atas), yang diyakini sebagai tempat Perjamuan Terakhir Yesus bersama para rasul. Usai Misa, ia berangkat dari Helipad Bukit Scopus ke Tel Aviv. Di Bandara Ben Guiron, Paus dilepas pemerintah Israel bertolak kembali ke Kota Abadi, dan tiba di Bandara Ciampino Roma dengan selamat.

Saat di Getsemani, Bapa Suci menanam pohon zaitun sebagai lambang per damaian dan kemakmuran. Ia meneruskan Paus Paulus VI yang telah menanam pohon perdamaian itu setengah abad silam. Kini benih ekumenisme itu telah tumbuh subur di antara Gereja Barat dan Timur setelah 50 tahun berlalu. Sementara benih perdamaian dari harapan yang ditanam Fransiskus untuk Israel dan Palestina masih menunggu keputusan dua pimpinan negara itu untuk memenuhi undangan doa bersama di Vatikan.

Keberanian Presiden Israel dan Palestina untuk berani berkorban dan saling mengampuni, amat menentukan nasib banyak keluarga di dua negara itu. Mereka menaruh harapan yang telah di tanam Fransiskus selama tiga hari kunjungan apostoliknya. Harapannya, banyak keluarga dapat merasakan kebersamaan seperti Joseph Hazboun dan Rima tanpa harus bersembunyi dan mengungsi. Keluarga George Sbeit dan Elias Abu Mohor bisa menghirup udara kampung halamannya kembali. Keluarga Shawki Halaby dan Ablapun menjadi lengkap dengan anak-anak mereka yang tercerai-berai. Rania Michel Mizak dan komunitasnya di Gaza bisa menikmati hidup damai. Dan, Mike Abed Rabbo tak harus menjadi pengungsi gelandangan tanpa kartu identitas diri!

R.B.E, Agung Nugroho

HIDUP NO.23, 8 Juni 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini