HIDUPKATOLIK.com – Dalam Majalah HIDUP No. 15, 13 April 2014 halaman 10, dikatakan, “penyaliban Nabi Isa tidak pernah ada”. Jika tidak ada penyaliban, maka tidak ada kematian dan tak ada kebangkitan. Bagaimana harus menyikapi perbedaan ini?
Christina Sri Hastutik, Malang
Pertama, pernyataan “penyaliban Nabi Isa tidak pernah ada” hanyalah salah satu pendapat yang ada dalam ajaran agama Islam. Pendapat ini bersumber pada Sura 4 An Nisaa 157-158: Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) ‘orang yang diserupakan’ dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, sebenarnya mereka dalam keragu- raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu Isa. Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya, dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kedua, ada ayat-ayat lain dalam Al Quran yang meneguhkan, Nabi Isa mengalami kematian, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Sura 19 Maryam 33). Wafat Nabi Isa juga dikatakan dalam Sura Al Imran 55, “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku….” Kitab yang sama menyerukan agar jangan percaya kepada sembarang nabi, kecuali jika nabi itu datang dengan membawa kurban. Tetapi kemudian nabi itu dibunuh (Sura Al Imran 183, “mengapa kamu membunuh mereka …?). Satu-satunya nabi yang datang dengan kurban persembahan (hidangan) ialah Nabi Isa (bdk. Sura Hidangan 114) dan Allah membuat Nabi Isa wafat (Sura Hidangan 117, “maka setelah Engkau wafatkan aku…”). Ayat-ayat yang kita rujuk ini meneguhkan bahwa Nabi Isa mengalami kematian dan kematian ini bukanlah kematian alami, tetapi karena dibunuh. Namun demikian, wafat Nabi Isa dipandang sebagai kehendak Allah (“Aku” atau “Engkau”).
Ketiga, lalu bagaimana harus mengartikan Sura 4 An Nisaa 157? Masalah muncul dari kesalahan penerjemahan. Menurut para ahli bahasa Arab, terjemahan “orang yang diserupakan dengan Isa” kurang tepat. Yang tertulis dalam An Nisaa 157 ialah shubbiha lahum (bentuk jamak) dan kalau diterjemahkan seharusnya menjadi “nampaknya bagi mereka” (yaitu bagi orang Yahudi). Sedangkan terjemahan An Nisaa 157 “orang yang diserupakan dengan Isa” dalam bahasa Arab berbunyi shubbiha lahu (bentuk tunggal). Jadi, teks itu berarti bahwa nampaknya bagi orang-orang Yahudi bahwa mereka telah membunuhnya secara definitif di salib, tetapi kegembiraan mereka tidak bertahan lama karena Isa dibangkitkan kepada kehidupan lagi”. Jadi, yang disangkal di sini bukanlah kematian Isa, tetapi pengertian orang-orang yang telah menyalibkan, bahwa mereka telah menang dengan menyalibkan dan mematikan Isa. Dengan pengertian ini, An Nisaa 157 sebenarnya senada dengan ayat-ayat lain yang dirujuk tersebut.
Keempat, karena kematian Nabi Isa merujuk pada peristiwa historis, bukan sekadar opini, maka data-data dari sumber lain juga berharga. Kitab Suci Kristiani, tidak meragukan bahwa Yesus disalibkan dan wafat. Yang dipertentangkan di antara orang Yahudi bukanlah tentang kematian Yesus, tetapi tentang Yesus bangkit atau tidak. Demikian pula, catatan dari dunia sekuler, yaitu dari seorang ahli sejarah Flavius Josephus (37-100 M), tentang sejarah Yahudi, menyebutkan, Pilatus telah menghukum Yesus di kayu salib. Jadi, peristiwa penyaliban dan wafat Yesus diakui sumber-sumber yang dari sudut waktu dan tempat, berasal dekat dengan peristiwa sejarah itu..
RP Petrus Maria Handoko CM
HIDUP NO.19, 11 Mei 2014