HIDUPKATOLIK.com – Pada Hari Minggu Kerahiman Ilahi, 27/4, Paus Fransiskus akan menyematkan gelar santo kepada dua pendahulunya, Paus Yohanes XXIII dan Paus Yohanes Paulus II. Meski masa pontifikalnya singkat, Paus Yohanes XXIII memberikan warisan berharga, Konsili Vatikan II.
Suster Caterina Capitani, seorang biarawati asal Italia, mendadak merasakan sakit dibagian antara perut dan ulu hatinya pada medio 1962. Saat itu, biarawati yang tergabung dalam Kongregasi Putri Kasih (PK) ini baru berusia 22 tahun. Dokter memberi peringatan keras kepada Sr Caterina agar menjaga kondisi badan dan menyuruh dia beristirahat total. Namun, Sr Caterina menolak. Ia justru semakin giat menjalankan tugas kerasulan dan melayani orang sakit. Dua tahun berselang, kondisi kesehatannya kian menurun. Dokter menyatakan, pankreas dan limpanya tidak berfungsi baik, sehingga harus dilakukan operasi.
Selama lima jam, Sr Caterina menjalani operasi. Selama itu pula, gambar Paus Yohanes XXIII menemaninya di ruang operasi. Sembilan hari setelah operasi, kondisi Sr Caterina membaik. Namun, beberapa hari kemudian kondisi kesehatannya memburuk. Sr Caterina meminta agar diberi Sakramen Pengurapan Orang Sakit.
Pada saat-saat kritis itu, seorang suster rekannya membawakan relikwi Paus Yohanes XXIII berupa kain. Lalu, kain tersebut diletakkan di perut Sr Caterina. Ia pun terus mendaraskan doa melalui perantaraan Paus Yohanes XXIII. Pada suatu ketika, Sr Caterina merasakan ada sebuah tangan yang menjamah perutnya. Saat kesadarannya menurun, ia juga melihat sosok seperti Paus Yohanes XXIII berdiri dan tersenyum di samping ranjangnya. Setelah peristiwa itu, kondisi Sr Caterina semakin membaik. Luka-luka operasi di perutnya pun menghilang.
Sr Caterina dinyatakan sembuh total dan tidak merasakan sakit sama sekali. Ia kembali menjalankan kegiatan sehari-hari. Ia percaya, Paus Yohanes XXIII yang menyembuhkan, mengangkat sakit, serta menyelamatkannya dari kematian.
Melalui mukjizat yang dialami Sr Caterina ini, proses beatifikasi Paus Yohanes XXIII dibuka. Baru pada 3 September 2000, Paus Yohanes Paulus II memberikan gelar beato kepada pendahulunya ini. Setelah upacara beatifikasi, jenasah Paus Yohanes XXIII dipindahkan dari pemakaman di ruang bawah tanah Basilika St Petrus Vatikan kemakam baru yang juga berada didalam basilika tersebut, sebagai bentuk penghormatan.
Tanpa mukjizat
Tiga belas tahun kemudian, Jumat, 5 Juli 2013, Paus Fransiskus merestui kanonisasi Paus Yohanes XXIII, tanpa mukjizat. Pada umumnya, proses kanonisasi harus disertai dengan mukjizat. Juru bicara Vatikan RP Federico Lombardi SJ mengatakan, kanonisasi paus ini berkaitan dengan peringatan 50 tahun Konsili Vatikan II (1962-1965) dan kesucian paus ini juga “tidak diragukan”. Maka, Paus Fransiskus memutuskan melakukan kanonisasi. Upacara penggelaran orang kudus bagi Paus Yohanes XXIII diadakan di Vatikan pada Hari Minggu Kerahiman Ilahi, 27 April 2014. Ia akan dianugerahi gelar santo bersama Paus Yohanes Paulus II.
Ketika ia wafat, 3 Juni 1963, di tengah pelaksanaan Konsili Vatikan II, tak ada yang menyangsikan keberanian Paus Yohanes XXIII. Meski masa pontifikalnya pendek (1958-1963), ia melakukan banyak hal besar bagi Gereja Katolik. Selama lima tahun bertakhta, ia terkenal dengan sebutan “il Papa Buono” atau Paus yang baik. Ia sosok paus yang terbuka dan pemersatu. Hidup kesehariannya juga menjadi teladan kesederhanaan. Sosok Paus Yohanes XXIII amat dihormati oleh warga Italia, karena disinyalir turut andil dalam pemulihan perekonomian Italia.
Seorang jurnalis Italia, Stefania Falasca mengutip catatan harian Teolog Dominikan asal Perancis, Yves Congar, menyatakan, setelah Paus Yohanes XXIII wafat, Uskup Agung Mechelen- Brussel Belgia Kardinal Lèo Jozef Suenens mengusulkan kepada para Bapa Konsili, agar segera mengajukan proses ka nonisasi Paus Yohanes XXIII. Usulan tersebut mendapat tanggapan positif dari para Bapa Konsili serta umat di Italia, seperti dikutip dari Avvenire (15/7/2013).
Sementara Vaticanista John L. Allen Jr. menulis, sehari setelah Paus Yohanes XXIII wafat, koran Italia Gazzetta del Popolo telah menubuatkan percepatan kanonisasi. “Suatu hari nanti sebutan Bapa Suci bagi Yohanes XXIII tak hanya melekat sebagai gelar Paus, melainkan secara kanonik. Kita berharap, tak seorang pun akan merasa menuntut pembuktian suatu mukjizat yang dibutuhkan untuk kanonisasinya,” demikian seperti dilansir ncronline.org (15/7/2013).
Menjadi Paus
Paus Yohanes XXIII yang bernama asli Angelo Giuseppe Roncalli ini lahir di Sotto I’ll Monte, kota kecil di Provinsi Bergamo, Italia, 25 November 1881. Ia merupakan anak keempat dari 13 saudara, yang juga anak laki-laki pertama dari pasangan Giovanni Battista Roncalli dan Marianna Giulia Mazzolla.
Sejak kanak-kanak, ia ingin mengabdikan diri sebagai seorang imam. Ia pun menjalani pendidikan sebagai calon, dan lalu ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Bergamo pada 10 Agustus 1904. Setelah menerima Sakramen Imamat, ia berkarya di Gereja Santa Maria di Monte Santo, Italia. Satu tahun kemudian, Uskup Bergamo saat itu, Mgr Giacomo Radini-Tedeschi menunjuknya sebagai sekretaris. Selain menjadi sekretaris Mgr Radini, ia juga mengajar di seminari.
Selama Perang Dunia I, Roncalli pernah bertugas sebagai pastor militer dan membantu di bagian medis. Pada 1925, Paus Pius XI memasukkan dia sebagai anggota korps diplomatik Takhta Suci untuk Bulgaria dan mengangkatnya sebagai Uskup Agung Tituler Areopolis. Ia memilih motto Obedientia et Pax, ketaatan dan kedamaian. Selang enam tahun, Roncalli resmi menjadi Delegatus Apostolik Bulgaria.
Pada 1934, gelar episkopal Roncalli diubah menjadi Uskup Agung Tituler Mesembria. Pada saat yang sama, ia diutus menjadi Delegatus Apostolik untuk Turki dan Yunani. Saat pecah Perang Dunia II, Paus Pius XII menunjuk dia sebagai Nunsius Apostolik untuk Perancis. Pada 12 Januari 1953, ia diangkat menjadi Kardinal Imam St Prisca. Selang tiga hari, Paus memberi perutusan sebagai Patriakh Venesia.
Setelah Paus Pius XII wafat, Roncalli mengikuti konklaf untuk memilih paus yang baru. Sebenarnya ia tak termasuk kandidat yang kuat untuk menjadi paus. Namun, para kardinal menjatuhkan pilihan kepada dirinya menjadi penerus Takhta St Petrus. Ia terpilih sebagai paus pada 28 Oktober 1958, saat berusia 77 tahun. Ia memilih nama Yohanes XXIII.
Banyak orang mengatakan, masa kepausannya akan singkat, karena usianya telah lanjut. Meski demikian, dia tetap melaksanakan tugas perutusan dengan baik. Ia kerap mengunjungi anak-anak penderita polio di Rumah Sakit Bambin Gesu. Ia juga mengunjungi para narapidana di penjara Roma Regina Coeli. Kunjungannya kepenjara ini menuai banyak kritikan, dan dianggap sebagai sebuah kontroversi. Peristiwa ini pun kemudian ramai diberitakan di berbagai media massa di Roma, Italia, dan media internasional.
Selama masa pontifikalnya, Paus Yohanes XXIII membentuk Komisi untuk Revisi Kitab Hukum Kanonik dan memanggil Konsili Vatikan II. Sebagai Uskup Roma, ia kerap melakukan kunjungan ke paroki-paroki, terutama di daerah pinggiran kota. Tercatat selama masa kepausannya, ia menerbitkan delapan ensiklik; Pacem in Terris (1963), Paenitentiam Agere (1962), Aeterna Dei Sapientia (1961), Mater et Magistra (1961), Princeps Pastorum (1959), Grata Recordatio (1959), Sacerdotii Nostri Primordia (1959), dan Ad Petri Cathedram (1959). Dia juga mengeluarkan tiga nasihat apostolik, 47 konstitusi apostolik, dan 14 Motu Proprio.
Mengundang konsili
Tak diduga sebelumnya, pada 1959, baru sekitar tiga bulan menjalani masa pontifikalnya, Paus Yohanes XXIII memutuskan untuk mengundang seluruh uskup di dunia untuk menggelar Konsili Vatikan II. Beliau mengharapkan konsili ini akan mengajak Gereja mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Ada tiga sasaran yang mau dicapai melalui konsili ini, yakni pembaruan rohani dalam terang Injil, penyesuaian Gereja dengan masa sekarang (aggiornamento) serta menanggapi tantangan-tantangan zaman, dan pemulihan persekutuan umat Kristen.
Setelah melalui beragam tahap persiapan, Konsili Vatikan II baru dibuka pada 11 Oktober 1962 oleh Paus Yohanes XXIII. Konsili ini berlangsung dalam empat sesi persidangan. Sesi pertama berlangsung 11 Oktober – 8 Desember 1962. Sesi kedua digelar 29 September – 4 Desember 1963. Sesi ketiga diadakan pada 14 September -21 November 1964. Dan sesi terakhir berlangsung 14 September – 8 Desember 1965. Konsili Vatikan II ini menghasilkan 16 dokumen: empat konstitusi, sembilan dekrit, dan tiga deklarasi.
Saat memasuki persiapan sidang sesi kedua, 3 Juni 1963, Paus Yohanes XXIII wafat pada usia 81 tahun. Ia pun mengakhiri masa ponfikalnya selama empat tahun, tujuh bulan, dan enam hari. Seperti perkiraan banyak orang, masa pontifikalnya sangat singkat. Ia wafat karena kanker yang bersarang di perutnya. Namun, penyakit itu sengaja ia rahasiakan. Dalam beberapa penampilan di hadapan publik, ia tampak pucat. Pada 11 Mei 1963, Presiden Italia, Antonio Segni memberikan penghargaan “Balzan Prize” kepada Paus Yohanes XXIII atas keterlibatan sebagai pembawa perdamaian di dunia. Takhta St Petrus diteruskan oleh Paus Paulus VI. Ia mengumumkan agar Konsili Vatikan II tetap berlanjut seperti yang sudah ditetapkan pendahulunya.
Melalui Konsili Vatikan II ini, Paus Yohanes XXIII telah membuka lebar “jendela-jendela Gereja”. Angin pembaruan pun masuk menerobos tembok-tembok Gereja. Gereja diajak berdialog dengan perkembangan zaman, dengan aneka budaya, dengan aneka agama, dan dengan kemiskinan.
Aprianita Ganadi
HIDUP NO.16 2014, 20 April 2014