Televisi Memotret Kelud

60

HIDUPKATOLIK.com – Hari-hari ini televisi Indonesia semakin menunjukkan tekanan pada fungsi entertainment atau hiburan. Fenomena ini merupakan fenomena global. Entertainment disebut sebagai fakta dalam kehidupan manusia modern. Sayre dan King dalam Entertainment and Society: Audiences, Trends and Impacts menunjukkan bukti yang menjelaskan industri hiburan mengemas seluruh pengalaman hidup dan perilaku manusia yang ditransformasi menjadi hiburan.

Perkembangan konsep entertainment (Sayre dan King, 2003: 3) diawali kemunculan konsep “waktu luang dan bersenang-senang” (leisure). Aktivitas leisure merupakan cara mengurangi tekanan dan kepenatan setelah proses bertanam dan bekerja, lagu dinyanyikan di ladang dengan menggunakan instrumen musik yang primitif. Sementara pekerja pabrik menggunakan waktu luang dengan cara bermain kartu.

Sayre dan King juga menunjukkan bahwa penggunaan waktu luang berbeda-beda tergantung pada stratifikasi sosial-ekonomi, di mana yang kaya dapat menyisihkan lebih banyak anggaran untuk memuaskan penggunaan waktu luang (2003: 3). Pada masyarakat Mesir Kuno ditunjukkan bahwa para tuan tanah dipuaskan dengan tari-tarian erotis dari penari pilihan dan mengundang para kerabat dari kelas menengah yang berkumpul di sebuah rumah dengan bar minuman keras. Sementara pada kelompok masyarakat kelas atas Yunani, waktu luang dihabiskan dengan makan malam yang disertai dengan minum minuman keras dan mengundang penari dan tukang sulap untuk menghibur mereka (Sayre dan King 2003: 4).

Lalu, penayangan berita erupsi Gunung Kelud merupakan keperihan hidup ataukah drama? Saat Kelud meletus, televisi menayangkan kepiluan, kesengsaraan, dan keresahan penduduk. Potret kepiluan itu diarahkan pada kesulitan yang dialami para korban yang dipaksa situasi untuk menjadi pengungsi.

Saat televisi hadir pertama kali pada 1950-an, dinamika komunikasi dalam keluarga berubah. Televisi menjadi jendela untuk melihat dunia melalui hiburan, informasi, dan kisah yang disajikan serta memuaskan, baik bagi orang muda maupun tua (Sayre & King, 2003: 220). Orang mulai menyantap makanan di depan televisi. Ayah, ibu, dan anak bertengkar karena berebut saluran televisi yang mereka minati. Masyarakat kita mulai mengunyah paparan tentang Kelud sambil menyantap hidangan saat makan. Saat menonton acara gosip tentang artis pun, televisi tiba-tiba mengajak orang menyumbang untuk korban Kelud melalui nomor rekening yang tertera di layar.

Kita masih ingat pada drama politik ketika korban Sinabung mendapatkan kehormatan dikunjungi Presiden RI yang ingin mengungkapkan belarasanya. Media pun ramai memberitakan tenda Presiden yang bernilai milyaran rupiah.

Mingguan Tempo sempat memuat gambar Presiden dan para stafnya yang menampilkan ekspresi apik di dalam tenda yang kontroversial dan disandingkan dengan gambar Jokowi yang bersusah payah “mendaki” lokasi banjir. Harian Umum Kompas memuat surat pembaca yang mengeluhkan pintu kereta yang ditutup selama 15 menit, karena kereta yang ditumpangi Presiden akan segera melintas. Media juga memberitakan anak-anak sekolah dikerahkan untuk menyambut kedatangan Presiden di sepanjang jalur kereta yang dilintasi Presiden selama berjam-jam sebelum kereta melintas. Drama terakhir adalah ketika kedatangan Presiden yang disiapkan begitu pelik dan melibatkan masyarakat banyak, berakhir dalam waktu delapan menit dengan lambaian tangan dan senyuman Presiden yang sumringah.

Baiklah, jika kita menjadikan masa Prapaskah ini sebagai masa merefleksikan arti hidup. Apakah hidup yang kita jalani adalah demi pentas drama yang menghadirkan tepukan tangan penonton yang megah, atau karena dorongan kebaikan dan kehendak membawa kabar baik bagi masyarakat luas?

Maria Puspitasari

HIDUP NO.11 2014, 16 September 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini