Renungan Minggu, 16 Juli 2017 : Tempat Tumbuh Persaudaraan Sejati

682
[tljax.files.wordpress.com]

HIDUPKATOLIK.com - “SEPERTI hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke sana melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah Firman yang keluar dari mulut-Ku: Ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya”. Supaya Firman itu tumbuh, berakar, dan berbuah hingga berdaya guna, maka harus didengarkan dalam keheningan hati seperti tanah yang baik. “Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah, ada yang seratus ganda, ada yang enam puluh ganda, ada yang tiga puluh ganda” (Mat 13:8).

Dalam perumpamaan tentang penabur ada tiga hal penting, yaitu firman, penabur, dan tanah. Firman itu tentang Kerajaan Surga. Firman adalah benih yang ditaburkan, yang tampak seperti benda kering dan mati, namun semua buah berada di dalamnya. Benih itu adalah kabar sukacita yang menghasilkan buah di dalam hati manusia dan berbuah dalam kehidupan. Penabur benih ialah Yesus Kristus. Dalam menaburkan benih, Yesus melakukan-Nya sendiri atau melalui orang yang beriman kepada-Nya.

Tanah yang ditaburi benih adalah hati manusia, yang dapat diolah menjadi baik dan menghasilkan buah yang baik pula. Hati manusia juga bisa menjadi ladang yang menghasilkan kemalasan karena tidak diolah. Yesus memperlihatkan empat jenis tanah: tiga buruk, satu baik.

Tanah di pinggir jalan. Para pendengar sabda yang diumpamakan dengan tanah di pinggir jalan adalah mereka yang mendengar firman tetapi tidak mengerti firman. Mereka mendengar firman tetapi tidak diubah olehnya. Mereka tidak memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik.

Kita bisa menjadi seperti tanah di pinggir jalan ketika tak mempunyai waktu untuk hening, tidak mempunyai kebiasaan doa pribadi dan tidak memiliki kelembutan hati. Kerasnya kehidupan dan arus informasi yang deras bisa menempatkan kita di pinggir jalan yang memungkinkan burung memakan benih kebaikan yang telah ditaburkan Tuhan.

Tanah berbatu-batu para pendengar sabda yang diumpamakan dengan tanah berbatu adalah mereka yang mendengar firman itu dengan cepat dan menerimanya tanpa mencerna dengan baik. Mereka bergembira namun tidak disentuh olehnya. Sabda bertahan sebentar tetapi tidak bisa bertahan terhadap pencobaan dan penganiayaan. Bisa juga kita menjadi seperti tanah yang berbatu ketika penderitaan yang kita alami bukan menguatkan iman, tetapi mematikan karena tergerus arus zaman. Pencobaan hidup yang kita hadapi tidak meneguhkan tetapi mengguncangkan karena dangkalnya iman.

Sebagian di tanah yang bersemak duri. Para pendengar sabda yang diumpamakan dengan tanah yang bersemak duri adalah orang bertumbuh dalam sabda namun tidak menghasilkan buah. Mereka tidak dapat menghasilkan karena himpitan perkara-perkara dunia dan gagal melihatnya sebagai jalan menuju Allah. Semak-semak dapat menyuburkan benih namun sekaligus dapat menghimpitnya dengan kekhawatiran. Kekhawatiran akan banyak hal melumpuhkan jiwa sebab membuat kita “gagal fokus” untuk perkara ilahi. Apalagi dengan tipu daya kekayaan yang membutakan mata hati sehingga menimbulkan kejahatan korupsi, kerusakan alam, kekerasaan, intoleransi, dan yang lain.

Tanah yang baik, tanda tanah yang baik adalah berbuah. Yesus tidak mengatakan tanah yang baik ini tidak berbatu-batu, atau tidak bersemak duri melainkan bahwa tidak ada yang dapat menghalangi tanah itu berbuah sekalipun ada batu atau semak duri. Sabda yang bergema dalam hati yang baik akan menemukan jalan. Jalan sabda menghasilkan buah tidak pernah bebas dari batu, semak duri, pencobaan, penganiayaan, dan bahaya dimakan burung. Sabda yang bergema dalam hati memiliki daya ubah dan berbuah dalam kehidupan bersama.

Benih yang jatuh di tanah yang baik memanggil kita semua untuk membangun hidup bersama, merangkul semua yang berkehendak baik membangun persaudaraan sejati. Mereka yang belum memiliki kehendak baik dirangkul untuk semakin bersaudara. Hidup bersama tak mungkin tanpa perbedaan suku, agama, ras, dan keyakinan. Hidup bersaudara di tengah masyarakat hanya mungkin dengan mencintai perbedaan. Semoga benih yang jatuh di tanah yang baik menghasilkan buah persaudaraan sejati.

Mgr Pius Riana Prapdi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini