HIDUPKATOLIK.com – Dalam kesempatan perayaan HUT ke-33 Sakramen Imamatnya, Uskup Manokwari-Sorong (KMS) Mgr Datus Hilarion Lega memimpin Misa Konselebrasi di Gereja Santo Yosef Fakfak, Papua Barat Kamis sore, 15/6. Perayaan Ekaristi yang dibalut dengan kekhasan tradisi budaya lokal ini dihadiri oleh ribuan umat, para pastor, dan biarawan-biarawati di seluruh kawasan Tim Pastoral Wilayah (TPW) Fakfak.
Dalam khotbahnya, Mgr Datus menceritakan tentang perjalanan panggilan imamatnya. Ia ditahbiskan imam Keuskupan Ruteng di Gereja Katedral Santa Maria Assumpta-Santo Yosef Ruteng pada 15 Juni 1984. Saat itu, ia mengambil moto tahbisan imamat dari Mazmur 8, “Betapa mulia nama-Mu ya Tuhan, di seluruh bumiâ€. Baginya, imamat adalah anugerah Tuhan yang terindah, bukan karena jasa-jasa, kepandaian, keturunan, status dan pangkat, melainkan karena Tuhan yang menghendaki. “Kalau Tuhan tidak memanggil, tidak mungkin seseorang dalam Gereja Katolik dapat meraihnya. Pasti susah! Orang itu pasti merasakan jamahan Tuhan untuk menghayati panggilan menjadi imam,†ungkap putra Bupati Manggarai, Frans Sales Lega (1967-1978) ini.
Dalam refleksinya, Mgr Datus mengamini bahwa cara hidup imam dalam Gereja Katolik itu khas dan unik. Seorang imam harus berani meninggalkan segala-galanya dan harus menyangkal dirinya untuk memikul salib dan mengikuti Yesus. “Menjadi imam itu adalah persembahan diri. Kita tidak melaksanakan ambisi diri sendiri, tetapi selalu ada pimpinan dan organisasi, selalu ada perutusan dan cara hidup sesuai ajaran Yesus.â€
“Jadi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, Rekan-rekan Imam, Saudara-saudari sekalian yang terkasih, marilah kita menghayati rahmat Imamat itu seperti anugerah yang kita terima 100 persen secara cuma-cuma, dan yang harus kita kembalikan lagi 100 persen juga secara cuma-cuma dalam bentuk upaya pelayanan Imam Baru. Pelayanan kita harus sampai pada lingkungan-lingkungan dan pekerjaan-pekerjaan yang diyakini sebagai cara kita untuk ikut ambil bagian dalam karya dan pekerjaan Tuhan,†jelas Mgr Datus. Ini sangat penting, lanjutnya, supaya dalam penghayatan imamat–suka atau tidak–harus diyakini sebagai cara hidup yang menggembirakan, yang membawa sukacita.
R.B.E. Agung Nugroho
Laporan: Marthina Fifin da Lopez (Papua Barat)