Beato Petrus To Rot (1912-1945): Kesetiaan Katekis dari Papua New Guinea  

50
Beato Petrus To Rot /https://anastpaul.com/

HIDUPKATOLIK.COM – SEABAD kelahiran Beato Petrus To Rot (dibaca “toe rote”) diperingati oleh Gereja Papua New Guinea (PNG). Juli 2011 hingga Desember 2012 adalah tahun yang didedikasikan untuk Petrus To Rot. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengenang beato yang menjadi martir pada usia 33 tahun. Peringatannya ditandai dengan berbagai kegiatan, mulai dari katekese bulanan dengan tema keluarga dan kehidupan, perarakan relikwi, dan devosi Petrus To Rot di paroki-paroki Keuskupan Rabaul, sampai ziarah para uskup PNG dan Kepulauan Solomon ke Rakunai, tanah kelahiran Petrus To Rot.

Perayaan untuk mengenang Petrus To Rot juga ditandai dengan nota pastoral yang dikeluarkan Uskup Rabaul, Mgr. Francesco Panfilo, SDB yang menekankan, “Kesucian dari awam yang sederhana dan rendah hati ini mengingatkan seluruh umat beriman Katolik di PNG dan Kepulauan Solomon mengenai pentingnya institusi keluarga dan perkawinan Katolik”. Uskup berharap bahwa perayaan ini membuat keluarga-keluarga menjadi lebih suci. Ia menekankan terutama bagi kaum muda, bisa memahami pentingnya Sakramen Perkawinan.

Paus Benediktus XVI juga memberi pesan kepada para uskup PNG dan Kepulauan Solomon yang melakukan kunjungan ad limina di Roma 9 Juni 2012, agar mendorong semua pasangan yang menikah untuk meneladani keberanian Petrus To Rot  dan menolong orang lain melihat bahwa keluarga adalah karunia.

Sementara itu, untuk melanjutkan evangelisasi di Papua, dibangun pula jaringan komunikasi melalui radio, televisi, dan jaringan kabel “Suara Petrus To Rot”. Uskup Rochus Tatamai, MSC mengungkapkan keinginan untuk melahirkan saksi Kristus melalui media massa, terutama radio, televisi, internet, dan media sosial.

“Suara Petrus To Rot” bisa didengar di Kerema, Vunapope, Malmaluan, Bereina, Lorengau, dan direncanakan di Port Moresby. Proyek ini bekerja sama dengan denominasi Kristen lain, sebuah proyek ekumenis untuk menyebarluaskan nilai-nilai kemanusiaan dan Kristen di tengah masyarakat. Di sana sudah ada pula program televisi Katolik “Kundu2” yang bisa disaksikan di seluruh Papua.

 Kesalehan Hidup

Petrus To Rot dilahirkan di Rakunai, New Britain, pulau lepas pantai sebelah Timur Laut PNG pada tahun 1912. Ayahnya, Angelo To Puia, seorang kepala desa. Ibunya, Maria la Tumul. Petrus, anak ketiga dari enam bersaudara. Kakaknya Joseph dan Therese, adiknya Gabriel. Sedangkan dua adiknya terakhir meninggal saat kecil.

Petrus merupakan anak kesayangan ayahnya. Mungkin karena mereka memiliki kesamaan kepribadian dan karakter. Ketika berusia tujuh tahun, ayahnya mengirim Petrus ke sekolah di kampung. Di sekolah, Petrus menunjukkan anak yang cerdas. Ia tidak  melewatkan doa pagi dan doa malam.

Masa kecil Petrus tidak istimewa, sama dengan anak-anak sebayanya. Ia menjadi putera altar, suka berolah raga, membantu pekerjaan di rumah, bermain dengan anak-anak sebaya. Tapi, yang membedakannya dengan anak-anak lain adalah sikap kepemimpinannya. Meskipun ia anak kepala desa, ia tidak sombong atau ‘ngebos’.                                                                                            Sebagai anak muda, Petrus sangat disiplin dengan kehidupan doanya dan menerima Komuni setiap hari. Pada usia 18 tahun, ia menjadi katekis awam dan memimpin orang-orang di kampungnya. Petrus sering mengutip kata-kata dalam Kitab Suci dan membawanya ke mana-mana.

Sebagai katekis, tugas utamanya mengajar di sekolah paroki. Ia juga mengunjungi dan mendoakan orang sakit. Orang-orang menyukai Petrus, karena ia sangat kalem dan baik hati. Ia sangat membela Gereja. Petrus sering mengajak siapapun berdiskusi tentang agama. Orang-orang menganggap Petrus selalu mempraktikkan apa yang dikhotbahkannya.

Tahun 1936, saat berusia 24 tahun, Petrus menikahi Paula Ja Varpit, seorang dara Katolik. Perkawinan mereka bahagia. Mereka selalu berdoa setiap pagi dan sore. Ketika anak pertama mereka, Andreas To Puia lahir, Petrus sering mengajaknya bermain. Tak segan-segan ia menggendong Andreas, sebuah budaya yang langka untuk masyarakat di sana. Andreas meninggal setelah perang. Anak kedua, Rufina La Mama, lahir pada 1942 dan menjadi satu-satunya yang hidup. Anak ketiga, yang lahir setelah meninggalnya Petrus pada 1945, juga meninggal.

Kesetiaan Keluarga

Tahun 1942, Jepang datang ke PNG. Para misionaris dan seluruh staf ditahan di kamp konsentrasi. Petrus melanjutkan memimpin kampung itu sebisanya. Ia merawat orang-orang sakit, membaptis dan mengajar, serta membantu orang-orang miskin. Ia mendampingi katekis-katekis lain yang bingung. Pasukan Jepang mulai menekan penduduk dan melarang kegiatan agama.

Menurut mereka, kegiatan penduduk yang memanjatkan doa-doa adalah untuk melawan Jepang. Mereka mencoba untuk membujuk penduduk kembali pada kebiasaan lama sebelum mereka menganut agama Katolik, yaitu melegalisasikan poligami. Setiap orang yang menentang dihukum berat. Petrus dengan berani melawan peraturan yang dibuat Jepang. Akibatnya, ia ditahan. Tahun 1945, Petrus dipenjara dengan tuduhan melakukan kegiatan keagamaan.

Petrus dipenjara di sebuah gua. Semakin lama semakin banyak orang yang mengunjunginya di penjara. Mereka memberi semangat kepada Petrus. Ini menakutkan para penangkapnya. Hingga pada 7 Juli 1945, Petrus dibunuh di depan gua tempat ia dipenjara. Jasadnya dimakamkan di pemakaman baru di samping gereja di mana ia sering memimpin pertemuan. Pemakaman dilakukan secara diam-diam. Orang-orang takut berdoa keras-keras dan di depan umum, karena tentara Jepang akan menggerebek mereka.

Tanggal 7 Juli diperingati sebagai tanggal kemartiran Petrus To Rot. Paus Yohanes Paulus II membeatifikasi Petrus To Rot di Port Moresby, Papua New Guinea pada 17 Januari 1995. Beato Petrus To Rot adalah salah satu dari 10 beato yang dijadikan teladan dalam Hari Orang Muda se-Dunia 2008 di Sydney, Australia.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini