HIDUPKATOLIK.COM – Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), melalui Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK), telah menyerahkan buku terjemahan Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama kepada Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb.
Tahun 2019, tepatnya pada tanggal 4 Februari, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar menandatangani dokumen tersebut di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dokumen ini kemudian populer dengan sebutan Dokumen Abu Dhabi.
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Pastor Agustinus Heri Wibowo, menyerahkan buku terjemahan Dokumen Abu Dhabi tersebut kepada Imam Besar Al-Azhar seusai menyampaikan sambutan pada forum Interfaith and Intercivilization Reception yang digelar pada Rabu (10/07/2024) di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat.
“Kami sungguh terkesan dengan Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama yang Anda rumuskan dan tanda tangani bersama Paus Fransiskus pada tanggal 4 Februari 2019 di Abu Dhabi. Pesannya sungguh mendalam dan sangat bermakna bagi persaudaraan kemanusiaan dan perdamaian,” ujarnya.
“Kami telah menerjemahkannya dalam Bahasa Indonesia dan menambah dengan buku penjelasannya. Kami sosialisasikan kepada seluruh umat Katolik di Indonesia melalui keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, juga dalam berbagai kesempatan perjumpaan lintas agama.”
Menurut imam diosesan tersebut, Komisi HAK KWI telah menetapkan tanggal penandatanganan Dokumen Abu Dhabi sebagai hari penting dan selalu berusaha merayakannya dengan berbagai cara.
“Semoga kami dapat memelihara terus menerus sebagaimana dikatakan di bagian awal Dokumen. Iman menuntun dalam diri setiap orang beriman melihat dalam diri orang lain sebagai saudara laki-laki dan saudari perempuan yang patut didukung dan dicintai. Iman memanggil dalam diri orang beriman untuk mewujudkan persauadaraan insani, lebih-lebih kepada yang kecil, lemah dan miskin serta mendukung kelestarian alam ciptaan,” imbuhnya.
Kehormatan
Turut hadir pada forum tersebut adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom. Dalam sambutannya, ia menyebut kunjungan Imam Besar Al-Azhar sebagai suatu kehormatan baik bagi umat Kristiani dan Islam di Indonesia.
“Di tengah dunia yang makin tercabik-cabik oleh ragam konflik dan peperangan dan oleh peradaban yang makin mengedepankan kuasa dan harta, sebagai buah dari budaya kerakusan, acapkali perdamaian dan kemanusiaan sering tinggal menjadi slogan, karena ternyata berbagai tatanan ekonomi dan politik global terbukti tidak mampu mengatasi berbagai kontestasi dalam berbagai lapangan hidup. Mereka yang lemah, miskin dan tak mampu bersuara, utamanya perempuan dan anak-anak, dari waktu ke waktu semakin terpinggirkan,” ujarnya.
“Agama-agama yang sejatinya hadir untuk memanusiakan manusia ternyata juga sering bias oleh kepentingan sesaat, bahkan acap terjebak menjadi kendaraan bagi kepentingan ekonomi atau politik tertentu. Akibatnya peran transformatif agama-agama yang menyejarah itu sering tinggal menjadi retorika karena hanya mengedepankan simbol-simbol agama dan kehilangan.”
Dunia, imbuhnya, sangat tertolong oleh Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar. Dokumen ini menukik pada substansi hidup bersama sebagai umat manusia, yakni persaudaraan kemanusiaan, yang melewati batas-batas agama, suku bangsa, ras dan pilihan politik. Dan karenanya sangat relevan dengan masyarakat dunia saat ini.
“Pernyataan bersama Yang Mulia Imam Besar mestinya telah menohok masyarakat dunia, yang punya kecenderungan beragama secara artifisial. Segala simbol-simbol agama dikedepankan, tetapi substansi hidup beragama malah diabaikan, yakni persaudaraan kemanusiaan,” ungkapnya.
“Yang Mulia Imam Besar telah memotivasi kita semua untuk lebih mengedepankan perdamaian dunia dan hidup bersama, dan ini tentu akan menguatkan kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat majemuk seperti kami, Indonesia, yang sangat beragam baik dari segi bahasa, suku bangsa dan agama.”
Menurutnya, umat beragama terus berupaya membangun hidup bersama atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan di Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila dan yang berpenduduk mayoritas Muslim yang mengedepankan Islam sebagai “rahmatan lil alamin” – yang dalam syiar keagamaannya selalu bergandengan tangan dengan agama-agama lain.
“Tidaklah berlebihan bila saya katakan, Islam Indonesia yang adaptif dengan perubahan zaman, koeksistensi dalam keberagaman, dan menjunjung HAM dan demokrasi bisa menjadi sumbangan bagi peradaban dunia kini dan di masa depan,” tegasnya.
Katharina Reny Lestari