UBI CILEMBU

82

HIDUPKATOLIK.COM – HUJAN memang  sedang musimnya, wajarlah kalau  gerimis atau hujan deras sedang rajin rajinnya menengok bumi. Seperti sore ini, gemericik air bersaing dengan irama guzheng yang dimainkan Maerisa.  Petikan guzheng dari jari lentik Maerisa yang memainkan lagu Betawi, “Gado-Gado dari Jakarta”, membawaku mengingat Mak Young yang pandai sekali main musik.

Maerisa titisan Mak Young, cantik, pintar dan pandai sekali memainkan alat musik. Sejak balita  Maerisa memang kukenalkan pada alat alat musik yang sempat terselamatkan pada tragedi itu. Maerisa kecil, cepat sekali menangkap nada dan menyelaraskan harmoninya

Guzheng, kecapi dan harmonika adalah barang barang yang bisa aku selamatkan dari malapetaka itu. Aaah . . . . tragedi 1998, menumpaskan mak Young, Papa, Mama dan adikku.

Ya. . . aku memang dari keluarga Cina, yang setelah tragedi itu aku mengerti, etnisku, etnis Cina seperti memiliki stigma dosa asal yang katanya hanya mementingkan ekonomi tanpa nasionalisme. Maka kami adalah kaum yang sangat empuk jadi kambing hitam. Meski keluarga kami sering menolong dan berbagi dengan penduduk sekitar yang membutuhkan, mereka acapkali datang ke rumah meminta bantuan atau datang untuk berobat, karena Papaku seorang dokter dan itu pun Papa tidak memungut  biaya karena melihat kepapaan mereka. Ehmm . . . Itu garis nasibku kehilangan keluarga dalam kerusuhan massa atas ketidak percayaan publik terhadap pemerintahan, kemudian meluas ke rasisme.

Aku sendiri diselamatkan oleh Rizaldi, orang Betawi yang menjadi asisten Papa waktu itu, yang sekarang menjadi suamiku.

Rizaldi mengira aku sudah meninggal saat dia memukan aku tergeletak tak sadarkan diri di antara tembok dan lemari pakaian, karena Papa memang mendorong aku untuk sembunyi di situ. Saat itu aku mahasiswi kedokteran tahun ke dua dan

Rizaldi asisten Papa ini, saat itu belum selesai sekolah perawat. Rizaldi membawaku jauh dari Ibu Kota, ia begitu telaten dan sabar mendampingi dan menguatkan aku, menghibur aku sebisanya, sehingga aku perlahan bisa menerima kenyataan ini.

Kemudian atas kesepakatan, juga tumbuhnya cinta di antara kami, kami berdua memutuskan menikah.

“Eh hujan gerimis aje, ikan teri diasinin. Eh, jangan menangis aje yang pergi jangan dipikirin …“ Suara merdu Maerisa yang bernada manja dan riang, disambut suara gagah yang ngebas oleh Aldian adik Maerisa sambil meraih gitarnya yang kemudian jreng jreng melengkapi petikan guzheng Maerisa.

Keriangan dan kekompakan mereka ini membuat ingatanku akan “masa itu“ tentang sedihku, sirna menjadi rasa syukur. Maerisa dan Aldian perpaduan kami berdua. Maerisa berkulit bersih seperti aku, sedangkan Aldian kulitnya agak gelap dan pembawaannya tenang seperti bapaknya.

Maerisa meneruskan cita-citaku menjadi mahasiswi kedokteran tingkat akhir, Aldian baru masuk Teknik Pangan di perguruan tinggi ternama di Bogor.  Suamiku Rizaldi memilih mengabdi menjadi perawat di Puskesmas Desa Cilembu, desa penghasil ubi jalar yang manis,  menjauh dari Ibu Kota, barangkali juga untuk kebaikanku melupakan peristiwa itu

Mengapa hujan gerimis aje … pergi berlayar ke tanjung cina , mengapa adik menangis aje … kalau memang jodoh ga kemane,“ suamiku yang baru pulang kehujanan dari puskesmas  tiba tiba nimbrung ikut nyanyi sambil tangannya yang agak basah menyolek daguku ngajak aku bergoyang.  Spontan kita semua bergoyang joget … sore, gerimis yang hangat menyenangkan.

Eh hujan gerimis aje … besok kita jualan lagi … Ubi cilembu panenan kite, laris manis karena memang muaaniis dari tanahnye,” suamiku menyambung nyanyiannya dengan syair nya sendiri yang menyadarkan aku kalau lagi mengoven ubi

“Ma, berapa kilo yang udah dioven ubinya? Besok seberapa kilo pun pasti habis, Ma. Ubi cilembu yang manis bisa bersaing dengan  coklat, kan besok valentine day, kita hias dikit ya ubinya, “ celetuk Aldian

“Eeh . . . iya ya, semoga lebih dicari dari pada coklat. Udah siap ada 30 kilo. Cukup sajalah. Biar si Dadan kebagian rezeki juga. Ubi si Dadan biar bisa terjual banyak. Mama mah seneng lihat Dadan rajin ngebantuan Aki dan Nininya. Anak yatim piatu yang pintar, rajin, kitamah kudu ngadukung upayanya Dadan.  Besok hari minggu pasar kaget ramai, mudah mudahan tidak hujan,”  jawabku dengan logat Sundaku yang sudah mulai enak didengar

“Harus hujanlah, kan hari raya Imlek. Bukannya hujan yang ditunggu, menurut kepercayaan orang Tionghoa, hujan deras rezeki mengalir. Segala sakit penyakit sirna tersiram air hujan, pikiran semua orang adem-ayem meski debat capres makin seru. Mugi kaberkahan ya Allah, damai sejahtera negeriku ini,“ sahut suamiku penuh doa

“Aki . . . Nini, banjir . . . ini hujannya deres sekali,“  teriakan si Dadan membuyarkan mimpiku yang sedang dibuai lambaian bunga mei hua dan keasyikanku menikmati sajian Imlek, eeeh … bukan kue keranjang yang kunikmati tapi ubi cilembu yang maniiis. Aah … aku bermimpi kumpul satu meja makan dengan mak Young, Papa, Mama dan adikku.

Masih subuh pagi ini, yah baru pukul 04.35, barangkali Dadan habis shalat subuh. Tergopoh dia menyiapkan dagangannya, ubi cilembu yang sudah dioven, daun ubi yang sudah diikat satu kepal satu kepal, siap sudah di gerobak dagangannya. Teriakan Dadan yang keras  dan semangatnya itu membangkitkan aku dari kemalasan pagi ini.

“Dadan … ini hujan rezeki. Hayuuuk siap kita meraup untung,“ teriakku

“Mak Mei … Dadan udah nunggu Mak Mei dari tadi. Dadan udah siapin terpal untuk payung hujan, tapi nanti pembeli pertama buat Dadan ya … hahaha,“  keriangan Dadan yang memang akrap denganku, membuat hujan pagi ini memang rezeki bagi kami. Benar saja, belum pukul 06.00 meski masih gerimis sudah ada seorang pemuda menghampiri dagangan kami.

“Buat saya ya Mak Mei, buat saya … “ memelas tapi lucu Dadan merajuk aku, supaya pembeli pertama untuk membeli dagangannya.

“Cik … saya perlu 20 kilo ubi cilembu oven yang kualitas bagus. Pilihkan ya. Saya udah sering lho belanja ubi cilembu di sini, kasih diskon lah cik.“

“Lha gampang diskon mah, ini ubi si Dadan udah pilihan … manis pisan. Ayo Dadan … cepat pilihin, timbang sekalian ya … Mas siapa Namanya ?  Meni isuk-isuk teuing, dari mana … eeh tingggal dimana ?“

“Saya Deon dari Bandung, Cik. Calon ibu mertuaku senang sekali sama ubi ini. Saya boleh pacaran sama anaknya juga karena waktu main pertama kali kerumahnya saya bawa ubi ini. Eeeh ketagihan. Tiap saya datang yang di tanya, mana uwi cilembuna na. Sekarang minta dicarikan buat suguhan pengaosan di rumah. Haha … ubi cilembu , cintaku. Tambah lagi ah 10 kg, biar aku diterima jadi menantu, “ cerita singkat Deon sang pembeli

Aku dan Dadan senang dengan cerita Deon ini. Pagi penuh cinta di hari kasih sayang, dagangan kami  ubi yang manis hasil tanah desa kami Cilembu, merekatkan cinta Deon sang pembeli dan kekasihnya

“Jangan panggil aku Cik. Aku orang Cilembu, panggil saja aku Nyai,“ kita bertiga tertawa.

Ahaaa … pagi ini Imlek, juga valentine day, Aku keturunan Tionghoa. Aku Indonesia, anggaplah aku  nasionalis … karena mencintai ubi cilembu ini  dan siap menbawanya mendunia.

Oleh M. Ariniwulan

Majalah HIDUP, Edisi No.10, Tahun Ke-78, Minggu 10 Maret 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini