Hidupkatolik.com – Di antara kita tentu pernah mendengar pernyataan ini bahwa “masa depan Gereja dan Bangsa berada di pundak orang muda Katolik masa kini”. Pernyataan tersebut dinilai masih realistis untuk masa depan Indonesia yang akan menyambut Generasi Emas 2045. Sekurang-kurangnya pernyataan itu masih menjadi secercah harapan saat dikorelasikan dengan dua peristiwa aktual pada kegiatan peserta didik dari Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) yang berada di bawah binaan Kementerian Agama Republik Indonesia. Berikut ini ringkasan kisah dan refleksi penulis.
Tiga peserta didik berdiri pada barisan depan di atas gundukan tanah halaman gereja Stasi Baniona yang berada satu area dengan sekolahnya. Mereka secara bergantian memimpin ibadat singkat pada pagi hari sebelum memulai kegiatan belajar. Ketiga peserta didik SMAK Santa Maria Immaculata Adonara itu tampil di hadapan kepala sekolah, teman-temannya, guru dan tenaga kependidikan, serta petugas monitoring evaluasi (Monev) dari Ditjen Bimas Katolik yang berkunjung pada Kamis, (7/12/2023).
Penulis terkesan dengan ibadat pagi itu. Tampak para peserta didik dan guru lainnya ikut memegang Alkitab seraya mendengarkan renungan dari bacaan yang disampaikan. Pagi itu sangat berkesan, indah, cerah, dan terasa penuh syukur bahwa kegiatan ibadat ini menjadi bagian dari keseharian peserta didik di SMAK yang mendapatkan izin operasional dari Kementerian Agama RI melalui SK Dirjen Bimas Katolik Nomor 114 Tahun 2015, yang terbit tanggal 10 Juli 2015.
Dalam obrolan ringannya dengan penulis, Kepala SMAK RD Antonius Sina Aran menjelaskan bahwa guru menunjuk peserta didik yang akan bertugas, sedangkan pembagian peran, mereka atur sendiri. Ada yang bertugas sebagai pemimpin doa pembuka, pembaca kitab suci, ada yang membawakan renungan, dan mereka menyiapkannya sendiri.
Sementara itu, di waktu terpisah pada awal Januari 2024, peserta didik dari SMAK Santa Maria Immaculata mendampingi anak-anak korban erupsi Gunung Ile Lewotobi atau Gunung Lewotobi Laki-laki di Desa Nurabelen, Ile Bura, Flores Timur. Pemberitaan nasional sedikit banyak melaporkan erupsi gunung itu. Namun di tengah fenomena alam itu, tanpa pemberitaan heboh justru para peserta didik SMAK dari Adonara itu dengan berani keluar sekolah melakukan bentuk aksi solidaritas peduli sesama dengan membagikan kebutuhan pokok kemanusian dan juga memberikan animasi katekese pastoral dengan bernyanyi dan bermain seperti halnya di dalam kegiatan pembinaan iman anak-anak di daerah Boru, Kecamatan Wulanggitang, tempat para pengungsi tinggal sementara. Menurut Pastor Ece, sapaan akrabnya, saat mengantar bantuan untuk korban erupsi gunung Lewotobi, OSIS SMAK Santa Maria Immaculata Adonara sempat mengunjungi para korban di tempat pengungsian dan memberikan Animasi Sekami untuk anak-anak (keterangan foto pastor Ece Aran pada akun facebooknya, 11 Januari 2024). Demikian secuil potret bukti pendidikan keagamaan Katolik Indonesia di SMAK yang berada di desa Klukengnuking, Stasi Baniona, Adonara, Flores Timur itu.
Dua contoh kegiatan dari SMAK tersebut memberi makna yang begitu dalam bagi penulis, yang akhirnya berkesimpulan (hipotesis) bahwa kehadiran SMAK sangat penting bukan saja sebagai lembaga pendidikan yang menumbuhkembangkan penghayatan iman peserta didik, akademik, dan prestasi tetapi juga membangun rasa kepedulian bagi sesama yang sedang dalam kesulitan. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki itu tercermin dalam kreativitas, seni, serta prestasi akademik lainnya.
Hal ini dapat dilihat dalam pemberitaan laman resmi Ditjen Bimas Katolik, ternyata banyak prestasi yang diperoleh para peserta didik SMAK, antara lain siswa SMAK Negeri Ende Raih Kategori Terbaik Lomba Bintang Radio (Jumat, 17 November 2023), Siswa SMAK Binaan Ditjen Bimas Katolik Tunjukkan Kualitas di Ajang Pesparani Nasional III (Senin, 30 Oktober 2023), Siswa SMAK Bhakti Luhur Malang Raih Juara Dua Olimpiade Sains Matematika Tingkat Nasional (Senin, 20 Februari 2023), Siswa SMAK Negeri Ende Raih Juara Bintang Radio (Rabu, 2 November 2022), Ikut Lomba Peringatan Hari Sumpah Pemuda, SMAK Santa MAria Tanah Merah Raih Lima Piala (Kamis, 3 November 2022). Tentu saja, masih banyak lagi prestasi peserta didik SMAK yang belum sempat terpublikasi. Fakta ini semakin memperkuat pentingnya kehadiran SMAK dalam berkontribusi bagi pembangunan bangsa.
Dari fakta aktual di atas, mari kita masuk pada judul yang disajikan penulis tentang “Terampil Berkatekese Mulai dari SMAK”. Mungkin ada yang bertanya, apa itu Katekese? Sejauh mana peserta didik SMAK dapat terampil dan berprestasi dalam berkatekese?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengenal tentang kata “katekese”. Secara etimologi, kata katekese berasal dari kata Yunani catechein (kt. Kerja) dan catechesis (kt. Benda). Akar katanya adalah kat dan echo. Kat artinya keluar, ke arah luas dan echo artinya gema/gaung. Pada artikel berjudul “Katekese Dalam Pastoral Kitab Suci” (Komkat KWI, 2015) dijelaskan juga terminologis katekese, yang berarti membuat bergema, menyebabkan sesuatu bergaung; suatu gema yang diperdengarkan/disampaikan keluar/ke arah luas. Gema dapat terjadi jika ada suara yang penuh dengan keyakinan dan gema tidak pernah berhenti pada satu arah; maka katekese juga harus dilakukan dengan penuh keyakinan dan tidak pernah berhenti pada satu arah (Komkat KWI; 2015). Sementara itu, dalam dokumen resmi Gereja Katolik tentang Direktorium Kateketik Umum (1971), dijelaskan bahwa katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan sabda, yang bertujuan membuat iman umat hidup, berdasar, dan aktif lewat cara pengajaran (DKU. 17).
Setelah penjelasan singkat arti dan makna kata katekese, kita perlu melihat catatan Gereja Katolik Indonesia tentang perkembangan katekese sebelum dan setelah kemerdekaan nusantara. Ada pelbagai tantangan mewartakan isi Katekismus Gereja Katolik dalam pewartaan katekese dan mulai terkendala pada penerapan kurikulum nasional tahun 1975. Ada sejumlah persoalan lain yang dihadapi seputar kurikulum nasional tahun 1975 itu hingga memuncak dengan dilaksanakannya Pertemuan Kateketik Antarkeuskupan se-Indonesia (PKKI-I). Dalam buku Arah Katekese Gereja Indonesia (Dioma, 1993) tercatat PKKI I itu berlangsung pertama kali di Wisma Syalom Sindanglaya, Jawa Barat pada 10-16 Juli 1977 untuk membahas arah katekese di Indonesia. Sejak saat itu, Gereja Katolik Indonesia memutuskan diperlukan pendidikan katekese sesuai kontekstual daerah masing-masing daerah yang dikenal “Katekese Umat”. Walaupun saat itu Katekese Umat masih berada di luar sekolah, namun dampaknya dirasakan umat pada Komunitas Basis Gerejani (KBG), terutama bagi kalangan peserta didik.
Dalam perjalanan pendidikan keagamaan Katolik Indonesia, sebanyak 45 SMAK di bawah binaan Ditjen Bimas Katolik telah mengadopsi mata pelajaran (mapel) katekese. Namun saat ini masih menjadi persoalan terkait struktur kurikulum SMAK yang belum menyesuaikan kurikulum terkini (Merdeka Belajar). SMAK Indonesia masih mengikuti regulasi lama berdasarkan Keputusan Dirjen Bimkat Kemenag RI Nomor DJ.IV/Hk.00.5/102 A/2013 tentang Struktur Kurikulum SMAK. Regulasi yang terasa kurang “update” itu sedang diproses untuk pembaruan oleh Ditjen Bimas Katolik. Pembaruan regulasi itu diperlukan karena kalau tidak, kurikulum lama di dalamnya memiliki sisi kelemahan terhadap capaian belajar, modul ajar, dan evaluasi pembelajaran, termasuk mapel katekese pada SMAK hingga hari ini. Pada praktiknya, dari SK Dirjen lama itu ditemukan sejumlah persoalan dikarenakan penilaian pembelajaran katekese dan pastoral hanya diberlakukan kepada peserta didik kelas 10, sedangkan untuk kelas 11 dan 12 hanya dilakukan pengembangan pembelajaran mapel katekese dalam kesatuan pada mapel keagamaan lainnya, seperti mapel Kitab Suci.
Perihal persoalan penilaian mapel pastoral/katekese itu tidak disangkal oleh Kepala SMAK Santo Yoseph Sangatta, I Ketut Suyatre di Labuan Bajo, Rabu (6/3/2024). Dalam obrolan ringan dengan penulis, Ketut menjelaskan nilai mapel katekese/pastoral yang dicatatkan pada ijazah akhir peserta didik kelas 12 merupakan perhitungan penilaian rata-rata mapel pastoral dan katekese yang diperoleh dari kelas 10. Menurut Ketut, aturan struktur kurikulum pada SMAK belum diubah (SK Dirjen 102 A/2013), oleh karenanya sekolah masih mengacu kurikulum 2013 di satu sisi, yang mana mapel katekese tidak diberlakukan pada kelas 11 dan kelas 12, sehingga sekolah mengakalinya dengan menyesuaikan Kurikulum baru (Merdeka Belajar) di sisi lainnya dengan melaksanakan kegiatan pembelajaran katekese bersamaan dengan mapel keagamaan lainnya, hal itu berlaku pada sekolahnya selama regulasi tersebut belum “dicabut” atau diperbarui. Namun demikian, untuk menyiasati kekurangan dalam regulasi itu dan menyesuaikan Kurikulum Merdeka, para siswa tetap diberikan kesempatan untuk praktik mapel katekese saat mengikuti live in di tengah masyarakat. Mereka diberikan kesempatan untuk memimpin ibadat di lingkungan umat basis, memimpin doa rosario, membawakan renungan pendalaman iman, dan juga animasi Sekami. Jadi, kata Ketut, sapaan akrabnya, hanya kelas 10 yang mendapatkan pembelajaran mapel pastoral dan katekese, sedangkan kelas 11 dan kelas 12 tidak dipelajari lagi mapel katekese sesuai pengelompokan pada struktur kurikulum 2013. Ketika diceritakan tentang kegiatan ibadat pagi di SMAK Adonara dan ditanyakan terkait ibadat pagi di SMAK Sangatta, Ketut mengakui sekolah yang dipimpinnya juga menerapkan ibadat pagi sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Mereka memulai ibadat pagi hari pada pukul 07.20 WITA dengan dipimpin tiga siswa yang mendapat tugas sesuai perannya masing-masing seperti yang dilakukan juga oleh SMAK di Adonara.
Selain perihal persoalan kurikulum mapel katekese, ada pula persoalan yang senasib dengan mapel sejarah gereja di lembaga pendidikan keagamaan. SMAK saat ini belum memiliki buku pegangan (modul) bagi guru dan peserta didik untuk mapel katekese dan mapel sejarah gereja. Persoalan ini sudah ada sejak lama saat kedua mapel itu (katekese dan sejarah gereja) dikembalikan penerapan modulnya kepada masing-masing sekolah sesuai kontekstual keuskupannya. Terkait hal tersebut, penulis berharap pembaruan mendesak regulasi tentang struktur kurikulum pada SMAK itu terwujud dengan disediakannya turunannya seperti capaian pembelajaran, modul ajar, dan lainnya, terkhusus mapel katekese dan mapel sejarah gereja, sesuai beberapa gagasan menarik yang ada dalam Kurikulum Merdeka. Sedangkan untuk evaluasi pembelajaran katekese, dirasa perlu untuk diujikan pada ujian akhir sekolah dan praktik lapangan pada jenjang kelas 11 dan kelas 12. Penilaian pun dilakukan untuk mengukur sejauh mana kemampuan akademik peserta didik SMAK dalam bidang mapel katekese dan mapel keagamaan lainnya. Indikator keberhasilan penilaian pembelajaran katekese dapat diukur melalui dua cara. Pertama, menilai kemampuan pedagogis mapel katekese dan mapel keagamaan lainnya sebagai nilai akhir hasil akademik peserta didik (lht. bdk. Asesmen Penilaian Pembelajaran). Lalu yang kedua, aktualisasi siswa dalam berkatekese di tengah masyarakat dan Gereja. (lht. bdk. Aktualisasi Diri, Hierarki Kebutuhan Maslow).
Selama ini, khususnya dalam dua tahun terakhir, nilai mapel keagamaan termasuk mapel katekese/pastoral telah dicatat sekolah sebagai nilai akhir pada ijazah kelulusan peserta didik SMAK. Nilai-nilai mapel itu kemudian dilaporkan kepada Direktorat Pendidikan Katolik Ditjen Bimas Katolik melalui Subdit Pendidikan Menengah. Berdasarkan data yang diterima Tusi Menengah pada tahun 2022-2023 diketahui secara nasional nilai rata-rata ujian akhir SMAK hasilnya cukup memuaskan. Pada tahun 2022, nilai rata-rata sebesar 80-an persen untuk mata pelajaran keagamaan. Pada tahun 2023, nilai rata-rata sekolah mapel keagamaan (Kitab Suci, Doktrin Gereja, Sejarah Gereja, Liturgi, Pastoral dan Katekese) sebesar 80,73 persen dan sebesar 80,65 persen untuk nilai rata-rata hanya mata pelajaran Katekese/Pastoral. Selain penilaian akhir akademik mapel katekese, ternyata pendidikan katekese pada SMAK dan di Indonesia masih menjadi tantangan tersendiri. Merujuk Seri Dokumen Gerejawi Nomor 128 tentang Petunjuk Untuk Katekese (Direttorio Per La Catechesi) disebutkan ada dua masalah utama yang dihadapi Gereja dan pendidikan Katekese. Pertama, fenomena budaya digital, yang mengakibatkan masalah kedua, yakni globalisasi budaya.
Dalam pengantar dokumen “Petunjuk Untuk Katekese” itu, dijelaskan bahwa para Bapa Konsili mengatakan hendaknya para Uskup menyajikan ajaran Kristiani dengan cara menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman: artinya menjawab kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat menekan dan menggelisahkan orang-orang sekarang, menyebarluaskan ajaran Kristiani dengan mengerahkan pelbagai upaya, yang tersedia pada zaman sekarang ini, yakni terutama khotbah dan pendidikan katekese, yang memang selalu harus diutamakan. Sementara itu, para Uskup menjaga supaya pendidikan katekese yang tujuannya adalah supaya iman umat diterangi melalui ajaran dan menjadi hidup dan eksplisit serta aktif, diberikan dengan rajin dan saksama kepada anak-anak dan para remaja, kepada kaum muda maupun orang-orang dewasa. Pendidikan katekese itu mengacu kepada Kitab Suci, Tradisi, Liturgi, Ajaran resmi, dan kehidupan Gereja. Di sini penulis menilai, pendidikan katekese perlu berkolaborasi (baca: terpadu) dengan mapel-mapel keagamaan dan mapel umum lainnya. Diharapkan dengan kolaborasi mapel lain, peserta didik dapat memahami keilmuan mapel katekese menjadi lebih komprehensif.
Berkaitan ulasan di atas, penulis menilai pentingnya pengembangan keterampilan katekese pada peserta didik sejak mengenyam pendidikan di SMAK. Dua contoh pengalaman dan kegiatan katekese dari SMAK Santa Maria Immaculata Adonara dan penjelasan singkat dari SMAK Santo Yoseph Sangatta di atas menjadi harapan baik bagi masa depan Gereja dan Bangsa. Setelah lulus dari SMAK, peserta didik diharapkan dapat meningkatkan kompetensi akademik ke jenjang lebih tinggi di perguruan tinggi keagamaan Katolik (PTK Katolik) atau perguruan tinggi lainnya. Pada program studi Ilmu Pendidikan Keagamaan Katolik ditawarkan lebih mendalam pedagogi berkatekese sebagai calon Katekis atau Guru Pendidikan Agama Katolik.
Sebagai peningkatan kompetensi (baca: kemampuan), penulis merasa perlu dilakukan upaya metodologi baru pembinaan katekese secara nasional dalam bentuk kompetisi (baca: pertandingan). Gereja mengakui katekese tidak memiliki metode tunggal, tetapi terbuka untuk mengembangkan metode-metode yang berbeda-beda, dengan menghadapkannya dengan pedagogi dan didaktika, dan membiarkan diri dibimbing oleh Injil, yang perlu untuk mengakui kebenaran manusia. Harapannya, ada suatu metodologis baru untuk pembinaan katekese secara nasional dengan dibuat suatu program, misalnya lomba katekese digital pada tingkat nasional untuk peserta didik SMAK. Lomba katekese digital selain menjadi sarana pewartaan, namun juga sebagai ajang mengasah keterampilan katekese pada peserta didik SMAK yang hidup dalam era digital natives. Mereka yang disebut sebagai digital natives maksudnya yaitu orang-orang yang dilahirkan dan bertumbuh kembang dengan teknologi digital dalam suatu masyarakat multilayar, menganggap teknologi sebagai unsur biasa tanpa merasa canggung dalam menggunakan dan berinteraksi dengan teknologi. Memang disadari terkait lomba katekese digital ini perlu dipersiapkan lebih matang, koordinasi dengan banyak pihak terkait, dan pemahaman bersama untuk mengembangkan keterampilan katekese pada SMAK. Tetapi semua hal itu dapat terwujud bila ada niat untuk menjalankannya dan SMAK siap untuk melaksanakannya. Diharapkan juga katekese menjadi salah satu ciri khas dari para peserta didik SMAK atau siswa jenjang pendidikan menengah dan menjadi mapel unggulan pada sekolah keagamaan seperti SMAK.
Pada akhirnya, peserta didik SMAK diharapkan bukan hanya berprestasi secara akademik saja, namun juga dapat berprestasi sebagai pelayan umat di tengah masyarakat dan gereja. Pro Ecclesia et Patria.
Melki Pangaribuan, Analis Pengembangan Peserta Didik
Luar Biasa. SMAK ke depan akan lebih maju lagi. Terimakasih Bimas Katolik yang telah hadir mendampingi SMAK di seluruh Indonesia.