Para Imam MEP Datang untuk Misi Bukan Cari Bibit Panggilan

165
Pastor Paul Billaud, MEP

HIDUPKATOLIK.COM – LEBIH dari 350 tahun, Serikat Misi Imam-imam Diosesan/Projo Perancis (Missions Étrangères de Paris/MEP), terbentuk. Kehadirannya diawali dengan Dikasteri Propaganda Fide Vatikan merasa urgensi memiliki tenaga misioner. Kerajaan Spanyol dan Portugal yang awalnya memonopoli karya misioner pada akhirnya mendatangkan berbagai persoalan bagi Gereja dengan hanya mencari keuntungan lewat karya misi. Vatikan merasa perlu memiliki serikat misi sendiri sehingga berdirinya MEP. Bagaimana karya pelayanan para misionaris MEP? Mengapa para imam MEP bisa berkarya di Indonesia? Berikut wawancara dengan Pastor Paul Billaud, MEP – anggota MEP terakhir yang berkarya di Indonesia.

Bagaimana cerita awal hingga Propaganda Fide mendirikan MEP?

            Selain persoalan monopoli karya misioner oleh Kerajaan Spanyol dan Portugal, ada juga usulan konkret seorang Yesuit yang pernah berkarya di Vietnam, Pastor Alexander de Rhodes, SJ (1626). Melihat situasi di Asia, ia mengusulkan agar Paus mendirikan di daerah misi suatu presbyterium yang terdiri dari klerus sekulir pribumi yang dipimpin uskup setempat. Di Perancis, ada beberapa orang yang sepakat dengan usulan Pastor Rhodes maka segera muncul ide pendirian MEP. Takhta Suci lalu mengangkat dua orang, Mgr. Francois Pallu sebagai Vikaris Apostolik Tonkin (Vietnam), Mgr. Lambert de la Motte sebagai Vikaris Apostolis Cochinchine (Cina). Mereka diutus ke Asia dengan kuasa penuh dibawah bimbingan Propaganda Fide.

Mgr. Harun Yuwono, Uskup Agung Palembang (kiri) memberikan penghargaan kepada Pastor Paul Billaud, MEP dalam perayaan 39 tahun kehadiran MEP di Keuskupan Tanjungkarang. (Foto: Dok. HIDUP)

Apa saja buah-buah refleksi dua uskup yang berkarya di Asia waktu itu?

            Kongregasi yang didirikan oleh Paus Gregorius XV tahun 1622 segera memanggil dua uskup yang berkarya di Asia untuk mendengarkan masukan. Dua uskup itu sepakat bahwa di Asia jangan berusaha meyakinkan bangsa itu untuk mengubah upacara, kebiasaan atau adat-istiadat mereka, kecuali bertentangan dengan kebaktian dan moral. Sebuah kebodohan bila memindahkan budaya Eropa ke Asia. Bawalah iman yang tidak menolak atau melukai kebiasaan bangsa Asia. Perlu menghargai dan mencintai serta menjunjung tinggi tradisi bangsa serta tidak membandingkan kebiasaan Eropa dengan Asia, tetapi perlu menyesuaikan diri dengan bangsa Asia.

Lalu kapan persis karya misi MEP menyapa daratan Nusantara?

Awalnya bukan Indonesia menjadi fokus misi, tetapi karena banyak imam diusir dari negara-negara lain karena Komunis maka Indonesia menjadi pilihan. Meski begitu MEP sudah tiba di Indonesia jauh sebelumnya tahun 1824. Ada sekitar 30 budak dan mantan budak yang dibawah dari Nias oleh saudagar Cina dibaptis di Penang oleh seorang imam MEP. Maka dua imam muda MEP, yakni Pastor Jean Pierre Vallon dan Jean Laurent Berard berangkat ke Nias ditemani seorang katekis dari Nias tahun 1832 untuk melayani di sana. Tetapi dua imam itu meninggal dunia karena demam dan kuburannya masih bisa dilihat di Nias. Sejak dua imam itu, pasca pemberontakan Komunis maka Indonesia semakin intens dilayani MEP.

Apa karya yang paling fundamental para imam MEP di Indonesia?

            Kami tidak punya misi khusus misalkan mendirikan rumah sakit, sekolah, atau paroki-paroki. Sebab awal berdirinya MEP bukan untuk misi-misi itu. MEP itu serikat karya misioner yang memang terpanggil untuk melayani Gereja lokal, khususnya perhatian pada pendidikan calon imam pribumi. Kami tidak punya paroki khusus, kecuali dibutuhkan oleh uskup dan ketaatan penuh kami seperti imam Praja lainnya kepada uskup setempat. Kami tidak memiliki biara seperti serikat atau ordo lain. Biara kami adalah tinggal bersama umat, memberi pendidikan khusus kepada orang muda agar bisa menjadi imam diosesan kelak. Pun kalau ada rumah atau biara, semuanya itu milik keuskupan. Kami menilai diri kami berhasil kalau pelayanan kami tidak dibutuhkan lagi.

Kalau demikian, apa ciri khas MEP? Apakah Serikat ini masih dibutuhkan?

            Di Asia, kami percaya bahwa masih ada banyak orang yang belum beragama, dan untuk tugas itu MEP hadir. Evangelisasi kepada orang-orang belum mengenal Kristus adalah keharusan. Selain itu kehadiran MEP tidak mencari bibit-bibit panggilan untuk MEP. Kongregasi kami melarang untuk di tanah misi kami menerima anggota baru. Tidak seperti tarekat atau kongregasi lain yang membuka biara di sebuah daerah dengan tujuan mencari benih-benih panggilan. MEP tidak demikian, karena fokus membantu panggilan imam-imam pribumi. Kami tidak ingin mengacaukan panggilan calon-calon imam diosesan setempat.

Imam MEP di Tanjungkarang, (kiri-kanan) Pastor Jo Gourdon, MEP; Pastor Vincent Le Baron, MEP; Pastor Paul Billaud, MEP; dan Pastor Ferdinando Peccoraro, MEP (duduk). Foto tahun 1978. (Foto: Dok. MEP)

Lalu bagaimana dengan regenerasi MEP?

            Saat ini ada 140 anggota yang awalnya hanya berkebangsaan Perancis karena memang diosesan Paris. Dalam perkembangan mulai terbuka kemungkinan dari luar Perancis tetapi syaratnya sudah menjadi imam, pun kalau uskup setempat mengizinkan dan memberikan rekomendasi pada imam dimaksud. Perlu dicatat bahwa kami tidak menerima orang muda yang mau masuk seminari khusus untuk imam MEP – kecuali orang muda berkebangsaan Perancis. Kepada para imam yang sudah keluar dari tarekat atau ordo pertamanya dan menjadi anggota MEP harus melanjutkan studi di Perancis dan pelayanannya tidak lagi di negara asalnya. Saat ini sudah ada beberapa anggota dari Benua Asia seperti India, Filipina, Vietnam, dan Korea Selatan.

Pastor, apa saja spiritualitas dari Serikat MEP?

            Serikat MEP tidak memiliki spiritualitas khusus selain melaksanakan misi evangelisasi di bawah bimbingan uskup setempat. Dalam karya itu kami memiliki motto, Ad vitam, ad extra, ad gentes (pergi keluar, untuk orang jauh, seumur hidup) dengan Gereja setempat. Jadi sama seperti imam diosesan, kami melayani di keuskupan itu sampai kami dianggap tidak dibutuhkan lagi. Kendati demikian, MEP tetap menghayati Tri Kaul: setiap kepada uskup, hidup sederhana, dan selibat seumur hidup. Soal hidup miskin, bukan berarti kami berasal dari Perancis maka semua kebutuhan kami langsung oleh MEP Perancis. Kami berusaha hidup layaknya seperti para imam Praja yang mandiri berjuang untuk Gereja lokal.

Makan Pastor Berard P. Vallon, MEP di Gunung Sitoli, Nias, tahun 1832. (Foto: Ist.)

Sudah 46 tahun Pastor melayani di Indonesia. Apa pandangan tentang Gereja Indonesia kini?

            Saya tiba di Indonesia tahun 1978 sebagai anak muda dari negara dan budaya yang berbeda. Waktu itu mencoba melepaskan budaya “kebarat-baratan” dan ambil bagian dengan umat pribumi. Para imam pun saat itu berusaha menjadi imam yang melekat pada akar budaya tanpa melepaskan imamatnya. Kami tinggal bersama umat, merasakan betul beban dan penderitaan mereka, terlibat melayani dengan situasi yang sulit sekali. Dengan perkembangan zaman saya menangkap mulai terjadi pergeseran pelayanan imam yang sesungguhnya. Banyak imam, mulai menunjukkan klerikalisme di tengah umat. Ada usaha untuk lebih dilayani daripada melayani dan banyak juga umat yang mengkultuskan imamnya. Akhirnya imam melayani dengan sesukanya. Terlambat pimpin Misa pun, umat memaklumi; dan berbuat kesalahan juga pun diampuni. Ini hal yang menjadi catatan penting evangelisasi imam di tengah perubahan zaman ini. Kita perlu kembali ke akar pelayanan seperti Kristus melayani tanpa memikirkan untung-rugi bagi diri-Nya.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

 Majalah HIDUP Edis No. 08, Tahun Ke-78, Minggu, 25 Februari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini