Dari Kedungombo dan Kali Code, Romo Mangun Bersuara Lantang

175
Pastor Y.B. Mangunwijaya

HIDUPKATOLIK.COM – “Mana mungkin saya selaku rohaniwan menolak jeritan mereka dalam kegelapan dan kebingungan mereka. Dosa besar rasanya bila berdiam diri.”

Hujan deras selama beberapa hari di Yogyakarta membuat aliran air di Sungai Code yang membelah kota makin pekat. Sore itu HIDUP sempat melihat kawasan Code yang berada di wilayah Kotabaru, Yogyakarta. Kawasan Code dan Kedungombo sulit dilepaskan dari jejak sejarah karya Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun. Ketiganya merupakan kesatuan tak terpisahkan, dan menarik dibicarakan bahkan saat kepergiannya sudah menginjak 25 tahun.

Romo Mangun lahir di Ambarawa pada 6 Mei 1929. Sulung 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah ini menempuh pendidikannya di HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan Jawa Tengah, lalu melanjutkan ke STM Jetis Yogyakarta. Kedatangan penjajah Jepang membuatnya terlibat dalam pergerakan. Ia mendaftar tentara dan diterima sebagai prajurit TKR Batalyon X Divisi III dan bertugas di asrama militer di Benteng Vrederburg, lalu di Kotabaru Yogyakarta.

Ada dua pertempuran yang dilibatinya, di Ambarawa dan Mranggen. Setelah perang usai ia kembali ke STM Jetis hingga lulus (1947). Saat agresi militer Belanda I, ia tergabung dalam TP Brigade XVII sebagai komandan kompi TP Kompi Kedu. Setelah perang usai, ia melanjutkan studi ke Malang (1947-1951). Ia juga menjadi anggota TKR karena semangat juangnya tinggi. Dalam sebuah upacara bendera, ia mendengar perkataan Mayor Isman yang memengaruhinya. Perkataan itu menyadarkannya bahwa dalam perang, yang paling berjasa atau pahlawan sesungguhnya adalah rakyat. Karena itu, ia ingin membayar utang kepada rakyat dengan memberikan hidupnya bagi rakyat. Hal itu dilakukannya dengan memilih panggilan hidup sebagai imam projo KAS.

Tahun 1951 ia masuk ke seminari dan melanjutkan hingga ditahbiskan sebagai imam pada 8 September 1959 oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Perutusan studi arsitektur dijalaninya dengan taat, termasuk ketika studi di Jerman. Tahun 1960 setelah lulus dari ITB, ia melanjutkan studi arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule di Aachen Jerman dan lulus pada tahun 1966. Ia sempat menunggui saat Uskup Soegijapranata wafat di biara pusat suster Penyelenggaraan Ilahi di Harleen, Belanda (1963).

Romo Mangun juga dikenal karena tulisannya. Ia menghasilkan banyak esai, cerpen, juga novel sastra yang diminati. Ada beberapa penghargaan yang dterimanya dari hasil menulis, misalnya Piala Kincir Emas dari radio Nederland (1975). Kebanyakan tulisannya bertema agama, kebudayaan, dan teknologi yang dimuat di beberapa media. Beberapa novelnya masih dibicarakan saat ini karena topiknya aktual dan identik dengan perjuangan kemanusiaannya.

Romo Y.B. Mangunwijaya (paling kanan) bersama KH Abdurrahman Wahid (kiri) dan Ashadi Siregar (tengah) (Foto: Dok HIDUP)

Setelah kembali ke Indonesia, ia bertugas sebagai imam di Paroki Salam, Jawa Tengah. Selain sebagai pastor paroki, ia juga menjadi dosen luar biasa di Arsitektur UGM. Pada saat inilah (1967-1980) ia mulai menjalin hubungan baik dengan tokoh lintas agama. Gus Dur dan Gedong Bagoes Oka merupakan sahabat berdiskusinya, selain B.J. Habibie teman baiknya sejak studi di Jerman.

Romo Mangun sangat cair dalam berelasi dengan pemeluk agama lainnya. Karya sosialnya dipicu oleh kepesertaannya dalam Fellow of Apsen Institute for Humanistic Studies di Aspen Colorado AS. Ia mendampingi warga Code yang terancam penggusuran dan membantu mengubah kualitas hidup mereka.

Keterlibatan ini membuatnya menerima The Aga Khan Award (1992) atas perbaikan arsitektur pemukiman warga Code. Berikutnya, ia mendampingi warga Kedungombo, Sragen Jawa Tengah yang menjadi korban pembuatan waduk.

Kedungombo

Pembangunan waduk Kedungombo seluas 6500 hektar mengambil alih tanah warga seluas 3500 hektar. Namun, uang penggantian dikorup sehingga menimbulkan perselisihan. Ketika proses pengaliran air dilakukan, banyak warga yang bertahan karena persoalan ganti rugi belum selesai. Akibatnya warga terisolir dan lebih dari 3000 anak menjadi korban telantar pendidikannya. Demikian juga kehidupan warga sangat membutuhkan bantuan, sementara ada pihak yang menghalangi masuknya bantuan bagi warga.

Romo Mangun menulis, “Kami memanggil dengan penuh kepercayaan, relawan-relawati cintawan, demi 3500 anak terlantar di Kedungombo yang sedang digenangi. Untuk bergilir menolong mereka sebagai abang-kakak-guru-pengasuh, dsb,” ditandatangani bersama 5 orang lainnya. Surat itu berhasil mendatangkan simpati dan bantuan bagi warga. Romo Mangun juga menyampaikan dalam suratnya kepada pejabat pemerintah, “Mana mungkin saya selaku rohaniwan menolak jeritan mereka dalam kegelapan dan kebingungan mereka. Dosa besar rasanya bila berdiam diri.”

Alm.Romo Y.B. Mangunwijaya saat merayakan Ekaristi. (Foto: Ist.)

Romo Mangun ditemani Romo Yosep Suyatno mendampingi warga Kedongombo. Romo Yatno memberikan beberapa catatan (dimuat Jawa Pos) tentang Romo Mangun. “Ia begitu tulus, peduli dan rela berkorban bagi rakyat Kedongombo yang telah dirampas hak-haknya oleh penguasa dengan alasan untuk pembangunan sebuah waduk. Romo Mangun tidak bisa terima ketika dilihatnya hak asasi manusia (HAM) diganggu, dirampas dengan berbagai alasan pembangunan. Itu yang membuatnya terpanggil datang ke sana untuk berjuang bersama warga.”

Ada banyak kenangan yang terjadi, misalnya ketika harus kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Ketika akan menemui warga Kedongombo, malam-malam mereka memakai perahu. Mereka juga pernah digrebek aparat keamanan saat mengadakan rapat dengan warga Kedongombo. “Inikan negara merdeka, kenapa orang-orang malah dibuat tidak merdeka.” kata Romo Mangun saat itu.

Bantaran Kali Code

Sekitar tahun 1980-an kawasan ini masih dikenal sebagai kawasan kumuh yang ditinggali oleh kaum urban. Mereka tinggal berdesakan dalam rumah terbuat dari kardus atau anyaman bambu dan menjalani aneka profesi untuk bertahan hidup. Kondisi itu makin sulit ketika Pemda merencanakan penggusuran bagi warga. Kondisi mulai berubah saat Romo Mangun datang menginisiasi penataan pemukiman warga Code serta mendampingi perbaikan kualitas hidupnya. Pekerjaan itu dibantu relawan, mahasiswa, dan warga setempat. Warga didampingi untuk mengubah kehidupan mereka dari aspek ekonomi, manusia, dan lingkungan.

Romo Y.B. Mangunwijaya bersama anak-anak Kali Code, Yogyakarta

Direktur DED dan Dekan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,  Romo C.B. Mulyatno menyampaikan kepada HIDUP. “Romo Mangun hadir sebagai saudara dan hidup bersama mereka. Ia membuat gubuk untuk tinggal. Lalu membuat ruang perjumpaan bagi warga, karena kekerasan amat kuat di sana. Warga berasal dari berbagai tempat, maka dibuatkan ruang rembug bersama warga. Arsitektur hasil karyanya bertolak dari hati masyarakat. Anak-anak belum bisa sekolah, maka buat ruang baca, mendatangkan mahasiswa untuk mendampingi di sanggar belajar anak-anak. Ia juga menikahkan orang-orang yang belum menikah resmi, dengan mengundang pemuka agama resmi. Tujuannya supaya secara manusiawi warga punya kepercayaan diri, secara sosial dihargai. Mereka dibantu mempunyai KTP sebagai penduduk resmi. Romo Mangun memulai dari apa yang menjadi kebutuhan warga, mencari solusi, dan secara simultan diajak membangun secara tidak permanen berdasarkan bahan yang dimiliki.”

Kampung Romo Mangun

Ada yang menarik karena Kampung Code saat ini juga disebut sebagai Kampung Romo Mangun, untuk  mengenang dan menghargai jasanya. Penyebutan ini dikenalkan oleh Ketua Kampung Kotabaru periode 2019-2023 Darsam. Dijelaskannya perubahan yang terjadi setelah hampir 40 tahun restrukturisasi masyarakat Code berlangsung. Ada berbagai perubahan mulai dari fisik, sosial ekonomi, pendidikan, dan kemasyarakatan.

Dikatakannya, “Bangunan fisik peninggalan Romo Mangun itu masih ada dan dirawat baik. Rumah berbentuk kereta (apartemen ala Romo Mangun) di sisi selatan dan utara, rumah tinggal juga masih utuh. Tidak kalah pentingnya adalah Balai Serbaguna (Balai Paseban) yang masih dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan oleh warga sampa saat ini. Bangunan hunian milik masyarakat sudah banyak yang berubah permanen. Ini disebabkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Saat Romo masih hidup, pendidikan warga paling SD, SMP, dan mungkin paling tinggi SMA,  tetapi sekarang ini sudah banyak warga yang anaknya lulus sarjana. Selain itu, bangunan semi permanen dari bambu juga tak bisa bertahan lama. Setelah 10 tahun, misalnya harus diperbaiki. Bangunan asli peninggalan Romo Mangun itu juga sudah direstorasi. Meski demikian, masih ada fasilitas umum yang dipakai bersama oleh masyarakat, misal kamar mandi umum. Tidak semua rumah warga mempunyainya. Saat ini ada 11 kamar mandi umum yang masih digunakan bersama.”

Darsam tidak pernah bertemu dengan Romo Mangun, tetapi melihat karyanya dan dinamika masyarakat Code hingga saat ini, ia mengakui bahwa semua perubahan baik itu disebabkan kehadiran Romo. Dikatakannya, “Romo Mangun itu seorang kyai yang berpredikat pendeta, kebalikannya Gus Dur. Intinya, apa yang diberikan Romo Mangun tak jauh berbeda dengan ajaran agama lain. Interpretasi masyarakat Muslim dan Kristiani seputar pendidikan kemanusiaan, dan pendidikan mengasihi sesama manusia itu kan sumbernya sama. Sumbernya dari Gusti Allah.”

Veronika Naning (Kontributor Yogyakarta)

Majalah HIDUP, Edisi No. 07, Tahun Ke-77, Minggu, 18 Februari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini