HIDUPKATOLIK.COM – DOKUMEN Konsili Vatikan II, “Gaudium et Spes” (Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Modern), menyebutkan bahwa segenap umat Kristen hendaknya menyadari panggilan mereka yang khas dalam negara. “Di situlah harus terpancarkan teladan mereka, yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum yang memang perlu ditingkatkan” (GS 75). Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Pastor Yohanes Kurnianto Jeharut, menjelaskan kekhasan ini kepada HIDUP pada awal Januari lalu. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana memaknai politik jika dikaitkan dengan pemilu mendatang?
Panggilan untuk terlibat dalam politik itu panggilan yang khas untuk awam Katolik, karena awam Katolik itu memang dipanggil untuk – dalam bahasa Konsili Vatikan II – ikut terlibat dalam tata dunia. Tapi dalam arti yang lebih spesifik dipanggil untuk menguduskan dunia lewat berbagai keterlibatan.
Salah satu keterlibatan konkrit adalah keterlibatan di bidang politik, baik melalui partai-partai politik maupun medan pengabdian yang lain. Karena itu, memang Gereja senantiasa mendorong para awam untuk terlibat dalam kehidupan bersama, lalu juga ikut ambil bagian dan bertanggung jawab.
Itu dorongan Gereja khusus untuk awam Katolik. Karena ini adalah panggilan khas awam, yang membedakan mereka dari para klerus, para imam dan juga membedakan mereka dari anggota lembaga hidup bakti, para biarawan dan biarawati.
Apa landasannya?
Landasan paling dasar sebenarnya Yesus yang menjelma menjadi manusia. Peristiwa inkarnasi itu menunjukkan kepada kita bahwa Yesus itu mau terlibat atau menjadi menusia dan ambil bagian dalam cara hidup kita. Maka misteri inkarnasi ini juga menjadi dasar bahwa kita juga yang mengimani Yesus, mengimani Kristus, juga dipanggil untuk terlibat dalam hidup bersama, pergumulan.
Dalam teks-teks, Ajaran Sosial Gereja dan Konsili Vatikan II juga secara sangat jelas memasukkan beberapa hal terkait relasi Gereja dan negara, lalu tanggung jawab umat dalam hidup bernegara, dan sebagainya.
Yang kalau dirumuskan secara singkat dan juga menjadi motto dalam gerakan organisasi-organisasi kemasyarakatan Katolik adalah tujuan untuk membangun bonum commune, kebaikan bersama. Ini tujuan dan cita-cita politik yang paling tinggi, kesejahteraan bersama. Dalam Pancasila juga disebut “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Jadi Gereja Katolik memiliki dokumen terkait hal ini?
Ada banyak sekali dokumen dari Gereja Universal tentang itu. Di KWI, para bapak uskup juga secara periodik mengeluarkan surat gembala atau nota pastoral.
Untuk pemilu 2024 ini tidak ada nota pastoral yang dikeluarkan secara khusus, tetapi dalam pernyataan akhir Sidang KWI pada akhir November lalu disebutkan dengan jelas hal-hal yang berkaitan dengan ke-pemilu-an. Para uskup mengajak umat untuk terlibat sebagai pemilih, sebagai calon legislator, dan juga terlibat untuk mengawasi proses pemilu supaya berjalan dengan baik. Juga mengimbau pihak-pihak – yang memang oleh peraturan hukum, undang-undang – diberi tanggung jawab sebagai penyelenggara, seperti KPU dan Bawaslu, untuk menyelenggarakan pemilu dengan baik. Juga mengharapkan, meminta aparat keamanan, TNI dan Polri menjamin proses ini berjalan dengan baik.
Sebagai gembala, para bapak uskup tentu memberi rambu-rambu, kriteria-kriteria tentang pemimpin seperti apa yang dipilih atau partai politik apa yang dipilih.
Apakah KWI juga mengajak umat Katolik untuk memilih berdasarkan hati nurani?
KWI juga menekankan seperti itu. Prinsipnya, setiap individu punya kebebasan. Dan kita menghormati kebebasan setiap individu itu, termasuk kebebasan menentukan pilihan politik, afiliasi politik. Bahkan dalam konteks pemilu, seperti pemilihan presiden, kepala daerah dan anggota legislatif, memilih orang atau partai tertentu itu tentu kebebasan dari setiap individu.
Hanya sebagai gembala para umat, para bapak uskup bertanggung jawab untuk juga memberikan pendidikan politik dalam konteks politik hati nurani, politik etik. Bukan dalam konteks mendukung siapa untuk mencapai jabatan atau kekuasaan apa.
Maka rambu-rambunya itu sangat formal, tapi saya kira juga menjadi pegangan dan landasan orang kalau ingin menghasilkan kekuasaan sebagai buah dari pemilu yang baik. Misalnya, para bapak uskup menekankan kriteria memang orang yang memegang teguh Pancasila, UUD 1945, menjaga keutuhan negara, dan juga menghormati kebhinnekaan. Juga memilih orang yang punya integritas, rekam jejak yang baik. Saya kira ini imbauan yang boleh dikatakan sangat umum tapi mendasar.
Bagaimana pendidikan politik diberikan?
Sebenarnya KWI dalam arti tertentu tidak punya umat. Yang punya umat adalah keuskupan-keuskupan. Artinya, organ-organ keuskupan yang juga diserahi tanggung jawab khusus untuk pastoral politik sosial kemasyarakatan adalah Komisi Kerawam.
Komisi Kerawam KWI pada Juni 2022 mengadakan pertemuan nasional. Temanya “Umat Katolik Tanggap dan Terlibat.” Irisan dari peristiwa pertemuan nasional itu sampai dengan satu periode kepengurusan yang akan berakhir pada 2024 memang banyak berkaitan dengan pemilu. Artinya, pada saat itu sudah mulai dengan proses persiapan, penyusunan undang-undang, pendaftaran calon, dan sebagainya.
Komisi Kerawam KWI, bersama Komisi Kerawam di 37 keuskupan, memiliki komitmen untuk terlibat aktif dalam mempersiapkan pemilu ini dengan cara pendidikan politik. Menganjurkan supaya umat Katolik terlibat sebagai penyelenggara, artinya mendaftarkan diri menjadi anggota Bawaslu, KPU dan TPS. Juga mendorong agar terlibat sebagai peserta, tentu saja melalui jalur partai politik, dan ini tidak bisa instan, tidak bisa hanya menjelang pemilu baru mendaftar, meskipun itu dimungkinkan. Terlibat sebagai pengawas, mengawasi proses, termasuk hak-hal paling sederhana, memastikan misalnya di lingkungan tempat tinggal bahwa orang sungguh-sungguh bisa melaksanakan ini dengan baik tanpa intimidasi, teror, dan lain sebagainya.
Tapi yang paling penting adalah mendorong supaya orang Katolik aktif sebagai pemilih, meskipun ini hak, bukan kewajiban. Hak, orang boleh memakai, boleh tidak. Tetapi dalam wujud tanggung jawab sebagai warga negara, hak politik itu dipakai. Ini didorong. Dan itu dilakukan oleh 37 keuskupan dengan caranya masing-masing. Ada yang aktif dengan seminar, pelatihan.
Ini semua cara kita untuk menunjukkan keterlibatan kita dalam pemilu dan memastikan bahwa proses pemilu memang berjalan dengan baik. Dan produk yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan.
Seperti apa memilih berdasarkan hati nurani?
Dalam ajaran kita, hati nurani itu institusi tertinggi. Dengan segala macam pengaruh. Bahkan khotbah-khotbah yang baik, nasihat-nasihat yang baik. Tapi pada saat bersamaan, ada sekian banyak pendapat, opini yang mempengaruhi.
Sebagai orang dewasa dan bertanggung jawab, dia mesti bisa menyaring informasi, menimbang. Bahkan dalam bahasa yang sangat Kristiani, misalnya, membuat discernment, pembedaan roh. Ini kebiasaan reiligus, spiritual yang selalu diajarkan kepada kita.
Praktik seperti itu juga harus dilakukan ketika kita membuat keputusan publik yang dampaknya akan berpengaruh pada nasib banyak orang. Maka kalau ditanya bagaimana persisnya ketika seorang harus memutuskan dengan hati nurani, tentu saja proses itu tidak sepersekian detik atau menit di TPS. Proses itu sudah dimulai ketika dia menjatuhkan pilihannya, melihat, misalnya sekarang ada 18 partai politik, maka ketika dia menimbang-nimbang, memilih partai politik yang mana, pada saat itu institusi tertinggi yang harus dia dengar ya hati nuraninya.
Apa imbauan untuk para caleg supaya menjunjung tinggi nilai-nilai itu?
Proses sebelum menjadi caleg juga panjang. Dalam keluarga, lingkungan, dan macam-macam. Sampai pada saat tertentu seseorang memutuskan terlibat dalam partai politik tertentu, ini suatu pilihan. Ketika dia memilih partai A misalnya, dia sudah punya pertimbangan bahwa dia tidak memilih B, C, dan seterusnya.
Harapannya, seorang Katolik yang sudah sampai tahap itu, dia juga sudah melewati tahapan pertimbangan yang matang. Ketika dia sudah memutuskan partai A, secara ideologi dia sudah merasa bahwa apa yang dia yakini juga dia temukan dalam partai A.
Lalu perjuangan dan komitmen pribadi dan komunitas. Komunitas itu maksudnya Gereja Katolik mengajarkan keberpihakan kepada kaum kecil, lemah, miskin, difabel, terlantar. Ini komitmen komunitas kita sebagai anggota Gereja. Ketika seorang melihat komitmen itu juga dimiliki oleh partai politik atau organisasi politik yang dia minati, di sana terjadi pertemuan antara niat, spirit, kepentingan individu.
Maka kalau demikian, perjuangan politiknya kita yakini akan seperti itu. Begitu seorang Katolik menjadi anggota partai politik, apalagi menjadi legislator, anggota DPR di tingkat kabupaten, kota, provinsi, dia tidak lagi mewakili kepentingan Katolik. Seorang anggota DPR mewakili kepentingan rakyat.
Harapan kita caleg-caleg Katolik juga menyadari sungguh bahwa spirit kekatolikan yang mereka miliki membentuk kepribadiannya. Itu mempengaruhi semangatnya, kepeduliannya keberpihakannya. Ketika dia terpilih, yang dia wakili adalah raklyat banyak.
Katharina Reny Lestari
Majalah HIDUP, Edisi No. 05, Tahun Ke-78, Minggu, 4 Februari 2024