Jadilah Pemilih yang Cerdas

133
Yunarto Wijaya

HIDUPKATOLIK.COM – Sebagai bagian integral bangsa, umat Katolik hendaknya terlibat dalam pesta demokrasi dengan menggunakan hak pilih berdasarkan hati nurani dan kebebasan pribadi.

BELUM lama ini, tepatnya pada tanggal 24 Januari 2024, Keuskupan Agung Medan (KAM), Sumatera Utara mengeluarkan surat gembala dalam rangka menyambut pemilu yang akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024, bertepatan dengan Rabu Abu atau awal Masa Prapaskah tahun ini. Sebelumnya, keuskupan-keuskupan lain mengeluarkan surat gembala serupa.            Secara garis besar, surat gembala para uskup ini mengajak umat Katolik, sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, untuk terlibat dalam pemilu dengan menggunakan hak suara berdasarkan hati nurani dan kebebasan pribadi.

Hal ini sejalan dengan Dokumen Konsili Vatikan II “Gaudium et Spes” (Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern): “Maka hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum” (GS 75).

Terkait hati nurani, Dokumen menyebutnya sebagai “inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya” (GS 16). Lebih lanjut dikatakan: “Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas kesetiaan terhadap hati nurani, umat Kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan.”

Sementara kebebasan pribadi, atau kebebasan sejati menurut Dokumen, memiliki definisi sebagai “tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia” (GS 17). Mengapa? “Sebab Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri, supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya, dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan. Maka martabat manusia menuntut, supaya ia bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas, artinya: digerakkan dan didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena rangsangan hati yang buta, atau semata-mata karena paksaan dari luar.”

Kriteria Pemimpin

Seperti tertuang dalam Pesan Sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2023 “Berjalan Bersama Menuju Indonesia Damai,” pesta demokrasi tahun ini akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR-RI, anggota DPD-RI, dan anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Soal kriteria pemimpin, KWI menggarisbawahi pemimpin yang memegang teguh Pancasila dan UUD 1945, menghormati kebhinnekaan, memiliki integritas, mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan, mempunyai keberpihakan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel, memiliki rekam jejak yang terpuji, dan menjunjung tinggi martabat manusia serta menjaga keutuhan alam ciptaan.

Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang menjadi penekanan, bukan hanya dalam Pesan Sidang KWI 2023 tapi juga surat gembala para uskup terkait pemilu.

“Dalam surat gembala ini, kami secara khusus menyampaikan beberapa kriteria calon pemimpin yang bisa membantu dan menuntun kita dalam menentukan pilihan. Kita bisa mencermati kriteria ini dari visi-misi, gagasan, dan program dari calon pemimpin yang akan kita pilih. Pemimpin yang tetap memegang teguh Empat Pilar Kebangsaan – Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI – sebagai pijakan utama dalam menjalankan roda kepemimpinannya,” ujar Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap, dalam Surat Gembala “Menyongsong Pesta Demokrasi.”

Sementara Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, menekankan – dalam Surat Gembala “Menjadi Pelayan Menurut Kasih Karunia Allah” – pemimpin yang sungguh-sungguh mampu memperjuangkan kesejahteraan seluruh bangsa, bukan hanya demi kepentingan sekelompok orang dan partai-partai politik yang mengusung mereka.

Selain kriteria pemimpin, KWI juga mengungkapkan keprihatinan tentang situasi politik terkait pemilu mendatang yang cenderung menunjukkan penurunan kualitas demokrasi. Mereka pun mengingatkan soal politik identitas berdasarkan suku, agama, ras dan antar-golongan yang juga rawan dimanfaatkan oleh politisi untuk mencapai tujuan kontestasi politik.

Dinamika Politik

Menyambung keprihatinan yang diungkapkan para uskup dalam Pesan Sidang KWI 2023, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, menjelaskan kepada HIDUP pada awal Januari lalu tentang dinamika politik tahun ini. Ia menyebutnya sebagai open election. Artinya, incumbent tidak bisa maju kembali.

“Di situ sebetulnya pertarungan ide, pertarungan antar calon bisa lebih menarik. Ide yang ditampilkan lebih beragam. Beda kalau incumbent bisa maju kembali, narasinya adalah menunjukkan dia sudah berhasil atau tidak,” ujarnya.

Satu hal yang ia sayangkan adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi belum lama ini soal batasan usia calon presiden dan wakil presiden, yang kemudian menjadi isu kontroversial di kalangan publik.

Menurut Yunarto, hal ini menyebabkan makna open election bergeser menjadi isu soal kecurangan, nepotisme, dan politik dinasti. “Pada titik itu, menurut saya, legacy Pak Jokowi – dalam konteks demokrasi yang seharusnya bisa jadi presiden pertama yang akan soft landing, siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden – malah kemudian menjadi legacy yang buruk akhirnya bagi Pak Jokowi sendiri dan menurunkan kualitas pemilu,” imbuhnya.

Berbagai masalah klasik seputar pemilu pun terus berulang. Misalnya, pragmatisme pemilih terkait politik transaksional dan masuknya kelompok-kelompok radikal atau intoleran.

Diakuinya bahwa pemilu tahun ini sangat kompleks jika dibandingkan dengan Pemilihan Presiden 2004. “Karena baru pertama kalinya kita melihat bagian dari politik dinasti terjadi. Bukan hanya itu, (tetapi juga) diikutsertakannya keluarga dari penguasa yang masih menjabat, yang kemudian ikut menjadi bagian dari pencalonan,” ungkapnya.

Ia juga mengamati soal pengaruh kelompok minoritas agama. Dalam hal ini, ia menilai kelompok minoritas agama tidak akan mampu memberi pengaruh signifikan terhadap penentuan kemenangan pemilu, khususnya presiden dan wakil presiden. Kuantitas menjadi pertimbangan utama.

“Tetapi seharusnya kelompok-kelompok kecil ini secara kuantitas malah bisa lebih menampilkan sisi kualitatif ketika berbicara mengenai pemilih yang berkualitas. Harusnya mereka lebih berani outspoken, berbicara mengenai nilai-nilai. Apa sih yang harus ada dalam kepemimpinan nasional, apa sih yang harus kita tolak dalam latar belakang kepemimpinan calon-calon pemimpin nasional,” ujarnya.

Melihat dinamika politik seperti ini, ia sepakat dengan ajakan para uskup kepada umat Katolik untuk menjadi pemilih yang cerdas. “Dimulai dengan kata cerdas. Artinya, saya pikir Gereja ingin menunjukkan bahwa yang menentukan pilihan Anda harus diri Anda sendiri. Bukan sekadar ikut pada patron tertentu atau tokoh tertentu, karena kita bukan bebek yang bisa dimobilisasi,” ujarnya.

Katharina Reny Lestari

Majalah HIDUP, Edisi No.05, Tahun Ke-78, Minggu, 4 Maret 2024

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini