Kepergian Sang Cerpenis

140

HIDUPKATOLIK.COM – KALAU boleh jujur, alasan pasti mengapa aku tetap berlangganan majalah mingguan “Terang Kehidupan” adalah sekadar mengikuti kolom cerita pendek yang terdapat di dalamya. Pun aku sejatinya hanya mengidolakan seorang cerpenis yang bernama “Tukang Bikin Cerita”. Kuyakin nama tersebut tak lebih dari sekadar nama pena. Orangtua mana yang memberikan nama anaknya sekonyol itu. Namun, hal yang mencuri perhatianku bukan pada uniknya nama tersebut. Hal yang menjadi persoalan bagiku adalah mengapa tulisannya telah tidak dimuat selama dua bulan berturut-turut. Padahal, dia termasuk penulis produktif sejauh aku berlangganan mingguan ini sejak lima tahun silam. Tema yang ia angkat pun sangat beragam: petualangan, persahabatan, cinta, politik, perjuangan, bahkan sesekali dia menyentil kehidupan membiara. Apakah ia sedang kehabisan tema cerita? Rasa-rasanya tidak. Ataukah mungkin ia sedang tidak memiliki “energi” untuk menulis? Bisa jadi. Namun demikian, aku tidak mau berspekulasi banyak tentang, sebut saja, si “TBC” tersebut.

“Eh, lu masih langganan mingguan ‘TK’ gak, Din?” tanya Riska kepadaku.

“Masih kok. Tapi mungkin kayaknya bentar lagi gak lagi deh.”

“Pasti gara-gara si ‘TBC’ gak nulis cerpen lagi ya?”

Aku mengangguk pelan sambil sedikit tersenyum. Dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana mungkin dia mengetahui kalau aku penggemar TBC tersebut. Rasa-rasanya aku tidak pernah bercerita kepada orang lain tentang referensiku terkait cerpen dan cerpenis. Baru aku menyadari ketika Riska menunjukkan sesuatu ke arah meja kerjaku. Ya, selama ini Riska mengamati potongan-potongan majalah yang memuat cerpen TBC. Potongan itu kuselipkan pada kaca yang melapisi meja kerjaku sehingga membentuk semacam kliping.

“Aku sebetulnya juga suka style dia menulis. Tapi kadang agak lebay,” serunya sambil menuding salah satu potongan cerpen.

Tuh kan lebay. Masak cerpen judulnya ‘Hilangnya Demokrasi di Rumah Kami’? Itu mah judul opini di surat kabar!” sambungnya dengan nada sedikit mencibir.

“Ya, itu kan gaya menulis. Tiap-tiap pengarang pasti punya sensenya masing-masing,” jawabku dengan santun.

“Ini lagi… Masak ada seorang pangeran yang jatuh cinta kepada ratu lebah karena memberikan dia asupan madu selama hidup di pengasingan? Benar-benar gak masuk akal,” katanya sambil menunjukkan potongan cerpen yang berjudul “Cinta Beda Kodrat”.

Dalam hatiku ada sedikit rasa tersinggung mendengar ucapan Riska. Untuk apa memperkarakan sebuah cerpen yang tidak lebih dari hasil sebuah imajinasi dan ilusi? Toh perkara seni sangat sulit untuk diperdebatkan. Namun demikian, mungkin terkesan naif ketika aku harus tersinggung untuk sosok yang belum pernah kuketahui “wujud aslinya”. Namun, perlu diakui bahwa aku telah jatuh hati kepada cerpen ciptaan TBC. Bahkan, aku merindukan cerpennya selama dua bulan belakangan ini.

***

MINGGU demi minggu berlalu, aku masih bertanya-tanya soal keberadaan TBC. Kehilangannya terasa sangat mendadak dan misterius. Bagiku terasa aneh ketika seorang penulis produktif tiba-tiba “mogok” menulis untuk waktu yang cukup lama. Baiklah, mungkin kata “mogok” terasa sedikit kasar. Kita bisa menggantinya dengan kata “vakum”. Namun, apapun itu, kepergiaannya memunculkan tanda besar dalam benakku.

“Nih lihat, ada gosip panas,” celetuk Riska sambil menyodorkan poselnya kepadaku.

Rupanya Riska menunjukkanku sebuah unggahan foto dari akun Instagram bernama @bacasastrahariini. Foto itu berisi kumpulan cerpen ciptaan TBC. Di bawah unggahan tersebut terdapat caption yang tertulis demikian:

MENGAPA SASTRAWAN “TBC” MENDADAK BERHENTI MENULIS DI MAJALAH “TERANG KEHIDUPAN”?

  1. Sedang kehabisan inspirasi.
  2. Laptop rusak.
  3. Honorarium tidak sesuai harapan.

PUNYA JAWABAN LAIN? SILAKAN TULIS DI KOLOM KOMENTAR.

Aku tidak habis pikir ketika kepergian TBC menjadi sorotan bagi para penggemar sastra. Itu menandakan bahwa TBC telah memiliki ruang bagi dunia sastra di negeri ini. Namun, mengapa ia harus mendadak berhenti menulis cerpen? Apakah ia tidak menyadari bahwa dirinya telah merebut hati para penggemarnya termasuk diriku?

“Kalau kata gue, dia udah diciduk aparat,”

Husss sembarangan kalau ngomong. Memang nulis cerpen melawan hukum?”

“Ah… masak kamu lupa. Kan cerpennya yang terakhir berjudul ‘Hilangnya Demokrasi di Rumah Kami’. Setelah itu, dia tidak pernah nongol lagi di majalah TK.”

Sontak, aku langsung melihat klipingku. Benar, rupanya judul tersebut adalah cerpennya yang terakhir sebelum menghilang sejak sekitar lima bulan yang lalu. Memang, kuakui bahwa narasi dalam cerpen tersebut terkesan agak lugas dan serius dibanding judul-judul yang lain. Singkat cerita, cerpen itu mengisahkan seorang gadis yang mengalami depresi lantaran sang ibu sering mengekang kebebasannya termasuk keputusannya untuk mengambil kuliah seni rupa. Sang ibu, dalam cerpen itu, tampak overprotektif karena menganggap apa yang dipilihnya selalu terbaik untuk anak-anaknya. Singkat cerita, depresi yang dialami gadis tersebut disebabkan kurangnya demokrasi di keluarga tersebut.

Sebetulnya aku berpikir bahwa cerpen tersebut berbicara hanya soal keluarga dan parenting. Namun, setelah mendengar analisis Riska, aku pun sedikit mengiyakan kalau memang kepergian TBC berhubungan dengan cerpen terakhir tersebut. Aku pun teringat bahwa cerpen tersebut dimuat beberapa hari setelah sekelompok mahasiswa berdemonstrasi untuk menyerukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Demonstrasi itu diwarnai kericuhan yang tidak tertahankan. Beberapa dari mereka ditahan dan dimintai keterangan oleh pihak berwajib. Lantas, apakah cerpen tersebut ada kaitannya dengan demontrasi tersebut? Lebih lanjut, apakah benar kalau TBC ditahan aparat untuk mempertanggungjawabkan cerpennya tersebut? Ah… teori konspirasi macam apa ini. Memang, terkadang manusia memiliki kecenderungan untuk memberikan justifikasi terhadap sesuatu yang belum pasti.

***

Tak mau berlarut-larut dalam tanda tanya besar, aku memberanikan diri untuk menanyakan keberadaan TBC melalui e-mail redaksi TK. Memang, mungkin tindakanku ini terasa naif karena tidak menyangkut urusan substantif. Namun sebagai penggemar setianya, aku memberanikan diri untuk meminta keterangan dari tim redaksi. Hingga akhirnya sebuah pesan balasan masuk ke dalam kotak masukku.

Terima kasih atas kepeduliannya atas salah satu penulis andalan kami, TBC. Kami menyadari bahwa anda salah satu dari antara ribuan penggemar tulisan beliau. Namun, untuk saat ini penulis enggan memberikan informasi terkininya kepada masyarakat umum. Penulis hanya membutuhkan doa dan support dari para penggemarnya untuk melewati masa yang tidak mudah ini. Kami berharap anda dapat memahaminya. Sekian dan terimakasih.

Tim Redaksi Majalah “TK”.

Mendapati balasan yang seperti itu, aku pun makin bertanya-tanya. Gundah gulana bergelayut dalam hati, takut kalau-kalau sesuatu yang kurang baik menimpa dirinya. Jujur, cerpennya menghantarkanku pada permenungan di setiap relung-relung jiwa ini. Mungkinkah dia sedang menjalani “tapa brata” selayaknya para resi mandraguna yang menghimpun energi baru setelah mengalami pertempuran panjang? Bedanya, TBC bertempur tidak menggunakan otot dan keris, melainkan imajinasi dan goresan pena.

Baru saja memikirkan nasib TBC, tiba-tiba muncul notifikasi pesan Whatsapp. Tidak seperti biasanya kolom obrolan di grup WA “Alumni SMA St. Filipus 2012” mendadak ramai. Rupanya teman-temanku berbondong-bondong memberikan kabar duka. Kabar duka ini datang dari Yulius yang baru saja kehilangan kakak laki-lakinya untuk selama-lamanya. Lantas, aku mencermati isi pengumuman duka tersebut.

Telah berpulang ke pangkuan Bapa di Surga, kakak dari sahabat kita, Yulius Muliadi (IPS) :

Nama : Thomas Becket Chrismanto

Usia : 32 Tahun

Meninggal : Senin, 29 Februari 2023, pukul 02:11 WIB, di RS Sehat Sentosa – Jambu Alas.

Beliau beberapa bulan ini berjuang melawan penyakit TBC (Tuberculosis). Segala pengobatan telah dilakukan, namun Tuhan berkehendak lain. Walaupun demikian, dia masih cukup aktif dalam berkarya. Salah satunya dengan menjadi kontributor cerpen bagi majalah “Terang Kehidupan”. Untuk informasi misa requiem dan tutup peti, akan diberitahukan menyusul. Selamat Jalan Sang Cerpenis… Requiescat in pace….

Sekian dan Terimakasih

Sontak hatiku kalut seusai membaca pengumuman ini. Memang, belum ada yang memastikan apakah Thomas Becket Chrismanto adalah sosok yang sama dengan “Tukang Bikin Cerita”? Namun, kalau memang benar ia adalah orangnya, rasa-rasanya ini cukup masuk akal bagiku. Ia telah lama menghilang bukan karena “diciduk” seperti yang diujarkan Riska. Selama ini ia bergelut tidak hanya dengan larik-larik kata, melainkan juga dengan TBC yang menggerogotinya. Oh, selamat jalan Thomas Becket Chrismanto yang sudah mengizinkanku untuk berkenalan walau hanya sebatas untaian alkisah belaka. Izinkan kata-katamu abadi di hati para penggemarmu.

Oleh Fr. Gabriel Mario L, OSC

Majalah HIDUP, Edisi No. 02, Tahun Ke-78, Minggu, 14 Januari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini