I’ll Be Home for Christmas

76

HIDUPKATOLIK.COM

Suatu ketika di masa kini.

“SATU, dua, tiga, em……,” Darani berhenti menghitung, spontan menoleh ke Agya yang sibuk dengan telepon genggamnya.

“Kenapa masih empat sih? Tuh, anak masih saja hidup dalam hayalan dan penantian tanpa batas. Lama-lama bisa sinting,” Darani meneruskan omelan.

“Kenapa sih, Dar…? Masalah jumlah kado lagi? Masih empat? Dan ini sudah tahun ke-4 kita melakukan tradisi tukar kado?” akhirnya Agya menyahut.

Darani mengangguk. Kembali mengamati kado-kado tersusun di bawah pohon Natal setinggi jendela apartemen. Kebiasaan tahunan 3 sahabat penghuni apartemen ini  merayakan Natal dengan bertukar kado. Tiap orang menyiapkan satu kado, dan  mereka punya cara tersendiri saling bertukar.

Selalu tersedia 3 kado cantik di antara kerlap-kerlip dekorasi Natal. Namun sejak 3 tahun belakangan, selalu jumlahnya jadi 4. Sudah tahun ke-4 selalu saja berlebih satu. Semula Darani dan Agya masih menganggap wajar. Tetapi memasuki tahun ke-4,  sudah sulit dianggap normal. Harus diluruskan kembali.

***

Lonceng gereja berdentang entah berapa kali. Tak seorang pun bisa menghitung dengan tepat. Selalu saja terlewatkan sebab semua begitu menikmati setiap gemanya.   Darani meletakkan 4 kado ke atas meja. Rowina mengambil satu kado dan perlahan mengembalikan ke bawah pohon.

“Biarkan tetap di tempatnya. Dia akan datang sesuai janji,” suara Rowina  lirih.

Seluruh ruangan hening. Lamanya keheningan berlangsung sama dengan menanti rebusan air daun salam berubah warna kecoklatan.

“Sampai kapan melakukan ini Rowina? Tahun ini akan tertumpuk 4 kado di kamarmu.  Yodha takkan pernah kembali,” Darani mengingatkan.

“Pasti datang! Yodha sudah janji,” tegas Rowina.

“Dia sudah tiada. Jangan hidup dalam fantasi sendiri. Menolak kenyataan dan tenggelam dalam halusinasi,” Agya mencoba menasehati.

“Dia akan datang di hari Natal. Yodha nggak pernah ingkar janji. Dan itu janjinya sebelum berangkat tugas. Dia pasti menepatinya. Percayalah…!” pinta Rowina. Suaranya melemah, lalu terhisak.

“Ayolah berpijak pada kenyataan. Sudah berlalu 4 tahun. Jangan ganggu ketenangan Yodha,” bujuk Darani antara kasihan, juga sedikit kesal. Sebab ini terjadi setiap tahun di tanggal sama dan peristiwa serupa. Ingin sekali dia menghilangkan kebiasaan bertukar kado sejak peristiwa itu, tapi justru kebiasaan bertukar hadiah selalu jadi sebuah sensasi penghujung tahun.

“Kamu membuat semua jadi sulit. Saatnya merelakan Yodha,” tambah Agya.

“Aku percaya keajaiban. Hilang di tengah badai bukan berarti mati.  Masih bisa ditemukan. Aku terus menanti  sesuai janji. Lagipula tak pernah terlihat jasadnya. Dia masih ada! Hanya hilang, tersesat!” tegas Rowina, kali ini sama sekali tanpa isakan.

Rowina selalu semangat menantikan natal tiba. Membayangkan hadiah natal terindah adalah kemunculan Yodha seperti di film-film romantik. Dia siap menyambut dengan kado spesialnya.

***

Suatu ketika di masa itu. 

“Harus banget ya kamu? Enggak bisa digantikan orang lain? Kita kan sedang mempersiapkan pernikahan setelah Natal nanti. Ayolah cari yang bisa gantiinPleaaaaseeeee….!” rengek Rowina sambil terus menggenggam jemari Yodha. Seakan tak ingin berpisah meski sesaat.

“Ini tugas wajib. Harus aku yang berada di sana. Cuma seminggu kok,” bujuk Yodha.

“Janji…?”

“Kamu akan selalu bisa pegang janjiku. I’ll be home for Christmas,” ucap Yodha meyakinkan. Lalu memutar lagu I’ll be home for Christmas versi Michael Buble dari telepon genggamnya. Lalu meraih bahu Rowina, mengajaknya berdansa di bawah  cahaya rembulan. Sayup terdengar gema lonceng gereja.

Suara Michael Buble menghilang dan Yodha memeluk Rowina penuh kasih.

Itulah pelukan terakhir sampai Rowina menerima kabar, calon pengantinnya  itu hilang dalam badai di wilayah Louisiana, Amerika saat bertugas.

***

Kembali ke suatu ketika di masa kini.

 

I’ll be home for Christmas.

You can plan on me.

Please have some snow and mistletoe.

And presents by the tree.

 Sayup terdengar lantunan suara suara seksi Michael Buble masuk dari celah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Tadi malam Rowina tertidur dalam pilu menantikan kekasih. Seturut janji akan kembali untuk merayakan Natal bersama. Bahkan baju yang dikenakan pun masih gaun putih sehabis misa malam natal tadi.

Alunan lagu semakin menggema di seluruh ruangan. Rowina tersentak dari tidur dengan mata sembab. Hingga dinihari berurai air mata, Yodha tak kunjung tiba.

Berjalan kea rah pohon Natal dengan lampu masih berkelap-kelip. Kertas bekas  kado berserakan. Tapi satu kado utuh tak tersentuh. Pemiliknya belum mampir. Rowina membuka pintu balkon, berdiri tegak menatap langit. Mendung membiru bagai hatinya yang tengah tercabik.

Sekonyong-konyong tangannya menjulur ke depan bagai menyambut seseorang ke dalam pelukan, mengajak berdansa. Tubuhnya meliuk perlahan mengikuti gerak  dansa menikmati langkah seturut nada-nada.

“Aku tahu kamu pasti datang menepati janji Yodha. Kamu cuma hilang terbawa Badai.”

“Terima kasih untuk kesetiaanmu menunggu Rowina.”

Keduanya mempererat pelukan seakan tak boleh sedetikpun berlalu.

“Setiap tahun aku menyiapkan hadiah natal untukmu.”

“Aku akan mengambilnya sekarang. Setelah ini kamu tidak perlu menyediakan hadiah natal lagi untukku.”

“Kenapa? Enggak suka barang-barang pemberianku?”

“Bukan! Karena aku sudah memiliki hadiah natal terindah dalam hidupku. Abadi selamanya.”

“Dari siapa dan apa?”

“Dari kamu. Hadiah terindah itu ya kamu..! Abadi, tak tergantikan.”

Rowina tercekat! Serentak seluruh tubuhnya gemetar.

“Kenapa tubuhmu bergetar?”

“Aku takut kehilangan kamu!”

“Tidak akan. Aku selalu ada. Bahkan sekarang  bisa menjagamu tanpa batas ruang dan waktu. Janji ya, jangan siapkan kado Natal lagi untukku. Kamu hadiah terindah seumur hidupku. Sekarang izinkan aku pergi!”

“Kamu tidak akan ke mana-mana  Yo.. tinggallah di sini. Menyanyi bersamaku seperti yang sudah-sudah. Tapi kali ini bukan I’ll be home for Christmas karena kamu sudah di sini.”

Rowina perlahan melantunkan potongan lagu I’m dreaming of a white Christmas,  just like the ones I used to know….

Rowina terus bersenandung sambil berpelukan erat. Perlahan Yodha mundur, hingga akhirnya tak lagi  berpelukan. Tinggal  jemari saling menggenggam. Air mata Rowina runtuh  tak terbendung. Yodha datang di hari Natal menepati janji setelah 4 tahun penantian dalam keyakinan utuh. Ya, dia datang sekaligus berpamitan menuju keabadian.

Semua begitu nyata, bahkan aroma sedap tubuhnya masih tertinggal. Antara menerima kelegaan dalam kenyataan bumi yang dipijak, berbaur rasa ingin terus bersama, Rowina tergugu.

Sekarang pandangannya menjadi lebih jelas, kaki makin kokoh berdiri, tangan terangkat dalam bentuk lambaian penuh cinta menghantar sang kekasih ke peristirahatan abadi.

“Sekarang aku yakin kamu sudah pergi. Tak perlu melihat jasadmu yang barangkali penuh luka derita terhempas badai. Tanpa meratapi parasmu yang bisa jadi bersimbah darah dengan ekspresi menahan luka perih. Aku mengantarmu kembali dalam sebuah keindahan diiringi lagu sarat harapan. Terima kasih sudah menepati janji Yodha.”

Tanpa sadar Rowina terus melambaikan tangan seolah melihat tubuh Yodha saat itu terangkat menembus langit setelah janjinya tergenapi.

***

Bumi diguyur gerimis. Rowina menapaki lorong-lorong apartemen. Berjalan menembus keheningan jalan raya. Berpapasan dengan Perempuan renta melangkah terseok. Rowina menyerahkan tas besar yang sedari tadi dijinjing kepada perempuan renta  sambil berucap: “Selamat hari natal bu!”

Lalu berjalan cepat tanpa menoleh. Sungguh merelakan 4 kado Natal yang setiap tahun dipersiapkan sambil menunggu kekasih yang dinyatakan hilang dalam badai. Dia telah kembali semalam, menepati janji, jadi  tak perlu ada penantian lagi.

***

Terdengar keriuhan di rumah sempit bahkan tak layak huni.

“Akhirnya aku punya kemeja putih buat Natal.”

“Semur hidup baru sekarang dapat kado Natal. Bagus sekali dompetnya, buat menyimpan gaji pertamaku bulan depan.”

“Wah… aku enggak bakal telat lagi karena sekarang punya jam.”

“Terima kasih Ibuuuu,” seru ketiga anaknya serentak.

Perempuan renta menatap haru wajah bahagia ketiga anaknya. Akhirnya bisa punya hadiah Natal  pertama kalinya dalam sejarah kemiskinannya. Perlahan dipeluknya selendang rajutan. Menatap tulisan kecil di kartu putih: “Semoga Natal kali ini menjadi akhir penantianku. Selendang ini kurajut khusus agar kesetiaan ini pun selalu terajut.”

Perempuan renta meneteskan air mata.

***

Rowina menghirup udara segar dalam kelegaan paripurna.

 

Oleh Ita Sembiring

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini