75 Tahun Keuskupan Bogor Melintasi Masa, Dari Mgr. Geise hingga Mgr. Paskalis

554
Katedral Bogor tempo 'doeloe'

HIDUPKATOLIK.COM – SEJARAH Keuskupan Bogor tidak terlepas dari para gembala yang memimpin dan mewarnai setiap masanya. Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya, dan para uskup itulah yang dipilih oleh Allah untuk menjadi gembala pada masanya masing-masing.

Lahirnya Keuskupan Bogor tidak bisa dilepaskan dari peran Monsinyur Geise sebagai uskup pertama. Monsinyur Geise, dijuluki Juragan Niti Ganda merupakan sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat Suku Badui di Tatar Sunda bagi para pendatang. Monsinyur Paternus Nicholas Joannes Cornelius Geise, OFM –disapa Mgr. Geise — merupakan salah satu orang yang mendapat gelar kehormatan tersebut. Seorang imam yang berkebangsaan Belanda ini pernah menetap di wilayah Badui, Cipeuren, Banten.

Mgr. PNJC Geise OFM, Uskup Bogor yang pertama (Dok BMV)

Mgr. Geise memiliki rajutan tali pergaulan yang baik, bahkan akrab sehingga masyarakat Suku Badui memberikan dia gelar kehormatan. Ternyata gelar kehormatan yang didapatkan itu juga diadaptasi menjadi nama pribadi, sebagai tanda menyatu dengan masyarakat Sunda setempat yaitu Niti Ganda.

Congregatio de Propaganda Fide pada 9 September 1948 menetapkan Prefektur Apostolik Sukabumi yang sejak 1941 bersifat sementara meliputi stasi-stasi tetap yaitu Serang, Rangkasbitung, Sukabumi, Sindanglaya, Cianjur, dan Sukanegara menjadi prefektur yang tetap. Pada November 1957 Bogor dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan digabungkan dengan Prefektur Apostolik Sukabumi yang meliputi dua keresidenan yaitu Bogor dan Banten. Geise yang kala itu masih jauh dari panggilan seorang uskup diamanatkan untuk menjadi administrator apostolik dua karesidenan tersebut yang diangkat pada 17 Desember 1948.

Ketika pembentukan Hierarki Gereja di Indonesia pada 3 Januari 1961 disahkan melalui Dekrit Quod Christus Adorandus pada masa Paus Yohanes XXIII, Prefektur Apostolik Sukabumi ditingkatkan statusnya menjadi keuskupan dengan nama Keuskupan Bogor. Geise yang selama ini memimpin Prefektur Apostolik Sukabumi menjadi administrator apostolik diangkat menjadi Uskup Keuskupan Bogor yang pertama.

Pastor Geise ditahbiskan menjadi Uskup Bogor pada 6 Januari 1962 oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr Adrianus Djajasepoetra dengan ko-konsekrator Uskup Bandung, Mgr. Pierre Marin Arntz, OSC dan Uskup Denpasar, Mgr. Paul Sani Kleden, SVD.

Di samping sebagai Uskup Bogor yang pertama, Mgr. Geise dapat dikatakan sebagai perintis Gereja Keuskupan Bogor setelah Pastor M.Y.D. Claessens. Saat ditahbiskan sebagai uskup, ia mengambil semboyan In Occursum Domini yang artinya menyongsong kedatangan Tuhan.

Uskup Geise adalah tokoh Gereja Katolik yang mempunyai reputasi baik dalam skala nasional maupun internasional. Ia dikenal sebagai seorang Islamolog dan pernah bekerja sebagai konsultan pada sekretariat bagi umat yang bukan Kristen di Roma sekaligus menjadi penasihat ahli Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) yang dalam perjalanannya bertransformasi menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Mencerdaskan Bangsa Indonesia

Pada 17 Januari 1955, bersama Uskup Bandung Mgr. Arntz, Mgr. Geise mendirikan akademi perniagaan yang merupakan cikal bakal dari Universitas Katolik (Unika) Parahyangan. Kala itu ia menjadi rektor pertama (1962-1965).

Konsili Vatikan II yang terkenal mengubah tatanan hidup menggereja juga diikuti oleh Uskup Geise. Ia adalah seorang peserta Konsili Vatikan II di Roma pada 1962-1965.

Karya pendidikan Mgr. Geise tidak berhenti di Unika Parahyangan, ia juga memikirkan masa depan masyarakat dan para imam di Keuskupan Bogor. Oleh karena itu, ia menggagas dan mendirikan Seminari Tinggi St. Petrus dan Paulus Keuskupan Bogor di Bandung serta beberapa sekolah Katolik di Bogor. Salah satunya, Yayasan Mardi Yuana, yang kemudian berkembang menjadi lebih dari 50 unit persekolahan.

Tindakan Uskup Geise adalah salah satu bukti nyata dari kepeduliannya untuk membantu mencerdaskan bangsa Indonesia. Tingkat perekonomian yang berbeda-beda membuat hatinya tersentuh untuk membantu anak-anak yang tidak mampu.

Oleh karena itu, ia mendirikan Panti Asuhan Santo Yusup Sindanglaya pada 1947. Kemudian mendirikan Yayasan Yatna Yuana yang turut merintis berdirinya Sekolah Perawat Kesehatan yang kini menjadi Akademi Keperawatan di Lebak Rangkasbitung. Selain Mardi Yuana. Ia juga mendirikan Sekolah Menengah Teknologi Grafika pada 1969 yang kini menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Grafika di Jalan Siliwangi Bogor.

Sebagai seorang pendidik pandangan dan kegiatan yang dilakukan oleh Mgr Geise selalu mengacu pada pandangan Injil yaitu untuk selalu melayani dan bukan dilayani. Hal ini dialami oleh para calon imam Seminari Tinggi St. Petrus dan Paulus Keuskupan Bogor di Bandung. Walaupun ia menjabat sebagai rektor, namun dalam kehidupan sehari-harinya ia bagaikan seorang bapak yang senantiasa memperhatikan keadaan para seminarisnya.

Mulai Terorganisir

Surat penetapan Paus di Roma pada 1 Maret 1975, SC de Propaganda Fide Prot. Num. 1092/75, Bulla pengangkatan Verba Nobiscum Sedule. Pada 8 Mei 1975 Pastor Ignatius Harsono ditahbiskan menjadi Uskup Bogor di Katedral Bogor menggantikan Mgr. Geise. Penahbisan dilakukan oleh Uskup Agung Semarang saat itu, Kardinal Justinus Darmojuwono dengan konselebran Pro-Nunsius untuk Indonesia Mgr. Vincenzo Maria Farano, Uskup Agung Jakarta, Mgr Leo Soekoto, SJ, Mgr. Geise, dan Mgr. Arntz.

Mgr. Ignatius Harsono, Uskup Bogor yang kedua (Dok BMV)

Motto. Mgr. Harsono adalah Omnes In Unitatem yang artinya semua menuju kepada kesatuan. Telah banyak karya yang dilakukannya. Ia  menggembalakan umat, para imam dan dewan paroki makin terorganisasi dengan baik. Tiap tahun digelar pertemuan rutin sekitar 7 kali antara uskup dengan imamnya. Beberapa awam juga diundang untuk mendengarkan saran atau masukannya bagi Keuskupan. Imam diosesan Keuskupan Bogor juga melaksanakan pertemuan rutin dua bulanan.

Meletakan Dasar

Sempat mengalami kekosongan selama satu tahun dan dipimpin oleh Mgr. Leo Seokoto yang mejabat sebagai Uskup Agung Jakarta pada sekitar 1993-1994 tongkat penggembalaan Keuskupan Bogor dilanjutkan oleh Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM.

Masa kepemimpinan Mgr. Angkur adalah momen krusial dalam hidup beriman dan pengelolaan manajemen di Keuskupan Bogor. Pasalnya beberapa momen penting yang menjadi dasar Keuskupan Bogor hari ini terjadi pada masa ini.

Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM, Uskup Bogor yang ketiga (Dok BMV)

Umat Katolik dan masyarakat Kota Bogor juga meningkat dengan drastis selama Hal ini terjadi karena beberapa factor. Adanya arus urbanisasi yang cukup tinggi, perumahan-perumahan baru di Bogor kala itu juga dibangun besar-besaran sehingga banyak warga Jakarta pindah ke Bogor sebagai kota satelit penyangga Ibu Kota Negara.

Keuskupan Bogor mulai menatap masa depan saat Mgr. Angkur memasuki sewindu kepemimpinannya. Pada 21-25 Oktober 2002 bertempat di Hotel Setia Pacet, ia menggelar Sinode pertama yang diikuti oleh perwakilan seluruh umat di Keuskupan Bogor. Sinode ini berbuah manis menghasilkan visi dan misi Keuskupan yang kemudian menunjukan arah penggembalaan dan hidup menggereja yang lebih jelas.

Adapun visi yang dihasilkan, “Keuskupan Bogor menjadi communio dari aneka komunitas basis yang mendalam, solider dan dialogal, memasyarakat dan misioner”. Serta misi, “Keuskupan Bogor menghadirkan kerajaan Allah, dengan mengabdikan diri secara aktif dalam meningkatkan keimanan dan martabat manusia melalui pemberdayaan semua potensi”.

Seruan Jalan Bersama

Pelayanan Uskup Paskalis Bruno Syukur, OFM dimulai secara resmi dengan tahbisan sebagai Uskup Bogor pada 22 Februari 2014 di Sentul International Convention Center (SICC) yang menampung sekitar 11.000 orang. Bertindak sebagai penahbis utama adalah Mgr. Angkur dengan ko-konsekrator Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo dan Uskup Ruteng saat itu, Mgr. Hubertus Leteng.

Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno, OFM (kiri) berjalan bersama Uskup Emerita Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM.

Mgr. Paskali memilih motonya Magnificat anima mea dominum yang berarti “Jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk. 1:46). Ini merupakan awalan dari Kidung Maria (Magnificat), sebagai refleksi perjalanan hidup menggerejanya dan penghormatan terhadap Bunda Maria.

The Smiling Bishop adalah satu dari banyak julukan Mgr. Paskalis. Hal ini bukan tanpa alas an. Pastoral ramah tamah yang sering dibicarakannya benar-benar terwujud dalam perkataan, tindakan, dan gestur kesehariannya. Uskup yang dicintai umatnya ini memiliki senyuman khas.

Aloisius Johnsis (Kontributor, Bogor)

Majalah HIDUP, Edisi No. 01, Tahun Ke-78, Minggu, 7 Januari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini