Pastor Bernard Lie: Merindu Akan Mentawai

216
Pastor Bernard Lie memberkati anak-anak Mentawai. (Foto: Dokpri)

HIDUPKATOLIK.COM – SESAAT setelah kami tiba di sebuah bungalow di pinggiran Pantai Manjuto, Pastor Bernard Lie (65 tahun) menselonjorkan kedua kakinya. Ia duduk agak bersandar ke sebuah tiang. Bola matanya memandang lautan biru tak bertepi Selat Mentawai yang memisahkan daratan Pulau Sumatera dengan Kepulauan Mentawai.

Siang itu, Sabtu (11/11/2023), Pastor Bernard mengajak HIDUP ke pantai eksotis di Sumatera Barat itu. Sekitar satu jam perjalanan dengan mobil melewati Teluk Bayur dari Kota Padang. “Saya selalu rindu ke Mentawai. Kalau dijumlahkan, ada sekitar dua puluh tahun, saya menghabiskan masa pastoral saya dari 35 tahun saya menjadi imam, plus masa diakonat,” ujar diosesan kelahiran Sungai Panah, Kerinci, 26 Juli 1958 ini. Saat ini ia bertugas sebagai Pastor Kepala Paroki Santa Maria Bunda Yesus, Tirtonadi, Keuskupan Padang, untuk perutusan kedua kalinya ke paroki tanpa gereja ini.

“Saya menjalani masa diakonat tahun 1986 di Paroki Maria Auxilium Christianorum, Sikabaluan. Di situlah saya mengenal pertama kali kehidupan umat Mentawai secara lebih mendalam. Sati itu saya masih muda. Penuh semangat. Dalam enam bulan saya belajar bahasa Sikabaluan. Saya sudah berani berkhotbah dalam bahasa Sikabaluan,” tuturnnya. Dengan kosa kata dan tata bahasa yang masih terbatas, ia mengaku mampu menyampaikan pesan Injil kepada umat yang kebanyakan masih meramu saat itu.

Pastor Bernard Lie (kanan) dalam sebuah turne ke stasi di pedalaman Mentawai. (Foto: Dokpri)

Ditahbiskan oleh Uskup Padang saat itu, Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap pada tahun 1988, Pastor Bernard ditempatkan di Kepulauan Mentawai. Tepatnya di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga, Muara Siberut tahun 1988-1992. Empat tahun berikutnya, ia diutus ke Paroki Tirtonadi (1992-1993). Sekembali dari Tahun Sabatikal di Filipina (1994), ia ditempatkan di Paroki Santa Maria Asumpta, Sikakap (1995 -2001). Dari Sikakap, ia ditarik ke Padang, di Paroki Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, Katedral (2001 – 2005), Paroki Santo Fransiskus Xaverius Dumai dan Santo Petrus-Paulus Bagan Siapiapi (2005 – 2009). Dari Dumai, ia ‘dipulangkan’ lagi ke Mentawai tahun 2009 hingga 2018 di Paroki Tuapeijat. Paroki ini merupakan paroki yang dia rintis dari awal (berdiri tahun 2015).

“Selama di Mentawai, satu hal yang saya selalu usahakan adalah mempelajari bahasa lokal secepat mungkin. Di Mentawai terdapat bahasa lokal yang berbeda-beda walau ada kemiripan. Bahasa yang umum itu Bahasa Sikakap, Simalegi, dan Simatalu,” ujarnya sembari menyeruput minuman ringan yang sudah diantar pelayan bungalow.

“Kalau kita bisa berkomunikasi dengan bahasa lokal, kita akan mereka anggap sebagai saraina (satu ibu, saudara kandung). Jika sudah begitu, sudah enak. Mereka akan sajikan kita makanan buah lokal seperti durian kalau kita datang ke stasi-stasi. Saat pulang dikasih oleh-oleh hasil tanaman mereka,” sambung pria pencinta tanaman ini.

Kepulauan Mentawai mempunyai empat pulau besar, yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utra, Pagai Selatan, dan pulau-pulau kecil lainnya. Kepulauan ini terletak di sisi barat Provinsi Sumatera Barat. Tahun 1999, Kepulauan Mentawai menjadi satu kabupaten, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Misi Protestan hadir lebih awal (1800-an) sedangkan misi Katolik datang pada tahun 1900an. Adalah para Misionaris Serikat Xaverian (SX) dari Italia yang menginjakkan dan menyebarkan kekatolikan di kawasan ini. Paroki-paroki didirikan para Xaverian. Namun, belakangan tarekat lain sudah hadir di Mentawai. Paroki Sioban dan Tuapeijat dilayani Ordo Kamelit, Paroki Sikakap, Sikabaluan, Bataet digembalakan imam diosesan Padang, Muara Siberut oleh Xaverian.

“Saya sungguh belajar dari para misionaris Xaverian. Di antaranya Pastor Josep Bagnara, SX dan Pastor Danielle Cambielli, SX serta banyak pastor Xaverian lain yang saya jumpai dan berkomunitas bersama mereka di paroki lain di Keuskupan Padang. Mereka sungguh mendalami kehidupan penduduk Mentawai padahal mereka datang dari negara maju di Eropa. Mereka meninggalkan segala-galanya. Mereka meletakkan fondasi pastoral di Mentawai,” ujar Pastor Bernard dengan intonasi yang kuat.

Dengan mempelajari dan mengalami bagaimana para Xaverian menjalankan misi pewartaan, Pastor Bernard mencoba menerapkan ‘strategi’ itu ketika merintis pendirian Paroki Tuapeijat. Tidak mudah. Misi zending Protestan sudah lebih dahulu masuk. Berbeda dengan misi Katolik, misi Protestan berusaha ‘menyingkirkan’ budaya lokal dan mengganti dengan ‘budaya baru’. Tradisi lokal dilarang. Sebaliknya, misi Katolik mengembangkan inkulturasi. Protestan masuk dari Selatan, Katolik datang dari Utara. “Tidak gampang bagi saya waktu itu karena orang Katolik merasa takut menghidupi dan mengembangkan budaya sendiri. Mereka malah lebih condong menggunakan bahasa Minang daripada bahasa sendiri,” tuturnya seraya membetulkan duduknya.

Menurut Pastor Bernard, orang Katolik Mentawai merasa diasingkan karena berusaha mempertahankan dan mengembangkan budaya setempat, termasuk dalam bidang liturgi. Walapun belum sempurna, lagu-lagu dalam nuansa Mentawai mulai masuk dalam perayaan-perayaan hingga sekarang ini. Lokakarya musik Gerejani pernah dilakukan oleh tim dari Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta.

Pendekatan yang dilakukan misionaris Xaverian, menurut Pastor Bernard, ia ‘amati-tiru-modifikasi’. “Xaverian meletakkan dasar iman yang kuat dalam budaya setempat. Misalnya, sebelum Misa di stasi-stasi, selalu diawali dengan katekese dalam bentuk dan cara yang sederhana. Itu saya lakukan. Sekali lagi, ketika kita bisa berkomunikasi dalam bahasa setempat, umat akan sangat menghargai dan terbuka kepada kehadiran kita,” tutur pria yang berasal dari keluarga penganut agama Buddha ini. Ia mempermandikan ibu dan ayahnya di kemudian hari.

Proses masuk dan menerima kehidupan dan budaya lokal itu, bagi Pastor Bernard, harus dilakukan secara total. “Kita harus bisa menerima mereka apa adanya, termasuk makan makanan yang mereka makan seperti batra (urat sagu) dan toet (ulat kayu). Dua jenis makanan ini saya memang tak bisa tapi makanan lain, saya bisa,” akunya.

Ada banyak pengalaman ‘mengesankan’ bagi Pastor Bernard selama berstoral di Mentawai. Suatu saat, ia harus tidur di kandang babi dan ayam karena keadaan umat yang amat sederhana. “Rumah di sana kan dari kayu, semcam rumah panggung. Dalam satu bangunan, paling bawah ada tempat untuk babi dan ayam. Ya, kami tidurlah bersama dengan ternak mereka itu. Hanya terpisah oleh sedikit papan,” ujarnya terkekeh.

Di usianya yang sudah berkepala enam, kesehatan Pastor Bernard memang mulai terganggu. Kendati demikian, ia enggak akan menolak seandainya Uskup Padang menugaskannya lagi ke salah satu paroki di Mentawai. Ia mengaku, tetap ingin mendorong kaum muda Mentawai mencintai dan menghidupi kekayaan budayanya sendiri. “Mereka sepertinya malu dengan budayanya sendiri. Saya melihat dan merasakan itu,” ujarnya.

Prihatin dengan situasi ini, ketika mendirikan Paroki Tuapeijat, Pastor Bernard mulai menggalakkan orang muda pada budaya lokal. Mulai dari soal bahasa hingga pakaian tradisional. “Kami pernah menyelenggarakan semacam festival budaya Mentawai di kalangan anak-anak dan orang muda agar mereka mencintai budaya sendiri. Jangan malah meninggalkannya. Ini berbanding terbalik dengan Protestan. Ini memang ada semacam ketegangan. Tapi Katolik terus berupaya agar orang Mentawai tak tercerabut dari budayanya sendiri. Bahkan, budaya Mentawai harus terus diperkuat dan ditumbuhkan di sekolah-sekolah yang dikelola lembaga pendidikan Katolik dan pemerintah setempat,” paparnya.

Menurut Pastor Bernard, keterlibatan para awam Katolik di Pemkab Kepulauan Mentawai turut berperan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam bidang kebudayaan, kesenian dan pendidikan. Pernah ada bupati dari kalangan Katolik.

Pastor Bernard Lie (tengah merangkul anak) berfoto bersama anak-anak dan OMK Mentawai. (Foto: Dokpri)

Sembari memperbaiki lagi posisi ‘tidurannya’, Pastor Bernard beringsut sedikit ke pinggir bungalow. Ia menatap jauh ke laut lepas ditingkahi hembusan angin laut. Dengan lembut, ia berujar, “Perlu terus mengubah mentalitas orang-orang Mentawai. Mereka harus kerja keras, percaya diri dengan budayanya sendiri, menghidupinya. Jangan malu dengan budaya sendiri,” ucap mantan Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskuan Padang ini.

Ia berharap, bentuk-bentuk konkret pemberdayaan orang Mentawai seperti mendirikan sanggar atau pusat kebudayaan Mentawai dapat diwujudkan. “Kekayaan budaya Mentawai harus dipertahankan dan dihidupkan. Tariannya, musiknya, lagunya, busananya, dan lain-lain, terus dicintai. Misi Gereja hadir di situ,” imbuhnya sembari mengajak HIDUP menikmati hidangan khas Minang di pinggiran Pantai Manjuto di terik mentari siang itu.

Hasiholan Siagian dari Tirtonadi, Padang, Sumatera Barat

Majalah HIDUP, Edisi No. 48, Tahun Ke-77, Minggu, 26 November 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini