Introspeksi dan Transformasi WKRI Menuju 2045+

126
Pimpinan WKRI periode 2023-2028: Elly Kusumawati Handoko (tengah) Lusia Willar (kanan), Kho Whie Hong (kiri) berfoto bersama seusai pelantikan tahun 2023. (Dok. Humas WKRI)

HIDUPKATOLIK.COM – MOMENTUM Kongres Wanita Katolik RI pada tanggal 27-29 Oktober di Jakarta tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu batu lompatan. Ada sejumlah argumentasi yang dapat disampaikan. Salah satu di antaranya adalah momen Kongres berkelindan dengan peringatan satu abad ormas Katolik tertua di Tanah Air ini dengan anggota lebih dari 90 ribuan orang.

Maka, selain mengevaluasi perjalan lima tahun terakhir, menyampaikan laporan kinerja kepengurusan, dan memilih pemimpin baru (presidium) dan lain-lain, momen ini merupakan kesempatan emas bagi seluruh anggota untuk melakukan introspeksi diri. Beberapa pertanyaan sederhana yang perlu dijawab, sudah sejauh manakah visi dan misi organisasi ini terwujud setelah satu abad hampir berlalu? Apakah ikhtiar luhur Maria Soelastri dkk., dan para penerusnya telah mencapai sasaran atau belum atau bahkan tidak sama sekali? Apa saja tantangan terkini dan ke depan, serta bagaimana strategi besar menghadapinya?

Dari kiri ke kanan: Ketua Presidium KWI Mgr Ignatius Suharyo, Ketua Presidium WKRI Justina Rustiawati, Presiden Joko Widodo, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada pembukaan Kongress XX WKRI di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat tahun 2018. [HIDUP/ Felicia Permata Hanggu]
Sejak beberapa tahun terakhir ini, isu bonus demografi telah menjadi perbincangan yang sangat luas. Bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncak pada saat Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Dalam konteks ini, bagaimana Wanita Katolik RI ikut berkemas diri, terutama, bagaimana mempersiapkan atau memberdayakan kaum perempuan dalam segala bidang kehidupan, termasuk di dalamnya pencegahan KDRT?

Tentu saja, jika diurutkan dalam sebuah ‘litani’, Wanita Katolik RI telah menggoreskan tinta-tinta emasnya dalam lembaran-lembaran perjalanannya.  Terutama, bagaimana memperjuangkan kesetaraan atau keseimbangan gender? Bagaimana pencapaian pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki? Bagaimana mengatasi problem kesehatan kaum perempuan dan anak-anak (stunting), tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Konon, kaum perempuan menjadi sasaran empuk tindak kejahatan kemanusiaan ini.

Wanita Katolik RI adalah satu ormas Katolik yang memiliki kaki sampai ke tingkat basis. Tak ada ormas lain semassif ini. Diseminasi ide atau gagasan dengan ‘mudah’ dapat dilakukan karena memiliki struktur organiasi yang mumpuni hingga ke akar rumput.

Memang menjadi catatan khusus bila satu organiasi semakin besar dengan jumlah anggota yang luas, jalannya tidak selincah organiasi lain yang anggota/ranting/cabang tidak begitu banyak dan besar. Apalagi bila sarat dengan birokrasi yang rumit, kurang transparan dan akuntebel, kaku, legalistik, sentralistik, berlelit-belit, berpatron paternalistic, dan lain-lain.

Kongres ini tak pelak lagi menjadi momen emas untuk melakukan transformasi secara signifikan. Mendorong tampilnya para perempuan muda berpotensi di setiap ranting, cabang, DPD dan Pusat adalah suatu keniscayaan untuk menghadapi perkembangan dan perubahan era iptek digital yang tengah merangsek ke semua lini kehidupan.

Pemberdayaan kaum perempuan tak cukup lagi dibicarakan di forum seminar atau diskusi di ruang kaca. Pemberdayaan perlu diwujudkan di tengah masyarakat dengan segala tantangan yang menyertainya. Katolik RI tidak bisa bekerja dan berjalan sendiri-sendiri. Perlu bergandengan tangan. Berjejaring, bersinergi, dan berkolaborasi dengan semua pihak terkait adalah keniscayaan. Khalayak menunggu, bagaimana Wanita Katolik RI untuk melakukan lompatan transformasi?

Majalah HIDUP, Edisi No. 45, Tahun Ke-77, Minggu, 5 November 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini