HIDUPKATOLIK.COM – Gereja Indonesia perlu memiliki kekhasan yang terungkap dalam sejumlah literasi sejarah. Romo Banar adalah satu dari sekian penulis sejarah Gereja Indonesia yang menggelutinya.
SPESIALISASI doktornya misiologi dari Fakultas Misiologi Universitas Gregoriana, Roma, Italia, dan bukan sejarah Gereja. Tetapi karena cakupan disertasinya beragam, spesialisasinya bersinggungan dengan sejarah Gereja. Dengan studi kasus Keuskupan Agung Semarang (KAS), periode 1940-1981, disertasi Romo Banar – sapaannya — ikut menyumbang penulisan sejarah gereja lokal, khususnya 60 tahun pendirian Hierarki Episkopal Gereja di Indonesia.
“Kebetulan disertasi saya terkait dengan masalah kemandirian hierarki Gereja. Periode Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, saya anggap komplet,” kata dosen misiologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta itu.
Penilaian itu terlihat dari ketekunan, passion dan ketelitiannya mendalami persoalan dan arsip yang terkait KAS, khususnya masa episkopat Mgr. Soegijapranata sebagai uskup pribumi pertama. Studi dan penelitiannya terkait dengan disertasi The Local Church in the Light of Magisterial Teaching on Mission. A Case in point: the Archdicese of Semarang (1940-1981), untuk meraih gelar Doktor di Universitas Gregoriana tahun 2001.
Referensi Sejarah
Kekaguman Romo Banar pada Mgr. Soegijapranata mendorongnya melakukan transliterasi catatan harian Monsinyur tanggal 13 Februari 1947-17 Agustus 1949. Diawali membaca dengan mengeja, mengonstruksi huruf-hurufnya, lantas menerjemahkannya. Coretan tangan Monsinyur di atas kertas tipis dan kadang bolak-balik membuat hasilnya sulit terbaca. Romo Banar mengetik ulang, menerjemahkan, membuat catatan kaki karena ada istilah-istilah bahasa Latin, Belanda, singkatan dan berbagai peristiwa yang butuh referensi. “Saya mengakrabi catatan harian itu selama lima tahun,” ujarnya.
Berkaitan persinggungan misiologi dan sejarah Gereja, menurut Romo Banar, menyangkut ruang lingkup. Cakupan sejarah Gereja seumur Gereja dengan tema yang beragam, mulai dari Gereja perdana, Gereja abad pertengahan dan seterusnya. Misiologi sebagian di antaranya, tetapi di Universitas Gregoriana sebagai fakultas tersendiri yang menunjukkan arti penting studi misiologi. Dulu Kardinal Yustinus Darmoyuwana juga ambil misiologi, dan beberapa orang lagi sesudah Romo Banar di Universitas Urbaniana.
Romo Banar setuju pendapat Aloysius Sartono Kartodirjo tentang Metode Historiografi bahwa, sejarah bukanlah kronologi peristiwa apalagi dipersempit pada paham sejarah kekuasaan, tetapi penyajian kisah masa lalu yang menginspirasi masa kini dan masa depan dengan pendekatan ilmu sosial. Tidak mudah memang, apalagi di zaman pendudukan Jepang karena faktor minimnya sumber dan narasumber yang sudah tua atau sudah meninggal.
“Yang masih sedikit sejarah gereja lokal,” tegas Romo Banar. Mengapa? Tidak mudah menulis sejarah lokal dengan sumber primer yang beragam. Untuk abad XX saja, ada sumber zaman Belanda, Jepang atau era kemerdekaan. Untung tentang Sejarah Gereja Indonesia sudah ditulis secara sistematis oleh Mgr. Martin Muskens dengan sumber arsip di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Tetapi sampai sekarang belum banyak dilakukan pengembangan.
Pastor Rudolphus Kurris, SJ misalnya, menulis beberapa buku sejarah Gereja lokal KAJ dengan sumber-sumber bahasa Belanda, Pastor Adolf Heuken, SJ, sejarah Gereja lokal secara lebih lengkap. Pastor Floribertus Hasto Rosariyanto, SJ (editor), mengumpulkan tulisan para uskup yang berisi sejarah lokal keuskupan masing-masing. Pastor A. Edy Kristiyanto, OFM mengeditori bunga rampai dalam rangka 50 Tahun Hierarki Gereja Indonesia. Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi menulis tentang Gereja Katolik Indonesia masa pendudukan Jepang, era yang menurut Romo Banar belum banyak ditulis sejarawan Gereja kecuali pemenjaraan dan penyiksaan para misionaris Belanda. Beberapa sejarawan nonrohaniwan juga menulis sejarah Gereja lokal, di antaranya Anhar Gonggong tentang periode Mgr. Soegijapranata dan Karel Steenbrink. Buku-buku itu merupakan sumbangan dan bahan bagi penulisan sejarah Gereja lokal. Romo Banar mengakui, beberapa wilayah sudah melakukan. Misalnya di Maluku oleh Pastor Cornelis Johannes Böhm, MSC, di Manado Pastor Albertus Sudjoko, MSC.
Dinamika Tersendiri
Hierarki Episkopal Gereja Katolik Indonesia yang genap berusia 60 tahun, 3 Januari 2021, memiliki dinamika. Terlihat dari pemekaran Provinsi Gerejani, berdirinya bermacam-macam lembaga, maraknya kegiatan kehidupan rohani dan perhatian pada kelompok miskin dan terpinggirkan, termasuk kecerdasan dalam menyikapi tantangan dan keluar dari kesulitan.
Buku Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, terbit tahun 2005 hasil disertasi dalam bahasa Belanda, Romo Huub JWM Boelaars, OFM Cap yang diterjemahkan Romo R. Harawiryana, SJ salah satu buku referensi tentang proses kemandirian Gereja Indonesia. Romo Banar yang ikut serta memeriksa draf awal terjemahan sekaligus memberikan penilaian, menulis Indonesianisasi menampilkan Revolusi Kopernikan Gereja Katolik Indonesia, dari Gereja yang dibangun para misionaris diganti dengan menampilkan realitas yang dibangun dari basis jemaat lokal Indonesia. Ketika dikonfirmasi dalam usia 60 tahun Hierarki Episkopal Gereja Katolik Indonesia, ia menambahkan, Romo Boelaars telah membalikkan cara pandang memahami dinamika Gereja lokal.
Gereja Indonesia adalah “kawanan kecil” di tengah masyarakat yang bhinneka, berbeda dengan negara-negara di Amerika Latin yang muncul dengan teologi pembebasan. Kata Romo Banar, “Kami pernah menggerakkan pendulum teologi sosial menjadi teologi rekonsiliasi sosial.” Pertimbangannya, ideologi bergeser ke demokratisasi. Konflik dan kekerasan mengemuka. Maka Gereja yang memiliki Sakramen Rekonsiliasi, perlu menghadirkan kekhasan itu. Rekonsiliasi optimal seratus persen manusiawi bersama komunitas lintas iman, sekaligus masuk ke wilayah spiritual.
Ajaran Sosial Gereja, menurut Romo Banar, diwujudkan dalam Gerakan Pancasila dengan berbagai kelompok. Pembaruan Konsili Vatikan II dan partisipasi awam menjadi gerak yang merata. Sejumlah anggota ordo dan kongregasi dari Indonesia menjadi misionaris di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. “Tetapi sayang kurang ‘disharingkan’ ke orang muda yang niscaya menggerakkan inspirasi mereka”, tambahnya. Semua perlu disyukuri.
Dalam menatap masa depan Gereja Indonesia, kata romo yang menghayati tugas pelayanannya sebagai kesetiaan kreatif (creative fidelity), itu tetap dalam bingkai awam ikut menguduskan dunia dan kehadiran anggota yang berbakti bagi sesama. Bermula dalam keluarga, rumah tangga menurut istilah Mgr. Soegijapranata menjadi “gedung kebudayaan nasional”, atau istilah sekarang “rumah budaya”. Dan, ketika teknologi mengajarkan bahasa dan cara pikir baru, anak telah memiliki sesuatu dari keluarga.
St. Sularto
Romo Gregorius Budi Subanar, SJ
Lahir : Yogyakarta, 2 Maret 1963
Pendidikan
- Bergabung dalam Serikat Yesus 1982
- Tahbisan Imam tahun 1994
- Magister di Universitas Pontifica Gregoriana, Roma, Italia, bidang Misiologi tahun1996
- Doktor di Universitas Pontifica Gregoriana, Roma, Italia, tahun 2002.
Pekerjaan
- Staf Pengajar Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2001- sekarang
- Staf Pengajar Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2001- sekarang
Karya
- The Local Church in the Light of Magisterial Teaching on Mission. A Case in Point: The Arcdiocese of Semarang–Indonesia 1940–1981, 2001
- Soegija Si Anak Betlehem van Java. Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, 2003
- Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang (Transliterasi dan terjemahan G. Budi Subanar SJ), 2003
- Van Lith Role of Pater Franciscus Georgius Josephus van Lith, a Jesuit Priest, in the historical development of Catholic missions and Catholic school in Muntilan, Indonesia, dalam rangka 150 tahun Pastor van Lith.
- Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan: Yogyakarta, Komunitas Learning SSebuah pemaparan pemikiran tentang bagaimana memaknai Yogyakarta sebagai kota Pendidikan.