Uskup Padang, Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX: Keberpihakan Sang Kekasih Kebun Anggur

200
Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 8 Oktober 2023, Minggu Biasa XXVII, Yes. 5:1-7; Mzm. 80:9,12,13-14,15-16. 19-20; Flp. 4:6-9; Mat. 21:33-43.

SABDA Tuhan hari Minggu ini mengisahkan relasi intim antara Allah dan umat pilihan-Nya sendiri, kisah kasih sepanjang zaman tentang kesetiaan dan pengkhianatan dalam perumpamaan tentang Kebun Anggur.

Penulis Injil Yohanes mengungkapkan kesetiaan Allah ini dengan rumusan yang singkat dan padat tapi tajam: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).

Akan tetapi, dunia yang dikasihi Allah itu, umat pilihan-Nya sendiri, justru tidak sudi menerima-Nya. Apakah Gereja, umat Allah yang baru, yang juga sedang dinantikan buahnya dalam berjalan bersama sidang sinodal para Uskup di Roma, mampu belajar dari kisah umat pilihan Allah Israel ini?

Gambaran Kebun Anggur dan Figur Pemimpin yang Gagal

Kebun anggur sejak dahulu berperan penting dalam ekonomi Israel. Minyak dan anggur menjadi lambang berkat dan kekayaan paling utama. Tidak salahlah kalau keduanya menjadi gambaran utama dalam sejarah keselamatan.

Kidung Nabi Yesaya berkisah dengan penuh cita rasa tentang kebun anggur Sang Kekasih yang dirawat dengan sepenuh hati, seperti bagian dari hidup sendiri yang penuh ekspektasi. Namun kekecewaan demi kekecewaan yang dialami: “Apakah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menantikan dia menghasilkan buah anggur, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam.” (Yes. 5:4). Kebun Anggur yang gagal adalah stigma ketidaksetiaan umat pilihan yang tidak berhasil menanggapi cinta Allah.

Perumpamaan Yesus dalam Injil tertuju kepada “imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi” (Mat. 21:23), termasuk “orang-orang Farisi” (Mat. 21:45). Gambaran kebun anggur yang tidak berbuah dalam Kitab Yesaya berubah menjadi figur penggarap-penggarap yang “jahat” yang tidak mau “menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya” (Mat. 21:41). Malahan mereka membuang ahli waris satu-satunya, keluar dari kebun anggur-Nya sendiri, demi merebut harta warisan yang tidak pernah akan menjadi hak mereka tanpa sikap keputeraan seturut teladan Dia yang justru mereka bunuh (lih. Mat. 21:38-39).

Para pemimpin Israel sekali lagi mempersonifikasikan pada diri mereka kemandulan rohani umat pilihan sejak zaman nabi Yesaya: “Sebab kebun anggur Tuhan Semesta Alam ialah kaum Israel, dan orang Yehuda ialah tanam-tanaman kegemaran-Nya; dinantinya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran” (Yes. 5:7).

Hasil Buah Kerajaan dan Logika Injil

Sesunguhnya dengan rendah hati kita pun harus mengakui bahwa Gereja tidak terluput dari pesan kenabian yang keras itu. Kita juga dewasa ini dipanggil seperti penggarap-penggarap kebun angur, mungkin hanya sebagai pekerja dari “jam yang terakhir” (lih. Mat. 20:6-7), tetapi yang jelas kita tidak terluput dari godaan dan kecenderungan untuk menjadi mandul, tidak menghasilkan buah sebagaimana yang diharapkan. Tidak ada “privilese status” orang Katolik yang bisa meyakinkan bahwa kitalah yang dimaksud ketika Yesus mengatakan pada para lawan bicara-Nya: “Kerajaan Allah akan diambil dari kamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang menghasilkan buah Kerajaan itu.” (Mat. 21:43).

Buah Kerajaan itu harus nampak dalam praksis keberpihakan Gereja pada yang  sering terpinggirkan dan tak diperhatikan, “yang terbuang keluar” dari kebun anggur-Nya. Namun,  betapa sering kita masih menunggu dan tidak berani keluar dari kenyamanan kultis dari perayaan sakramental yang memuaskan kerinduan rohani pribadi saja.

Kecaman profetik dari kisah Sang Kekasih Kebun Anggur itu tidak hanya laku untuk umat Israel atau para pemuka jemaat pada zaman Yesus. Jika kita merasa telah menjadi “yang terakhir” dengan maksud “merebut privilese status” umat pilihan karena merasa telah diselamatkan, justru akan segera kita sadari bahwa kita sendirilah “yang pertama” yang “akan menjadi yang terakhir” (Mat. 20:16). Seperti pernah dikatakan Luiz Carlos Susin, seorang teolog pembebasan dari Brasil, “Perwahyuan dan keselamatan itu sungguh-sungguh rahmat, karena mengobrak-abrik logika keagamaan, membuat orang hanya bisa bergumam memahami bahwa yang seharusnya di dalam itu ternyata ada di luar, yang di atas ada di bawah, berkat itu ada di antara yang terkutuk dan penghakiman dunia mulai dari yang paling kecil.”

Kita sangat berharap bahwa hasil Sidang Pertama Sinode Para Uskup pada bulan Oktober 2023 ini menunjukkan buah keberpihakan yang sama dari Sang Kekasih Kebun Anggur. Suara orang-orang miskin dari jauh yang mau didengar oleh Paus Fransiskus, suara Gereja yang terpinggirkan yang berjuang dalam komunitas-komunitas basis, bersama dengan rekan-rekan yang mungkin tak seiman, tetapi sama-sama menjadi permata yang sungguh berharga di taman kekasih Allah.

Majalah HIDUP, Edisi No. 41, Tahun Ke-77, Minggu, 8 Oktober 2023.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini