Stop…, School Bullying!

496

HIDUPKATOLIK.COM – Dalam bahasa Indonesia bullying diartikan sebagai penindasan atau risak yang merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan dengan sengaja, mau, dan sadar oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat dari orang lain, dengan maksud menyakiti orang lain secara terus-menerus. Tindakan penindasan selalu terjadi disekitar kita, misalnya di rumah, tempat kerja, masyarakat, komunitas virtual, dan sekolah. Sebuah tindakan yang tidak menghormati nilai kemanusiaan dan keadilan. Perilaku yang membuat orang merasa takut, stress, depresi, mengalami masalah di sekolah, bahkan timbul pemikiran untuk bunuh diri atau melukai diri sendiri.

Pada tulisan saya kali ini, saya akan lebih memfokuskan pada konteks bullying di sekolah (school bullying). School bullying bisa lakukan secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan bullying yang dilakukan secara langsung seperti menonjok, menyindir, mengolok-olok, memukul, menendang, menggigit, menyoraki, mengancam, dan menghina orang lain secara fisik. Sedangkan tindakan bullying yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menyebarkan rumor atau gosip dan meminta orang lain untuk menyakiti. Tindakan-tindakan bullying di atas seringkali terjadi di lingkungan sekolah yang notabene dilakukan oleh anak-anak sekolah.

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, kasus bullying setiap tahun terus meningkat. Pada tahun 2023 ini, menurut catatan Federasi Guru Indonesia kasus bullying yang terjadi di Indonesia berjumlah 6 kasus perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Ini fakta yang tercatat dan terjadi di sekolah. Mungkin ada kasus-kasus bullying lain yang luput dari catatan dan  tidak diketahui guru atau orangtua. Maka menjadi suatu hal yang miris jika anak-anak yang masih polos dan mempunyai masa depan yang cerah harus mengalami tindakan bullying ini. Sekolah yang dianggap sebagai rumah kedua dari anak-anak selain keluarga dan tempat anak-anak belajar tentang nilai-nilai kebaikan, nyatanya menjadi salah satu sumber bullying.

Memang sudah ada aturan dari Permendikbud 82 tahun 2015 yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Namun faktanya masih banyak sekolah yang belum memiliki sistem pengaduan atau pelaporan yang melindungi korban bullying. Maka melihat kasus perundungan siswa di sekolah yang semakin meningkat ini, apa yang harus kita lakukan bersama untuk mengurangi atau menghilangkan tindakan bullying ini. Kita semua warga negara harus bekerjasama untuk mengatasi masalah ini. Tidak boleh muncul pikiran atau perasaan yang saling menyalahkan. Yang harus kita lakukan adalah bersama-sama mencari solusi yang terbaik untuk mengatasi tindakan bullying yang sungguh sangat mengkhawatirkan bagi kita semua, khususnya bagi masa depan anak-anak di dunia pendidikan.

Beberapa contoh kasus yang sedang viral di media sosial yakni kasus perundungan seorang siswa SMP di Cimanggu, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah (Jakarta, CNN  Indonesia, Jumat 29 September 2023). Kasus penganiayaan tersebut dilakukan atas motif rasa tidak terima dan tersinggung dari pelaku karena korban tersebut mengaku sebagai anggota kelompok atau geng Basis lain. Adapun kasus lain, misalnya seorang siswa kelas 3 SD di Palangkaraya mengalami trauma berat hingga dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan medis setelah mendapat serangan fisik dari siswa lainnya. Tentu bukan hanya pemulihan fisik saja yang diberikan kepada korban, tetapi juga pemulihan mental dan psikologi dari korban. Dan ada kasus yang juga miris bagi kita yakni ada seorang siswa SMP di Temanggung, Jawa Tengah yang membakar sekolahnya sendiri karena sering dirundung di sekolahnya tersebut (Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti).

Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi Ketuhanan dan nilai kemanusiaan, ketika melihat kasus bullying di atas, dampak yang muncul bukan hanya untuk korban saja, tetapi juga bagi pelaku,  tempat sekolah pelaku dan korban, keluarga, dan agama atau kepercayaan. Tentunya dalam keluarga, sekolah, maupun agama selalu mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anak atau umatnya.  Saya yakin dan percaya bahwa tidak ada seorangpun yang menginginkan anak atau keluarganya tumbuh menjadi seorang yang pembangkang, penjahat, pencuri, ataupun pembunuh. Dan jika ditelisik secara mendalam, penyebab seseorang melakukan bullying biasanya karena memiliki masalah pribadi yang kurang menyenangkan, pernah menjadi korban bullying, berasal dari keluarga yang disfungsional, mencari perhatian dan bahkan yang paling mengerikan karena merasa bahwa bullying itu memberikan keuntungan bagi diri atau kelompoknya.

Orang Katolik tentunya dalam kehidupan sehari-hari diajarkan untuk selalu membawa perdamaian dan sukacita dimanapun mereka berada. Anak-anak sekolah yang aktif dalam kegiatan gereja, misalnya mengikuti Sekolah Minggu, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, dan kegiatan gereja lainnya, tentunya selalu diajarkan mengenai sikap Yesus yang penuh cinta kasih dan penyayang. Sikap dan tindakan Yesus ini tentu diharapkan menjadi dasar atau fondasi yang kuat bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan mereka. Namun melihat kasus-kasus bullying belakangan ini muncul beberapa pertanyaan. Apakah kita hanya mau menyalahkan anak-anak tanpa melihat ke dalam diri kita masing-masing. Apakah kita sudah benar-benar memberikan contoh yang baik dan benar bagi anak-anak kita? Saling menyapa? Saling menghormati, saling menghargai, saling memaafkan dan mengampuni? Selalu mengeluarkan kata-kata yang baik dan benar? Tidak saling mengejek, dan lain-lain? Ataukah kita selalu saling menyalahkan, saling mencaci maki, saling memusuhi satu sama lain dan kita melakukan itu di depan anak-anak kita?

Ketika kita semua sudah merefleksikan dan melakukan discernment bersama untuk menemukan akar masalah dari tindakan bullying ini, maka saya yakin kita bisa mengatasi timbulnya tindakan yang merugikan ini. Kita sudah menunjukkan sikap dan teladan kita bersama dalam keluarga, di sekolah, di tempat-tempat umum yang selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, akan menjadi sebuah berkat yang besar bagi anak-anak kita.  Ketika kita semua sudah menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam keluarga, sekolah, lingkungan bermain, gereja, dan komunitas lainnya, maka secara otomatis kasus bullying di dunia pendidikan akan hilang. Di dunia pendidikan dan pergaulan mereka sehari-hari, anak-anak akan selalu saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Nilai-nilai ini akan sebuah habitus yang memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan dan masa depan anak-anak.

Fr. Alfonsius Mau, OFM
Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini