HIDUPKATOLIK.COM – SALAM kenal! Saya seorang frater yang saat ini sedang masa membuat keputusan penting dalam hidup antara meneruskan panggilan atau cari jalan lain karena persoalan keluarga. Saat ini saya sedang menjalani masa refleksi panjang di sebuah tempat retret di Yogyakarta. Saya ingin bertanya bagaimana caranya agar saya mampu membuat keputusan penting dalam hidup. Sebab sudah seminggu di tempat retret ini banyak keraguan dalam hidup dengan berbagai pertimbangan. Belum bisa membuat keputusan pasti. Selalu berhadapan keputusan spontanitas. Saya takut salah melangkah dengan keputusan ini.
Fr. Gusti, Yogyakarta
Fr. Gusti yang baik, terima kasih telah mau berbagi pergulatan hidup anda. Tentulah ada rasa lelah atau kalut bila berada dalam situasi keragu-raguan. Satu sisi, kita tidak nyaman dengan jalan hidup saat ini, namun di sisi lain ada juga perasaan takut salah melangkah bila memilih jalan baru. Saya sungguh mengapresiasi kesadaran frater bahwa keputusan yang spontan atau impulsif kurang tepat, apalagi menyangkut panggilan hidup. Keragu-raguan atau krisis tidaklah selalu buruk, sebab ini menjadi pertanda bahwa jalan panggilan itu dihargai, dipandang serius sehingga direfleksikan. Masa refleksi panjang yang sedang dijalani adalah saat untuk mengeksplorasi beberapa permenungan berikut.
Pertama, penting sekali untuk memahami secara lebih jernih terkait ‘persoalan keluarga’ yang saat ini bagi frater menjadi sumber keraguan dalam panggilan. Meninjau kembali: apa persisnya persoalan itu? Posisi frater: pemicu/bagian dari persoalan atau pemberi solusi? Potensi-potensi solutif yang ada dalam keluarga? Apakah meninggalkan panggilan merupakan solusi yang realistis? Pembimbing di tempat retret bisa menjadi semacam sparring partner untuk menilai persoalan yang ada.
Kedua, berbicara dari hati ke hati dengan keluarga tentang pergulatan frater barangkali bisa membantu juga. Bisa terjadi bahwa ada sudut pandang yang begitu berbeda antara frater dengan keluarga menyangkut persoalan yang sedang terjadi. Kerap terjadi, ketika kita hanya mendapatkan informasi-informasi dan tidak langsung tinggal bersama perasaan menjadi begitu dramatis, sehingga menjadi kalut.
Ketiga, tumbuh kembang panggilan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh situasi keluarga, sebab keluarga adalah rahim panggilan. Meskipun demikian, pribadi yang terpanggil juga harus memiliki otonomi diri di dalam menjalani panggilannya. Oleh karena itu batas-batas yang sehat terhadap keluarga perlu dibangun. Dalam rangka membangun batas-batas itu, frater bisa merenungkan apakah memang saya sendiri merasa inilah panggilanku. Ketika merenung tentang ini, abaikan untuk sementara masalah keluarga.
Keempat, kehati-hatian yang muncul dari perasaan takut salah memutuskan memang perlu, apalagi ketika mau mengambil keputusan besar dalam hidup. Kita butuh waktu, pemikiran jernih, dalam dan luas. Hanya saja, perlu juga peka dengan kecenderungan peragu atau takut salah yang mungkin ada di dalam diri. Bisa jadi, bukan peliknya masalah yang membuat kita ragu dalam mengambil keputusan, tetapi diri sendiri yang memang peragu, sehingga cenderung menggantung keputusan. Rasanya, tidaklah membuang-buang waktu, bila frater mengeksplorasi kecenderungan diri selama ini: apakah ini kali pertama mengalami keraguan? problem keluarga inikah yang sungguh menjadi pencetus keraguan? apakah dalam keseharian saya menjadi orang yang punya determinasi untuk menentukan ini yang kumau’ atau cenderung peragu juga?
Poin-poin di atas penting untuk memahami dinamika yang sedang terjadi dalam diri frater, yakni frater memang sungguh-sungguh ragu dengan panggilannya atau keraguan muncul hanya karena ada persoalan keluarga atau keraguan atas panggilan semakin diperberat oleh persoalan keluarga ataukah frater memang cenderung menjadi peragu ketika harus mengambil sebuah keputusan. Kejernihan pemahaman untuk melihat dinamika krisis yang sedang terjadi akan membantu frater untuk mengambil tindakan lebih lanjut.
Keenam, memang akan terasa melegakan bila sebelum mengambil keputusan besar, kita sungguh yakin dengan keputusan itu. Sayangnya, sering sekali dalam setiap keputusan besar ada terselip keraguan besar juga di situ, namun pada satu titik kita harus berani memutuskan. Ketakutan dalam mengambil keputusan bisa juga menjadi sebuah ekspresi dari ketakutan untuk memanggul salib yang menjadi konsekuensi pilihan itu. Lebih baik menanggung resiko keliru dan gagal, daripada tidak memutuskan apapun karena takut akan kegagalan. Bawalah dalam doa dan Tuhan akan memberkati dan menyempurnakan yang frater putuskan.
Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812.9295.5952.Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.