Uskup Manokwari-Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega: “Kalau Bukan Karena Tuhan, Tidak Mungkin”

548
Mgr. Hilarion Datus Lega (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN ini, tepatnya pada tanggal 29 Juni, Mgr. Hilarion Datus Lega memperingati 20 tahun pengangkatannya sebagai Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong. HIDUP mendapat kesempatan untuk mengunjunginya di Kantor Keuskupan Manokwari-Sorong di Kota Sorong, Papua Barat Daya. Berikut petikan wawancaranya:

Apa program pertama yang diambil setelah diangkat menjadi uskup?

            Pertama, saya harus mengunjungi wilayah yang belum saya kunjungi. Waktu saya jadi uskup, paroki hanya 16. Sisanya semua saya yang bentuk. Hampir setengahnya saya bentuk dalam 20 tahun terakhir ini. Ini akibat dari saya mengunjungi semua wilayah itu, belajar dari mereka.

Kedua, saya belajar dari keunggulan dan keluhuran budaya orang-orang Papua. Karena saya pakai satu adagium: “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.” Saya dipilih sebagai uskup di Tanah Papua untuk orang-orang Papua.

Mgr. Hilarion Datus Lega berjalan menuju altar saat Perayaan Ekaristi tahbisan imam. (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Ketiga, saya mempunyai program untuk merumuskan kembali ke mana saya membawa keuskupan yang besar ini dalam perencanaan strategis. Tidak masalah mengulang-ulang kembali. Contoh, dalam empat atau lima tahun terakhir, fokus pastoral saya adalah keluarga. Karena keluarga merangkul sekurang-kurangnya lima sendi dalam kehidupan: anak, remaja, pemuda, manusia dewasa, lansia. Keluarga ada dalam Komisi Keluarga, Komisi Liturgi, Komisi Kateketik, Komisi Kepemudaan, Komisi Kerawam, semuanya.

Paus Fransiskus mengeluarkan satu ensiklik yang amat kolosal, Amoris Laetitia. Kita harus mendekati keluarga dengan problematikanya secara baru. Pertama, jangan judgemental. Kedua, pendekatan harus memperlakukan orang secara unik. Ketiga, personal approach, personal touch.

Akhirnya saya jadi yakin sekali, orang Papua mungkin tidak butuh saya. Tetapi orang Papua sama seperti manusia lain di muka bumi ini. Yang mereka butuhkan penghargaan. Penghargaan terhadap manusia kunci utama dari penerimaan.

Program apa saja yang sudah dilakukan selama 20 tahun ini?

            Pertama, saya melanjutkan pendahulu saya. Jadi para pendahulu saya sudah mulai dengan kerasulan di bidang pendidikan, kesehatan. Jadi saya melanjutkan. Para pendahulu saya mengajarkan bahwa pendidikan harus dimulai dari dasar. Maka saat ini keuskupan menyelenggarakan lebih dari 120 SD, terpencar di seluruh wilayah keuskupan. SMP mungkin 10-12. SMA ada banyak, termasuk SMA di Bintuni, Kaimana, Fakfak. Ini yang dikelola keuskupan. Ada juga sekolah yang dikelola kongregasi. Misalnya, ada sekolah di Manokwari yang dikelola oleh Ordo St. Agustinus (OSA) dan sekolah di Fakfak yang dikelola suster-suster OSF.

Mgr. Hilarion Datus Lega (paling kanan) bersama tokoh umat (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Kedua, pelayanan umat tetap saya jalankan. Pelayanan sakramen, katekisasi, kaderisasi, kunjungan. Itu wajib hukumnya. Ini yang kedua.

Ketiga, saya buat program unggulan. Orang yang membina juga harus dibina. Orang yang me-charge orang, harus di-charge juga. Maka saya bikin sekurang-kurangnya empat program pembekalan dari dalam. Pertama, rekoleksi dan retret untuk permenungan. Kedua, Temu Pastores setiap tahun. Ketiga, semua rapat rutin harus dilaksanakan, mulai dari tingkat paroki, dekenat atau wilayah, keuskupan. Di keuskupan ada empat rapat rutin: dewan konsultores, dewan keuangan, tribunal atau pengadilan Gereja, dan privat antara uskup dan pastor atau antar-pastor. Keempat, tidak boleh merasa kita sendiri yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan ini. Tapi kita pertama harus bersama dengan pemerintah dan masyarakat.

Saya senang Paus macam membaca situasi global. Beliau membuat tema sinode yang luar biasa, Towards A Synodal Church: Communion, Participation and Mission. Ini yang kami coba gagas juga. Saya tambahkan lagi satu – dengan prinsip apa-apa yang tidak memberi evaluasi maka tidak ada pembelajaran – maka saya kuat dalam evaluasi.

Komponen-komponen penunjang dari pekerjaan pastoral dalam perspektif Gereja juga harus mendapat porsi dan diaktifkan semua. Saya dari waktu ke waktu harus bermusyawarah, tapi saya modifikasi. Dimulai dari paroki-paroki dalam satu TPW, lalu naik ke tingkat keuskupan. Ini dilaksakanan tiga tahun sekali.

Karya pastoral akhirnya harus dipahami sebagai karya perjumpaan. Kalau kita berjumpa, kita ngomong. Ngomong selalu bermanfaat kalau dialogis, bukan satu pihak saja. Ada tanya-jawab, ada saling mendengarkan.

Ada satu pelajaran yang harus saya katakan. Saya belajar juga dari rekan-rekan imam. Saya berusaha akrab dengan imam-imam. Meskipun saya tahu ada juga imam yang tidak setuju dengan saya. Kita berbeda bukan untuk bermusuhan. Kita berbeda bukan untuk saling menisbikan. Barangkali yang lebih tepat, kita berbeda demi memperkaya kita, membuat kita lebih cerdas. Maka sebenarnya jauh di dalam lubuk hati saya, saya tidak suka penyeragaman. Manusia itu unik. Karya pastoral juga unik.

Apa suka-duka yang dialami selama ini?

            Pekerjaansaya akhirnya adalah pekerjaan yang isinya meyakinkan orang. Kalau Anda berkhotbah, Anda meyakinkan orang. Jadi tantangan terbesar kalau orang tidak yakin. Itu duka menurut saya. Kedua, pekerjaan saya akhirnya harus membuat orang memahami. Maka duka atau tantangan besar kalau mereka tidak mengerti. Ketiga, pekerjaan saya adalah pekerjaan yang amat sangat mengutamakan jejaring, networking. Jadi pekerjaan tim, bukan pekerjaan satu orang.

Saya selalu menghitung achievement, pencapaian berdasarkan apa yang dilihat, diraba, lahiriah. Pekerjaan pastoral susah menghitung begitu. Dengan kata lain, kalau kita achievement oriented, kita susah berkembang. Jadi menurut saya, biarkan proses itu berjalan. Dalam bahasa Inggris, we try to do our best and let the Lord do the rest. Kita mungkin mempersembahkan yang terbaik, tapi ini pekerjaan Tuhan Allah. Biarkan porsi Dia juga.

Terbalik, threat is always an opportunity. Tantangan juga kesempatan bagi kita untuk memperbaiki cara pandang. Jadi memberi motivasi itu memang sulit. Saya lebih melihat tantangan, duka sebagai peluang. Kalau kita bisa mengatasi, ada kepuasan. Dari cara pandang tertentu, apa yang merupakan kesulitan itu akhirnya seperti mengalir menjadi apa yang menyenangkan.

Bagaimana Monsinyur merefleksikan 20 tahun pengangkatan sebagai uskup?

            Bagi saya, 20 tahun itu panjang. Tugas dan pelayanan saya sebagai uskup kalau bukan karena Tuhan, tidak mungkin. Tidak lama setelah diangkat sebagai uskup, saya memilih motto episkopat dari Mazmur 115:1. Bunyinya: “Bukan kepada kami, ya Tuhan, bukan kepada kami. Tetapi kepada nama-Mu-lah beri kemuliaan oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu.” Tapi motto ini terlalu panjang. Motto harus dalam bahasa Latin. Menjadi Nomen Tuum Glorificetur (Nama-Mu, ya Tuhan, Dimuliakan).

Saya merefleksikan tahun-tahun pelayanan saya sungguh-sungguh tahun pemuliaan Tuhan. Saya hanya alat yang dipakai – tangan, kaki, pemikiran. Latar belakang itu semua adalah kemuliaan Tuhan. Saya amat menghargai berbagai pihak. Umat Allah terutama yang berada dalam kebersamaan dalam tugas pelayanan ini. Tanpa mereka, saya bukan apa-apa.

Saya harus melakukan yang terbaik. Saya hanya mau meninggalkan jejak yang baik. Manusia tidak sempurna, ada kekurangan, termasuk saya, tidak luput dari kekurangan. Tapi dalam kekurangan ini, kalau kita lebih banyak menebarkan kebaikan, bukan pesona – for the sake of goodness, saya rasa kita meninggalkan kebaikan.

Saya terima alih jabatan dari Mgr. Hadisumarta itu baik. Tidak ada masalah. Jadi saya harus meninggalkan gelanggang dengan membiarkan penerus-penerus saya juga nyaman dan boleh menikmati legacy yang baik-baik.

Mau dibawa ke mana Keuskupan Manokwari-Sorong ke depan?

            Pengembangan wilayah. Saya sudah ngomong dengan teman-teman, belum secara formal. Suatu ketika bisa saja terjadi Keuskupan Manokwari. Dulu 16 paroki waktu saya datang. Sekarang 31 paroki. Satu keuskupan, 15 paroki oke saja. Apalagi wilayah luas.

Yang lebih substansial, keuskupan ini harus dibawa menuju keberpihakan kepada masyarakat asli Papua. Cita-cita saya, saya uskup terakhir yang datang dari luar. Berikutnya harus anak-anak Papua sendiri. Uskup pertama Mgr. Petrus van Diepen, orang Belanda. Uskup kedua, Mgr. Hadisumarta, orang Jawa.

Mudah-mudahan ke depan masih on the right track. Para penerus masih memandang bahwa pendidikan modal utama bagi perkembangan dan kemajuan di Tanah Papua. Sekarang banyak TK dan PAUD. TK dan PAUD yang dikelola keuskupan ada sekitar 40.

Satu lagi, sesuai dengan kenyataan, memberi tempat bagi perempuan dalam Gereja. Kalau diperhatikan betul-betul, Gereja Katolik di sini yang lebih menonjol itu perempuan dan anak-anak. Luar biasa. Maka saya amat mempromosikan perempuan menjadi ketua dewan paroki. Masak prodiakon tidak memilih ibu-ibu. Dari 12 prodiakon, semuanya laki-laki. This is non-sense. Jadi memberi tempat kepada orang Papua, perempuan, anak-anak. Itu saya rasa nilai yang besar. Akhirnya visi keuskupan ini saya buat sederhana: “Menjadikan Keuskupan Manokwari-Sorong maju, mandiri, bermartabat.” Tiga kata kunci ini.

Apakah calon uskup sudah disiapkan?   

            Sudah. Sejak saya mendirikan seminari tahun 2005, saya punya penilaian sendiri. Seminari ini salah satu masterpiece dari karya penggembalaan saya. Ada delapan imam yang ditahbiskan tahun ini. Dari delapan ini, lima orang asli Papua. Waktu saya datang, imam di keuskupan ini hanya lima orang. Siapa yang mau jadi uskup? Maka amat strategis seminari ini.

Katharina Reny Lestari (Dari Sorong, Papua Barat Daya)

 HIDUP, Edisi No. 25, Tahun Ke-77, Minggu, 18 Juni 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini