HIDUPKATOLIK.COM – Romo Benny, pada Jumat Agung, banyak orang Katolik, khususnya di daerah, membersihkan kuburan keluarga. pada Malam Paskah mereka menaruh lilin di makam keluarga. Saya kadang bertanya dalam hati, untuk apa lagi makna membersihkan makam dan pasang lilin itu? Terima kasih, Romo Benny!
Ria, Tangerang
Perayaan Trihari Suci: Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci adalah perayaan penting bagi umat Katolik. Ini merupakan momen semua orang Katolik merenungkan arti menjadi orang Katolik karena di sinilah puncak iman Katolik terjadi. Ada rangkaian kegiatan, ritus, dan tradisi yang dijalankan oleh umat Katolik sebagai ungkapan persiapan perayaan Hari Paskah mengenangkan Kristus yang sengsara, wafat, dan bangkit untuk umat manusia.
Di pelbagai negara, termasuk Indonesia, ada tradisi yang berbeda-beda, terutama pada Jumat Agung, yang salah satunya tradisi pergi ke makam saudara. Umumnya, tradisi ini dilakukan oleh orang-orang Kristiani di Sumatra dan Palangkaraya.
Tradisi berkunjung ke makam sanak saudara yang meninggal ini pada saat Jumat Agung dan Sabtu Vigili Paskah dapat dikatakan sebagai tradisi yang unik. Tidak semua orang Katolik melakukan hal tersebut. Namun tradisi ini memberikan gambaran betapa orang Katolik sangat menghormati Jumat Agung dan Vigili Paskah sebagai saat-saat penting dalam hidup Tuhan Yesus.
Mungkin, tradisi pergi ke makam pada Jumat Agung agak aneh karena pada umumnya orang Katolik pergi ke makam pada saat Peringatan Arwah Orang Beriman pada 2 November. Pada umumnya, pada saat itu, orang Katolik membersihkan makam, menabur bunga, dan juga merayakan Ekaristi. Namun, meskipun berbeda, bilamana orang datang ke makam pada Jumat Agung tentu memiliki makna yang tidak terlepas dari perayaan Jumat Agung itu sendiri sebagai hari peringatan wafat Kristus, kemenangan-Nya atas dosa umat manusia dan makna malam Paskah ketika Gereja merayakan upacara cahaya sebagai rangkaian Perayaan Vigili Paskah.
Dengan demikian, pemahaman pertama mengapa umat beriman berkunjung ke makam adalah karena pada hari Jumat Agung dalam Tradisi Gereja adalah saat semua orang Katolik merenungkan makna perayaan tersebut, perayaan pengorbanan Tuhan Yesus bagi seluruh manusia. Dan pada hari ini, Gereja juga merenungkan wafat Tuhan Yesus dengan penghomatan salib-Nya sebagai tanda cinta Tuhan yang memberikan diri secara total kepada manusia. Sehingga Jumat Agung menjadi saat yang tepat pula dalam merenungkan pengharapan akan kasih Tuhan kepada manusia dengan mengenang saudara-saudara yang meninggal.
Kunjungan ke makam adalah bentuk ungkapan hal tersebut dengan dibarengi pembersihan makam mereka sebagai penghormatan pada saudara yang telah meninggal sekaligus perwujudan kasih kepada mereka. Apalagi pada saat itu dengan pembersihan makam saudara yang masih hidup diingatkan untuk melakukan introspeksi diri atas segala kesalahan yang telah dilakukan terhadap mereka sehingga dapat menjalankan kehidupan lebih baik lagi.
Sedangkan kebiasaan memasang lilin pada Malam Paskah di makam keluarga sesungguhnya berasal dari gambaran Malam Paskah itu sendiri di mana cahaya Kristus menerangi kegelapan. Hal ini bagi orang Kristiani, pada saat perayaan Malam Paskah, saat “umat memasuki gereja dengan prosesi dan diterangi hanya oleh cahaya Lilin Paskah hendak menggambarkan bagaimana putra-putra Israel di malam dibimbing oleh tiang api, demikian pula orang-orang kristiani pada gilirannya mengikuti Kristus dalam kebangkitan-Nya” (Bdk. Perayaan Paskah dan Persiapannya, 86). Ini menegaskan Lilin Paskah yang bernyala pada malam hari menggambarkan bahwa Kristus yang wafat kini bangkit dan memberikan pengharapan kepada semua orang akan kehidupan kekal.
Maka tradisi pemasangan lilin di makam adalah sebagai harapan dan ungkapan orang beriman yang percaya bahwa Kristus telah menerangi kehidupan orang beriman dan kelak akan membangkitkan saudara-saudara yang telah meninggal seperti janji-Nya: “Sesungguhnya saatnya akan tiba dan sudah tiba, bahwa orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah, dan mereka yang mendengarnya, akan hidup” (Yoh 5:25).
Pengasuh: Romo Yohanes Benny Suwito, Dosen di Institut Teologi Yohanes Maria Vianney Surabaya dan Universitas Widya Mandala Surabaya
HIDUP, Edisi No. 19, Tahun ke-77, Minggu, 7 Mei 2023