Orang Samaria dalam Sosok Pribadi Sutiono

457
Pribadi Sutiono (kanan) bersama istri (kiri) dan Nunsius Apostolik untuk Slovakia, Uskup Agung Nicola Girazoli (tengah) (Foto: Dok. Pribadi)

 

HIDUPKATOLIK.COM – Dahulu dirinya seorang yang intovert dalam banyak hal termasuk keimanannya. Namun ada satu titik ia menyadari bahwa agama adalah jalan kesempurnaan mencintai sesama sebagai bagian dari penghargaan terhadap martabat manusia.

SEORANG stafnya beragama Kristen. Baru satu minggu tiba di Slovakia untuk menjalankan tugas negara, tiba-tiba mengalami sakit dan tidak sadarkan diri. Keluarganya pun sedih dan bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukan di negeri yang jauh dari tanah air. Dengan cepat ia berinisiatif menyediakan ruangan di kediamannya agar keluarga dan umat Kristen lainnya dapat berkumpul untuk berdoa bersama. Bahkan ia tidak ragu untuk memanggil pastor, suster dan beberapa umat Kristen lainnya dari negara tetangga untuk hadir dalam kegiatan doa bersama tersebut. Hingga pada akhirnya, staf yang sakit itu meninggal dunia, ia pun tetap menyediakan kediamannya agar orang-orang bisa berdoa bersama. Dia bukan seorang Kristen, dia seorang penganut Islam yang taat.

Kita tentu ingat kisah dalam Kitab Suci tentang orang Samaria yang baik hati, yang menolong dengan penuh totalitas cinta kasih (Bdk. Lukas. 10: 25-37). Tentu kita mengerti bahwa nilai cinta kasih jauh lebih tinggi daripada perbedaan identitas dan latar belakang. Semakin seseorang mencintai Tuhan, semakin ia mengasihi sesama manusia, semakin ia dapat menemukan wajah Tuhan dalam diri setiap pribadi. Itulah yang dihidupi seorang Pribadi Sutiono, Duta Besar Republik Indonesia untuk Slovakia.

Saudara

Ia dikenal sebagai sosok yang penyayang oleh orang-orang disekitarnya. Perhatiannya yang tulus, membuat orang tidak segan berada didekatnya. Di sisi lain, ketegasannya pun tidak diragukan. Sebagai seorang pemimpin, ia bersikap bijaksana dan penuh kasih sayang. Bukan hanya itu, sikap tolerannya begitu kuat dihidupinya. Baginya tidak ada alasan bahwa agama menjadi dasar untuk membedakan perilaku, sebaliknya ia justru menganggap dan memperlakukan semua orang sebagai saudara, tanpa mempedulikan apa agamanya.

Keluarga besar Indonesia di Slovakia dalam Perayaan Natal 2022 di Kedutaan Besar RI di Slovakia (Foto: Dok. Pribadi)

 

Yang juga menarik adalah, ia berinisiatif mengundang Nunsius Apostolik untuk Slovakia, Uskup Agung Nicola Girazoli dalam kesempatan Perayaan Natal Keluarga Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Slovakia pada Desember 2022 lalu. Tentu saja, kehadiran Nunsius menjadi kebahagiaan tersendiri bagi umat Kristen yang hadir.

Pribadi menjelaskan bahwa inisiatifnya mengadakan perayaan Natal dan mengundang Nunsius Apostolik merupakan suatu aset bagi Bangsa Indonesia di kancah internasional. Ia ingin menampilkan wajah Indonesia yang beragam, toleran dengan berbagai kekayaan budaya.

Dalam suatu kesempatan wawancara di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Slovakia, pria kelahiran 2 Februari 1964 ini mengatakan bahwa perhatiannya kepada umat Kristen karena ia menganggap semua orang sebagai saudara, sesama Bangsa Indonesia yang berada di perantauan. Rasa sayangnya begitu besar kepada semua orang Indonesia dan juga kepada siapa pun tanpa membedakan apa agama, suku, latar belakang orang tersebut.

Baginya agama adalah suatu hal yang sangat bersifat pribadi, bagaimana manusia berelasi dengan Tuhan yang diimaninya. Namun dalam kehidupan sehari-hari, sesama manusia di sekitar kita adalah saudara yang patut untuk dicintai, disayangi dan diperhatikan. Justru ketika seseorang sungguh menghayati agamanya, semestinya agama justru menjadi pemersatu, bukan penyebab perpecahan.

Tidaklah heran jika ia memiliki relasi yang sangat baik dengan para biarawan-biarawati Katolik serta umat Kristen dan Katolik, baik yang ada di Slovakia maupun di Austria.

Percaya  

Pribadi Sutiono sejak Januari 2022 menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Slovakia. Sebelumnya ia juga pernah menjabat sebagai Deputy Chief of Mission (Minister) pada Kedutaan Republik Indonesia di Brunei Darussalam dan Counsellor for Information and Public Diplomacy pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di United Kingdom.

Ketika ditanya peristiwa apa yang mengubah kehidupannya, ia pun menjabarkan bahwa dahulu ia adalah orang yang intovert. Hingga suatu saat ia mengalami situasi keterpurukan, merasa hampir putus asa dengan kehidupannya dan tidak yakin bahwa ia mampu menjalani pendidikan dan tugas-tugasnya. Ia berusaha menyelesaikan pendidikan S3 jurusan International Relations, Foreign Policy and Human Right Policy di Victoria University of Wellington, New Zealand di usia yang tidak lagi muda.

Dalam keterpurukannya itulah ia merasa bahwa Tuhan hadir memberinya kekuatan hingga ia bisa menyelesaikan studinya dan kemudian menjadi pembicara di berbagai seminar. Semakin banyak pengalaman berbicara di depan umum semakin menumbuhkan kepercayaan diriya. Dari situ ia sadar dan percaya bahwa ketetapan Tuhan pasti akan terjadi asal kita mau berupaya semaksimal yang bisa kita lakukan sebagai manusia. Hingga kini kepercayaannya pada pertolongan Tuhan pun semakin bertumbuh, ia percaya tantangan apapun yang dihadapinya dalam kehidupan, Tuhan pasti hadir menolong. Sebagai seorang duta besar, tidak diragukan lagi kepiawaiannya berbicara di depan publik, bahkan dalam berbagai kesempatan berskala internasional.

Pria lulusan Sastra Cina Universitas Indonesia ini juga pernah menciptakan tulisan steno dalam Bahasa Cina. Dari berbagai pengalamannya bertugas di beberapa negara, rupanya ada hal menarik yang ditemuinya. Ia pernah bertugas di Brunei Darussalam yang menjalankan syariat Islam. Sebagai seorang penganut Islam, baginya tidak ada tantangan berat ketika bertugas di Brunei Darussalam, sebaliknya kini ia bertugas di Slovakia, yang mayoritas penduduknya adalah Katolik. Disini ia menghadapi tantangan untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan perbedaan kultur, cara berpikir, kebiasaan masyarakat setempat. Hal menarik lainnya adalah ketika ia bertugas di Jepang. Menurutnya, Jepang adalah negara non-Islam yang dapat dikatakan menjalankan syariat Islam karena masyarakat Jepang sangat menjaga kebersihan, ketertiban dan keharmonisan.

 Iqro (Membaca) dan Critical Thinking

Menyikapi masih maraknya berbagai aksi intoleransi yang terjadi di Indonesia, pria yang sempat menjadi Adjuct Lecturer di Universitas Paramadina ini berpendapat bahwa tindakan intoleransi dapat disebabkan karena kurangnya membaca sehingga seseorang tidak terlatih untuk berpikir kritis. Padahal dalam ajaran Islam jelas diajarkan tentang pentingnya Iqro (membaca). Dengan banyak membaca, seseorang dibawa pada suatu proses mengamati dan berpikir serta berpikiran terbuka. Dengan begitu, bisa lebih belajar untuk memahami segala sesuatu dan bersikap terbuka.

Pribadi Setiono (kiri) ditemui Sr. Bene Xavier, MSsR (Kontributor HIDUP di Wina, Austria) di Kedubes RI di Slovakia. (Foto: Dokpri)

Sebagai contoh, ketika kita membaca sebuah prosa, lewat tulisan kita diajak untuk berimajinasi dan kemudian memikirkan mengapa demikian, maksud apa yang mau disampaikan penulis hingga akhirnya kita dapat memahami. Kebiasaan ini akan membuat orang bersikap lebih terbuka terhadap perbedaan. Sayangnya kini kita banyak dimanja oleh hal-hal instand an membaca bukan lagi dianggap sebagai hal yang menarik oleh sebagian orang.

Lebih lanjut, Pribadi juga berharap pada seluruh masyarakat diaspora Indonesia dimana pun berada untuk senantiasa menjaga persaudaraan sebagai saudara sebangsa karena lewat merekalah, dunia juga melihat wajah Indonesia.

Dalam diri Pribadi Sutiono kita bisa menemui wajah orang Samaria dalam sosok seorang Muslim. Dialah sosok representatif Indonesia yang semestinya, yang sungguh memelihara persaudaraan dan toleransi.

Sr. Bene Xavier MSsR dari Wina, Austria

HIDUP, No. 17, Tahun ke-77, Minggu, 23 April 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini