Menyambut Tahbisan Uskup Tanjungkarang: Benih yang Tertabur di Ujung Andalas

293
Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo (Foto: Dok Keuskupan Tanjungkarang)

HIDUPKATOLIK.COM – Peziarahan iman Gereja di Lampung tak lepas dari kehadiran para misionaris Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) yang melanjutkan karya Serikat Yesus (SJ) dan Kapusin (OFMCap) di Tanjung Sakti. Setelah tiba di Tanjung Sakti pada 23 September 1924 mereka pun segera mengadakan perjalanan misi, mengunjungi banyak tempat yang menjadi bagian Prefektur Apostolik Bengkulu.

“JANGAN kita pantang mundur menghadapi tugas kita untuk memulai karya kita. Sesudah kita, orang lain akan datang menuai. Marilah kita menyemai,” demikian kalimat Pastor Henricus van Oort, SCJ dalam buku Kawanan Kecil di Sumatera Selatan 1848-1942. Ia datang bersama Pastor Carolus van Stekelenburg, SCJ dan Bruder Felix van Langenberg, SCJ untuk memulai karya misi SCJ di Tanjung Sakti.

Setelah mengunjungi banyak daerah di Sumatera Selatan, Pastor van Oort  menarik sebuah kesimpulan untuk membuka pos misi ketiga, yaitu Palembang. Setelah membuka pos misi di Palembang, ia pun mengarahkan pandangan ke kota kembar di Lampung, yaitu Tanjungkarang dan Teluk Betung sebagai wilayah misi yang baru.

Ia telah memperoleh banyak informasi tentang Lampung dari laporan yang dibuat oleh para imam Kapusin. Jarak Palembang ke Lampung cukup jauh, transportasi masih sulit dan membutuhkan waktu perjalanan yang relatif lama.

Komunitas Perdana

Pastor Mattheus Gerlachus Neilen, SCJ yang tiba di Palembang tahun 1925 diutus untuk memulai persiapan pembukaan pos misi yang baru di wilayah Lampung. Pada 18 April 1926 ia berangkat dari Palembang menuju Teluk Betung dengan menempuh perjalanan naik kapal KPM menyusuri Sungai Musi, perairan pantai timur Sumatera dan Sungai Tulang Bawang lalu berlabuh di Menggala. Dari Menggala ia melanjutkan perjalanan sejauh 120 km menggunakan mobil menuju Teluk Betung.

Di sana misi pelayanan dimulai, ia merayakan Ekaristi di Teluk Betung dan Tanjungkarang, mengajar Katekismus di sekolah-sekolah dan menerimakan Komuni Pertama. Pada awal pelayanan itu, umat yang mengikuti Perayaan Ekaristi berjumlah 50 orang. Sebagian besar adalah orang Eropa yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda dan pegawai perkebunan. Inilah komunitas perdana umat Katolik di Lampung. Saat itu mereka belum memiliki gereja, maka Ekaristi dirayakan di salah satu gedung kantor Perusahaan Jawatan Kereta Api. Setelah beberapa waktu di Lampung, Pastor Neilen, SCJ pun kembali ke Palembang.

Selanjutnya, pada tahun yang sama Pastor van Oort pun pergi mengunjungi Lampung. Dengan rute berbeda ia memulai perjalanan dari Palembang menuju Teluk Betung menggunakan kereta api, melewati Baturaja dan Martapura. Karena saat itu rel kereta api antara Martapura dan Kotabumi belum tersambung, maka dari Martapura ia melanjutkan perjalanan menuju Giham yang saat itu hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki dan naik perahu. Dari Giham ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati Blambangan dan Negara Ratu menuju Kotabumi kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api menuju Teluk Betung.

Setelah berada di Teluk Betung dan Tanjungkarang, ia pun mulai mencari sebidang tanah untuk lokasi gereja. Pada awalnya ia meminta bantuan sebidang tanah dari Jawatan Kereta Api, namun permintaan itu tidak disetujui. Akhirnya ia membeli sebidang tanah di sekitar pasar Tanjungkarang yang letaknya dekat dengan stasiun kereta api. Di tanah yang baru dibeli itu ia mulai membangun sebuah gereja.

Gereja Katolik Paroki St. Theodorus Liwa Lampung Barat (Foto: Dok Keuskupan Tanjungkarang)

Selanjutnya, sebagai penanggung jawab misi ia pun sering datang mengunjungi Lampung untuk menangani aneka urusan Prefektur Apostolik Bengkulu, melayani umat dan memantau proses pembangunan gereja. Gereja yang baru itu selesai dibangun pada 16 Desember 1928 kemudian diberkati oleh Pastor van Oort dan diberi nama Gereja Kristus Raja (Christus Koning). Sejak itu Tanjungkarang resmi menjadi pos misi keempat di Prefektur Bengkulu dan Pastor van Oort mulai menetap di Tanjungkarang.

Gereja Pendatang

Catatan dalam buku baptis Gereja Kristus Raja pada 28 Desember 1928 menjadi penanda berdirinya Gereja Katolik di Lampung. Gereja Katolik di Lampung identik dengan Gereja pendatang. Pendapat ini mengemuka berdasarkan pada kenyataan sejarah yang ada, bahwa komunitas Katolik itu tumbuh dan berkembang di antara para transmigran.

Keresidenan Lampung yang berpusat di Teluk Betung merupakan wilayah yang terletak di ujung Pulau Andalas atau Sumatera. Sejak tahun 1905 wilayah ini merupakan salah satu daerah tujuan program kolonisasi atau transmigrasi bagi masyarakat dari Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah yang digalakkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Daerah tujuan program kolonisasi di Lampung pada mulanya adalah Gedongtataan.

Jika menilik sejarah, maka ditemukan kenyataan bahwa para misionaris Yesuit telah berkarya menaburkan benih iman Katolik di Jawa sejak tahun 1859. Dalam pelayanannya mereka memperoleh gambaran bahwa masyarakat yang berasal dari daerah yang dulu berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram, yaitu Yogyakarta, Solo, dan Kedu umumnya lebih terbuka menerima ajaran Kristus.

Bagi Pastor van Oort kondisi ini tentu menjadi lahan yang potensial dan sekaligus memberi harapan besar bagi pertumbuhan komunitas umat Katolik di wilayah Lampung. Dari Tanjungkarang ia mulai merencanakan pengembangan karya misi. Residen Lampung, H.R. Rookmaker menawarkan kepada Pastor van Oort agar membuka misi Katolik di antara orang Jawa. Rencana ini didukung oleh pemimpin proyek kolonisasi di Lampung, L. Berkmeyer.

Selain mulai mencari informasi tentang keberadaan umat Katolik, Pastor van Oort pun mulai memberi perhatian di bidang pendidikan. Pada September 1929 ia mendirikan sebuah Taman Kanak-kanak di Teluk Betung yang disusul Sekolah Dasar pada Agustus 1930. Sejak Oktober 1931 sekolah ini dikelola oleh Kongregasi Suster Belas kasih dari Hati Yesus yang Mahakudus (HK) yang sebelumnya sudah berkarya di Palembang. Karya pendidikan di antara transmigran, khususnya di Gedongtataan.

Sekolah yang direncanakan itu akhirnya dibuka pada 7 Maret 1931 dan pengelolaannya diserahkan kepada Kongregasi Suster-suster Fransiskus dari St. Georgius Martir (FSGM) yang memulai karyanya di Pringsewu pada 4 Juni 1932.

Selanjutnya Pastor van Oort mulai memperluas wilayah pelayanan ke Pringsewu yang letaknya tidak jauh dari Gedongtataan. Daerah yang letaknya cukup strategis untuk menjangkau daerah-daerah lain di sekitarnya, seperti Gisting dan Wonosobo ini menjadi stasi misi pertama yang berdiri di luar Tanjungkarang.

Di sana ia membeli sebidang tanah dan mulai membangun pastoran, sekolah dan biara suster FSGM. Pada tanggal 24 Mei 1932 ia menugaskan Pastor Albertus Hermelink, SCJ dan Bruder Vincentius van Hevelingen, SCJ untuk berkarya di Pringsewu. Tempat yang baru ini selain memiliki tugas utama memperhatikan pelayanan rohani umat, Pastor Hermelink  juga mendapat tugas untuk memperhatikan pelayanan bidang pendidikan. Pada 1933 Pastor Neilen hadir membantu pelayanan misi di Pringsewu. Ia juga mulai membuka pelayanan ke daerah Karang Sari-Pasuruan dan Metro.

Benih yang Bertumbuh

Ada dua peristiwa penting yang menjadikan jumlah umat Katolik di Lampung pada masa awal terus berkembang, yaitu transmigrasi dan peristiwa seputar tragedi 1965. Para misionaris SCJ yang dipelopori oleh Pastor van Oort telah meletakkan dasar bagi perjalanan misi Gereja di Lampung.

Gereja Katolik Paroki St. Kristoforus Bakauheni Lampung Selatan (Foto: Dok Keuskupan Tanjungkarang)

Setelah membuka pelayanan ke Pringsewu, pada 1 Februari 1937 pelayanan di Metro pun resmi dibuka dan menjadi stasi kedua di luar Tanjungkarang. Sejak 1934 daerah ini telah menjadi tujuan program transmigrasi dan diharapkan menjadi daerah ‘metropolis’, pusat kota yang baru bagi transmigran. Pastor Neilen menjadi imam pertama yang berkarya dan tinggal di Metro. Dalam pelayanannya ia dibantu oleh para Suster FSGM yang datang dan memulai karya pelayanan di bidang kesehatan.

Saat itu pemerintah memiliki kebijakan yang mewajibkan setiap orang untuk menjalankan agamanya. Kebijakan ini memberi dampak yang positif, banyak orang abangan atau orang yang pernah mengenal kekatolikan ingin lebih mengenal dan belajar tentang agama Katolik. Jumlah umat dan komunitas pun terus bertambah. Selanjutnya, setelah Metro stasi misi pun dibuka di Gisting dan Pasuruan di Kalianda.

Masa Sulit

Meletusnya Perang Dunia II memberi dampak bagi misi Gereja di Lampung.  Pada 20 Februari 1942 Jepang datang menduduki Lampung dan tak lama kemudian mulai menangkap para imam, biarawan dan biarawati serta warga berkebangsaan Belanda dan Eropa. Banyak bangunan misi seperti Gereja, sekolah, rumah sakit, pastoran dan asrama yang dirusak dan dibakar atau diambil dan dipakai Jepang untuk mendukung program mereka di tanah jajahan.

Para tawanan dibawa ke Tanjungkarang, di dalamnya ada para misionaris SCJ, Suster HK dan Suster FSGM. Di Tanjungkarang tahanan laki-laki ditahan di Penjara Lebak Budi sedangkan tahanan perempuan di Tangsi Durian Payung. Mereka bergabung dengan tahanan dari Metro dan Gisting. Dari Tanjungkarang mereka kemudian dibawa ke Muntok Bangka. Situasi itu berdampak juga bagi pelayanan umat. Ketiadaan gembala dan situasi ekonomi serta keamanan yang sulit membuat banyak umat akhirnya memilih meninggalkan imannya.

Tantangan dan penderitaan yang lain juga dialami oleh sejumlah komunitas umat transmigran, salah satunya di Karangsari Pasuruan, Kalianda. Pada September 1945, umat yang kehilangan gembala semakin menderita karena kekerasan Barisan Pelopor yang datang memasuki rumah-rumah umat, membakar buku-buku dan memaksa umat untuk meninggalkan imannya.

Komunitas yang telah tumbuh itu tercerai-berai. Umat tak lagi berani terang-terangan mengekspresikan imannya, sebagian meninggalkan imannya atau memilih bertahan dalam iman dan pindah ke tempat yang lebih aman.

Saat Perang Dunia II berakhir, karya pelayanan Gereja dimulai kembali. Harapan untuk segera memulihkan karya pelayanan itu terkendala dengan kenyataan jumlah imam yang sangat terbatas. Selain karena banyak yang meninggal, para imam misionaris juga banyak yang kembali ke kampung halamannya karena alasan kesehatan dan tidak kembali lagi ke Indonesia.

Salah satu jalan keluar yang ditempuh adalah dengan meminta bantuan tenaga imam dari luar Sumatera. Pastor J. Wahyusudibyo, OFM dari Jakarta dan Pastor J. H Padmosepoetra dari Semarang bergantian datang membantu misi Vikariat Apostolik Palembang di Pringsewu, Lampung.

Saat pemulihan sedang berjalan, tantangan kembali datang dengan terjadinya peristiwa pembakaran rumah sakit, sekolah dan gereja pada tahun 1949. Akibatnya, Pastor Padmo bersama para suster dan anak-anak asrama di Pringsewu mengungsi ke Padang Bulan. Setelah kondisi keamanan membaik, para imam pun kembali melanjutkan pelayanan pastoralnya. Kelak, tempat persembunyian ini berkembang menjadi tempat ziarah yang sekarang disebut Gua Maria Padang Bulan di kompleks Rumah Retret La Verna.

Masa Pemulihan

Pada 19 Juni 1952 Vatikan menetapkan daerah misi Lampung menjadi Prefektur Apostolik Tanjungkarang terpisah dari Vikariat Apostolik Palembang. Pada 3 Januari 1961, Hirarki Gereja Katolik Indonesia terbentuk. Hal ini mendasari terjadinya perubahan status, Prefektur Apostolik Tanjungkarang menjadi Keuskupan Tanjungkarang, Mgr. Albertus Hermelink, SCJ menjadi Uskup pertama yang diangkat pada 1 Juli 1961.

Ketika Keuskupan yang baru terbentuk itu mulai tumbuh, terjadi peristiwa September 1965 yang berdampak bagi banyak komunitas Katolik di Lampung. Dari segi ekonomi dan sosial peristiwa itu memberi pengalaman yang berat dan tidak mudah. Program transmigrasi terhenti, transmigran terlantar, tidak memiliki bahan makanan dan tempat tinggal yang jelas.

Kondisi ini membuat banyak transmigran yang tercerai berai dan memutuskan kembali ke Jawa. Banyak umat Katolik meninggalkan imannya. Setelah kondisi keamanan membaik, mereka yang bertahan dan berani mengatasi aneka tantangan itu akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya komunitas dan Gereja baru di Lampung. Komunitas baru yang muncul pada periode tersebut, antara lain Kotabumi, Kalirejo, Panutan, Kota Gajah dan Sidomulyo.

Estafet Kegembalaan

Pada 11 Februari 1976 Takhta Suci mengangkat Pastor Andreas Henrisoesanta, SCJ menjadi Uskup Auxilier bagi Mgr. Hermelink. Selanjutnya, pada 21 Desember 1978, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Mgr. Henrisoesanta menjadi Uskup Diosesan Keuskupan Tanjungkarang.  Pada 13 Mei 1979 Mgr. Hermelink menyerahkan jabatannya kepada Mgr. Henrisoesanta.

Pada 6 Juli 2012 Paus Benediktus XVI menerima pengunduran diri Mgr. Hendrisoesanta dan menunjuk Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ menjadi Administrator Apostolik. Selanjutnya, Paus Fransiskus pada 19 Juli 2013 memilih Mgr. Yohanes Harun Yuwono menjadi Uskup menggantikan Mgr. Henrisoesanta.

Pada 17 Desember 2022 Paus Fransiskus memilih Pastor Vinsensius Setiawan Triatmojo menjadi Uskup yang baru menggantikan Mgr. Yuwono yang sejak 3 Juli 2021 diangkat oleh Paus menjadi Uskup Agung Palembang. Pada hari yang sama, Administrator Apostolik Keuskupan Tanjungkarang, Mgr. Yuwono mengumumkan kabar gembira ini saat misa di Katedral Kristus Raja.

Benih yang Berbuah

Benih-benih iman yang dulu tumbuh di antara para transmigran yang tercerai-berai di banyak tempat, kini telah berkembang dan berbuah. Berdasarkan data statistik tahun 2022 umat Keuskupan Tanjungkarang berjumlah 74.409 jiwa.

Mereka tersebar di 4 Unit Pastoral dan 20 paroki yang berada di Provinsi Lampung. Saat ini umat dilayani oleh para imam diosesan Tanjungkarang dan Semarang, MEP, SCJ, MSF, OFMConventual, OFM dan CP.

Selain itu, pelayanan umat juga diperkaya dengan kehadiran para suster HK, FSGM, ALMA, CB, FCh, OSCCap., dan SND. Saat ini terdapat 48 orang imam diosesan Tanjungkarang dan 20 frater calon imam diosesan yang sedang menjalani pembinaan di TOR St. Markus dan Seminari Tinggi Santo Petrus Pematangsiantar, Sumatera Utara.

Dalam Arah Dasar Keuskupan Tanjungkarang ditegaskan bahwa Gereja tetap berkembang dan tidak pernah berhenti. Kita harus memelihara dan melanjutkannya sebagai Sakramen Keselamatan bagi semua manusia.

“Jika mereka berhasil mengatasi kesulitan dan dengan penuh rasa syukur menghidupi berkat yang mereka terima, dapat memelihara kehidupan dan imannya dengan baik, maka kita yang hidup di zaman sekarang juga pasti bisa berlaku hidup dan menghidupi iman kita dengan baik, pun kalau kita merasa mempunyai banyak tantangan. Kita perlu mewarisi semangat hidup dan kreatifitas mereka,” ungkap Mgr. Yuwono.

Romo Titus Jatra Kelana (Kontributor, Palembang)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini