Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo: Semua karena Doa

611
Avien kecil

HIDUPKATOLIK.COM – Namanya Vinsensius Setiawan Triatmojo. Waktu kecil ia dipanggil Avien. Ketika menjadi romo, panggilan akrabnya, Romo Avien. Saat terpilih menjadi Uskup, ia mengaku senang bila disapa dengan nama Monsinyur atau Uskup Avien.

BERITA yang menyegarkan bertiup khususnya bagi umat di Keuskupan Tanjungkarang, Lampung pada hari Sabtu, 17 Desember 2022 pukul 12.00 waktu Roma (pukul 18.00 WIB). Diumumkan, diangkat sebagai Uskup Keuskupan Tanjungkarang: Romo Vinsensius Setiawan Triatmojo.

Romo Avien adalah imam diosesan Keuskupan Agung Palembang (KAPal). Terlahir dari buah cinta Mikhael Sukidi dan Magdalena Sutarti di Sindang Jati, Curup, Bengkulu, 5 April 1971, anak ketiga dari sembilan bersaudara.  Adiknya yang bungsu, Romo Marselinus Wisnu Wardana, imam diosesan Keuskupan Bogor, Jawa Barat.

Mikhael Sukidi dan Magdalena Sutarti

Kedua orang tua Mgr. Avien telah tiada. Kisah-kasih kehidupan Avien kecil, HIDUP mendapat cerita dari kakak yang pertama, Yustina Muliawati (56 tahun). Ia berkenan dijumpai di rumahnya, di Karawaci.

Sering menangis

Menurut Yustina Muliawati, waktu kecil Avien adalah anak yang baik hati, lurus, agak pemalu, dan suka menangis. Di sekolah ia selalu mendapat ranking. Meski sehari-hari sepertinya tidak pernah belajar. “Sambil tiduran, buku itu hanya di taruh di wajahnya saja,” cerita Yustina. Pandai, tapi terkadang cengengnya kebangetan, tambah Yustina sambil tertawa.

Salah satu pelajaran yang disukai Avin adalah matematika. Avien menangis kalau nilai matematikanya delapan atau sembilan. Ia selalu ingin mendapat nilai 10. Sempurna. Kebetulan, ayahnya sendiri, Sukidi, yang menjadi guru matematikanya.

Pernah suatu saat nilai matematika Avien delapan, tetapi tidak ada coretan kesalahan di bukunya. Lalu Avien bertanya pada ayahnya, mengapa nilainya delapan, padahal tidak ada coretan kesalahan. Ayahnya menjawab, “Cari sampai ketemu, lalu dibetulkan. Nanti ayah nilai.”

Avien penasaran. Ia mencari kesalahannya sampai ketemu. Avien rela mengorbankan waktu istirahatnya. Syukurlah ia menemukan kesalahan jawabannya. Akhirnya ia mendapat nilai sepuluh.

Avien kecil (kedua dari kiri) bersama teman-temannya.

Kecengengan Avien kecil juga muncul saat ia diminta membeli minyak goreng. Waktu itu satu botol minyak goreng harganya Rp.100.  Ibunya sering meminta Avien membeli minyak goreng setengah atau seperempat botol saja.

Sang ibu memberinya uang Rp.50 atau Rp.25, Avin tak pernah mau. Ia malu. Lalu ia menangis di belakang pintu sampai wajan mereka gosong. “Lha, Avien ke mana?” tutur Yustina menirukan kata-kata ibunya yang menanti Avien tak kunjung tiba.

Diberkati sejak Kandungan   

Sejak dalam kandungan ibunya, bayi Avien sudah mendapat berkat dari seorang romo. Namanya, Romo Markus Fortner, SCJ.

Suatu hari Magdalena Sutarti mengantar makan siang ke pastoran dan berjumpa dengan Romo Fortner. Ia ditanya mengapa wajahnya pucat.  Ketika mendapat jawaban bahwa Sutarti sedang mengandung tiga bulan, Romo Fortner langsung memberkati perutnya sambil berkata, “Nanti anakmu menjadi pastor.”

“Setiap bertandang ke rumah, Romo Fortner juga mengatakan hal yang sama kepada ibu. Sampai tiga kali,” ujar Yustina.

Berbekal dari berkat dan doa Romo Fortner itulah, Sukidi rajin berdoa. Khususnya doa rosario. Satu untaian rosario untuk satu anaknya. Sukidi yakin, V. Setiawan Triatmojo itu kelak akan menjadi seorang pastor.

Hukumnya Wajib

Sukidi dan Sutarti membiasakan berdoa dan menanamkan nilai-nilai kebaikan pada anak-anaknya sejak dini. Setiap pagi pukul 05.58 WIB, Sukidi sibuk membangunkan anak-anaknya. Meski mereka masih mengantuk, dengan taat mereka berdoa: Angelus, Doa Pagi, Doa Iman, Doa Cinta, dan Doa Pengharapan. “Itu hukumnya wajib, tidak boleh malas,” jelas Yustina.

Setelah berdoa, semua ke pos masing-masing. Ada yang menimba air, menyapu halaman, dan membantu ibu di dapur. Setelah sarapan pagi, mereka ke sekolah di SD Xaverius, Curup. Ketika makan siang, mereka harus menunggu ayahnya pulang dari sekolah untuk makan bersama.

Pos Kerja

Setiap sore Sukidi mengajak anak-anaknya ke kebun untuk bekerja. Dari hasil kebun itulah keluarga Sukidi mendapat tambahan penghasilan. Sukidi menugaskan Avin kecil untuk membagi tugas penempatan kerja kakak dan adiknya. Avin sendiri mendapat tugas tambahan dari ayahnya membantu mengisi rapor. “Tulisan Avien lebih bagus daripada tulisan ayah,” tutur Yustina.

Setelah makan malam, mereka tidak cuci piring, tetapi doa malam bersama. Biasanya, salah satu anaknya, ada yang membuat ulang, seperti mau buang angin, badannya miring-miring. Melihat itu, ayah mengambil dan mengangkat sandal, siap memukul. “Kami tertawa. Doa jadi tersendat-sendat. Biasanya doa dilanjutkan oleh Avien. Ia tetap khusuk berdoa,” kata Yustina. Selesai doa malam, mereka cuci piring dan belajar. Sementara Sukidi dan Sutarti berdoa rosario dan membaca kitab suci.

Tiga permohonan Sukidi

Tahun 2009 Sukidi menderita sakit rheumatoid artritis (radang sendi). Jari-jemarinya semakin terasa sakit dan kaku. Namun, jari-jemarinya itu tak pernah henti menggulirkan bulir-bulir rosario.

Ada tiga permohonan yang ia sampaikan kepada Yesus lewat Bunda Maria. Ia yakin, permohonan itu akan dikabulkan karena Sukidi merasa disayang Bunda Maria.

Tiga permohonan itu adalah, pertama, menghadiri Misa penahbisan anaknya yang bungsu, Fr. M. Wisnu Wardana. Kedua, dapat merayakan hari ulang tahun perkawinannya ke-50. Ketiga, anaknya Romo Vinsensius Setiawan T menjadi uskup.

Semakin Parah

Saat Romo Avin akan berangkat studi ke Perancis tahun 2009, sakit Sukidi sedang parah-parahnya. HB nya hanya empat. Romo Avien meminta agar sang ayah menunggu hingga studinya selesai dan kembali ke Indonesia.

Romo Avien bersama ayah

Melihat kondisi seperti itu, Fr. Marcelinus mempunyai ide. Ia tahu kalau ayahnya itu orang yang pandai dan penuh kreativitas. Ia meminta ayahnya untuk menulis buku kisah hidupnya. Fr. Wisnu yang akan mengetiknya.

Dari jarak jauh Fr. Wisnu sering menelepon sang ayah supaya semangat menulis. Dengan segala tenaga Sukidi berusaha menulis dengan jari-jemarinya meski terasa sakit dan melelahkan. Satu lembar tulisan membutuhkan waktu beberapa hari untuk menulis.

Dikabulkan 

Waktu terus berjalan. Tahun 2014 Romo Avien selesai studi. Ia kembali ke tanah air. Sukidi dengan setia menanti kedatangan anaknya yang satu ini. Satu demi satu permohonan Sukidi dikabulkan Tuhan lewat perantara Bunda Maria.

Tahun 2015 Sukidi menghadiri tahbisan anak bungsunya, Romo Marcelinus Wisnu Wardana di Sukabumi, Jawa Barat.

Tahun 2016, pasangan Sukidi dan Sutarti merayakan Ulang Tahun Perkawinan ke-50 di Sindang Jati. Semua anak-anaknya berkumpul. Ini kebahagiaan bagi Sukidi dan Sutarti. Apalagi buku yang ia tulis sendiri, sudah dicetak dan dibagikan ke umat yang hadir saat itu. Buku itu berjudul, “Sabda-Nya Sang Guru Hidupku.” Buku dicetak 100 eksemplar.

Apakah permohonan Sukidi yang ketiga akan dikabulkan Tuhan? Anak-anaknya merasa itu tak mungkin terjadi. Namun, Sukidi tak peduli. Ia tetap berdoa dan berdoa. Baginya, segala sesuatu akan terjadi bila Tuhan menghendakinya.

Doa estafet  

Tahun 2020 Sukidi (79) menghadap Sang Pancipta. Satu tahun kemudian, belahan hatinya, Sutarti menyusul. Sutarti meninggal di RS Curup karena sakit asam lambung.

Doa permohonan Sukidi yang ketiga, diteruskan oleh anaknya yang pertama, Yustina Muliawati bersama suaminya, Markus Keo.

Yustina Muliawati

“Doa dari Bapak Paulus Mikhael Sukidi dan Ibu Maria Magdalena Sutarti, kiranya Bunda Maria mau meneruskan kepada Tuhan Yesus agar Avin menjadi Uskup,” jelas Yustina. Kalimat itu selalu mengawali doa rosarionya.

Suatu hari Yustina ditelepon oleh seorang romo untuk berdoa. Meski tidak tahu ujudnya apa. Ternyata, beberapa waktu kemudian ia mendapat kabar bahwa adiknya, Romo Avien terpilih menjadi uskup

Suster Fransiska, FSGM (Kontributor, Lampung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini