Para Uskup dari Negara-negara yang Terbelah oleh Konflik Bersatu di Sekitar Paus

105
Paus Fransiskus berkhotbah dalam Misa di Kongo

HIDUPKATOLIK.COM – Di tengah ketegangan yang sedang berlangsung antara negara-negara yang berbatasan, para Uskup dari DRC dan Rwanda berkumpul selama Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Republik Demokratik Kongo (DRC).

“Bersama-sama, kita percaya bahwa Yesus selalu memberi kita kemungkinan untuk diampuni dan memulai dari awal, tetapi juga kekuatan untuk memaafkan diri sendiri, orang lain, dan sejarah!”

Kristus “ingin mengurapi kita dengan pengampunan-Nya” untuk “memberi kita kedamaian dan keberanian untuk mengampuni pada gilirannya, keberanian untuk memberikan amnesti hati yang besar kepada orang lain.”

Ketika Paus Fransiskus mengucapkan kata-kata ini dalam homilinya pada Misa di Bandara N’dolo di Kinshasa, merayakan Ekaristi bersamanya adalah para uskup dari berbagai negara, dengan milisi yang bertikai dan kelompok pemberontak, yang telah, dan sedang, menjadi ajang kekerasan dan peperangan yang tak terkatakan, didorong tidak hanya oleh kekuatan eksternal, tetapi juga dari kekuatan di dalam.

Bersama saudara-saudara mereka dari Republik Demokratik Kongo, di altar dan kemudian pada jamuan makan bersama, adalah Uskup Rwanda, Burundi dan Kongo Brazzaville.

Sebelum berangkat ke negara masing-masing, beberapa dari mereka berkumpul di sebuah meja di sebuah hotel dan menceritakan pengalaman ini kepada Media Vatikan, menjelaskan bagaimana kehadiran mereka di DRC, dan persekutuan para uskup, dapat membantu proses perdamaian.

“Kita sedang menjalani momen spesial, sebuah kairos. Kita tidak boleh membiarkan politik memecah belah kita, tetapi lihat apa yang bisa kita lakukan bersama,” kata Kardinal Fridolin Ambongo Besungu, Uskup Agung Kinshasa.

“Pesan Paus sangat kuat. Sementara politisi menabur kebencian di antara orang-orang, menggunakan xenophobia, dan menumbuhkan ketidakpercayaan di antara rakyat, para Uskup dan Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang berbeda. Mereka tidak boleh masuk ke dalam logika ini.”

Kardinal Ambongo berterima kasih kepada saudara-saudaranya dari Rwanda “karena telah datang ke Kinshasa. Butuh keberanian untuk melakukannya, keberanian untuk menjalankan misi bersama.”
Sentimennya digaungkan oleh Kardinal Antoine Kambanda Rwanda, Uskup Agung Kigali, yang mengenang keinginan Paus Fransiskus untuk juga pergi ke Goma, di perbatasan dengan Rwanda, sebuah perjalanan yang tidak mungkin dilakukan karena kekerasan dan bentrokan yang sedang berlangsung di wilayah itu.

“Kami para Uskup, enam dari delapan, datang ke sini. Pesan perdamaian yang disampaikan Paus kepada kita menjadi perhatian kita semua. Itu menyentuh kita semua. Itu menyentuh saya secara pribadi.”

Dengan emosi, Kardinal mengenang genosida yang terjadi di negaranya pada tahun 1994, ketika dalam 100 hari, setidaknya 800.000 orang terbunuh karena konflik etnis-politik.

“Itu bukan genosida yang disebabkan oleh orang lain, dari luar. Itu dilakukan oleh orang Rwanda. Oleh orang-orang yang tinggal bersama di bukit yang sama. Setiap bukit memiliki tragedinya sendiri. Dan kita dapat bertanya pada diri kita hari ini: bagaimana Anda hidup bersama setelah melalui genosida?” tanyanya.

Pengampunan adalah anugrah dari Tuhan

Jawaban Kardinal Kambanda menggemakan jawaban yang baru saja diberikan oleh Paus: “Pengampunan adalah cara untuk hidup berdampingan. Untuk hidup berdampingan, seseorang harus memaafkan diri sendiri. Pengampunan adalah kuncinya. Pengampunan adalah rahmat dari Tuhan, dan menyangkut semua orang: individu, pelanggar individu, tetapi juga keluarga.”

Jalan menuju pengampunan, Kardinal Rwanda menambahkan, “adalah welas asih, menyadari bahwa orang lain juga menderita dan penderitaan saya terhubung dengan penderitaannya. Ini adalah pedagogi Salib”. Pengalaman hidup negaranya, “kami membaginya dengan saudara-saudara kami di keuskupan. Pengampunan juga memungkinkan untuk menenangkan ingatan.”

“Rekonsiliasi adalah kunci untuk hidup bersama,” kata Uskup Agung Gitega, Bonaventure Nahimana, Presiden Konferensi Waligereja Burundi.

“Ini adalah kunci untuk menyelesaikan konflik agama, etnis, dan politik. Inilah tepatnya yang menjadi fokus proses sinode Gereja Burundi.”

“Semua keuskupan terlibat. Kita harus hidup dalam pengampunan untuk benar-benar memiliki komunitas persaudaraan yang terbuka, ramah. Terbuka juga dalam menyambut yang lain sebagai saudara, bahkan ketika dia adalah orang asing. Kami memiliki banyak pengungsi Kongo di Burundi. Kami akan menjadi kredibel melalui cara kita menjalani ini,” tutur Uskup Agung Gitega, Bonaventure Nahimana.

Dampak kunjungan Paus

“Kami di sini dengan delegasi besar, bukan hanya para uskup, tetapi juga umat,” jelas Uskup Agung Brazaville, Bienvenu Manamika, Presiden Konferensi Waligereja Kongo Brazaville.

“Kunjungan Paus akan berdampak besar di kawasan ini,” katanya.

“Meskipun negara kami tidak terkena dampak langsung konflik, kami tetap terlibat. Ada pepatah mengatakan ‘jika Republik Demokratik Kongo batuk, kami di Kongo Brazzaville bersin dan terserang flu’,” tuturnya.

“Kita semua membutuhkan perdamaian,” tambahnya, “Konflik yang sedang berlangsung di timur DRC tidak membuat kita tenang. Konflik itu mengingatkan pada trauma perang yang sudah dialami.”

“Kita harus menganggap serius kata-kata Paus Fransiskus, sebuah pesan yang dapat memicu penurunan eskalasi perang.”

Uskup Agung Manamika mencatat bahwa kehadiran Penerus Petrus membawa harapan dan perhatian bagi semua orang.

“Saya berharap kata-katanya juga didengar oleh perusahaan multinasional di belakang industri ekstraktif. Ada orang-orang yang menderita dari situasi ini. Tanpa keadilan, tanpa martabat, tidak ada kedamaian.” Konflik internal, tutupnya, “tergantung kepentingan yang lebih luas. Tapi ketika gajah berkelahi rumputlah yang menderita. Dan rumput itu rakyat. Itu sebabnya kita semua harus bekerja dan berdoa untuk perdamaian.”

Kebutuhan untuk belajar memaafkan dan memupuk kedamaian

“Kita semua harus membangun perdamaian. Dengan pengampunan, dengan penemuan kembali komunitas yang mempersatukan kita dan misi yang kita miliki,” tegas Uskup Agung Kisangani, Marcel Utembi Tapa, presiden Konferensi Waligereja Republik Demokratik Kongo.

“Kita harus meyakinkan diri kita sendiri bahwa pengampunan pribadi dan institusional saling terkait. Sebagai orang yang dibaptis, anak-anak Allah, saudara dan saudari, kita harus belajar untuk saling memaafkan. Paus sangat menyadari semua yang terjadi di sini, dan bagaimana yang terjadi di sini adalah ancaman bagi perdamaian, masalah yang mempengaruhi seluruh wilayah sub-benua. Dia mengundang kita untuk mengembangkan kesadaran akan persaudaraan yang mempersatukan kita dan yang mempengaruhi bukan hanya satu negara tetapi seluruh wilayah. Kita semua dipanggil untuk menjadi misionaris perdamaian. Seruannya yang kuat kepada negara, masyarakat sipil, Gereja, imam.”

Keberanian para uskup ini, bersatu dengan Penerus Petrus, adalah tanda harapan kecil yang besar bagi negeri-negeri yang tersiksa ini, di mana konflik etno-politik melibatkan umat Kristiani di kedua sisi.

Paus Fransiskus berkata dalam homilinya di Bandara N’dolo, “Semoga ini menjadi saat yang tepat bagi Anda semua di negara ini yang menyebut diri Anda orang Kristen tetapi terlibat dalam kekerasan.”

“Tuhan memberi tahu Anda: Letakkan senjata Anda, rangkul belas kasihan.” **

Andrea Tornielli (Vatican News)/Frans de Sales, SCJ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini