HIDUPKATOLIK.COM – Sembilan pemuka agama dan kepercayaan Indonesia berkumpul di Unika Atma Jaya Jakarta dan sepakat mendorong penyelesaian masalah kemanusiaan yang terjadi di Tanah Air dengan mengutamakan pendekatan damai.
Kegiatan yang berlangsung di Gedung Yustinus, Lt. 15, Universitas Katolik (unika) Atma jaya, Jakarta, Rabu (25/01/2023) mengangkat tema, “Menghidupkan Dokumen Abu Dhabi dalam Persaudaraan Sejati untuk Dialog Karya dan Bekerja Sama dalam Gerakan Mengatasi Masalah Kemanusiaan.”
Saat membuka kegiatan, Kardinal Ignatius Suharyo dalam sambutannya menekankan dokumen ini sangat bernilai dan bersejarah, ditengan banyaknya konflik dunia, seperti perlombaan senjata, ketidakadilan sosial, kroupsi, terorisme, diskriminasi, ekstrimisme dan kemerosatan moral.
Dokumen ini memberi pesan bahwa ajaran-ajaran autentik agama mengundang kita untuk tetap berakar pada nilai-nilai perdamaian; untuk mempertahankan nilai-nilai pengertian timbal-balik, persaudaraan manusia dan hidup bersama yang harmonis; untuk membangun kembali kebijaksanaan, keadilan dan kasih; dan untuk membangkitkan kembali kesadaran beragama di kalangan orang-orang muda sehingga generasi mendatang,” ujar Ketua Pembina Yayasan Atma Jaya ini.
Sementara dalam refleksi dan dialog karya yang disampaikan para tokoh agama, ada tiga point penting dalam kaitannya dengan dokumen Abu Dhabi, yaitu: urgensi pendidikan, keotentikan toleransi, dan budaya rekonsiliasi.
Mengupas urgensi pendidikan, perwakilan Nahdlatul Ulama (NU), KH AH Abu Yazid Al-Busthami mengatakan, sebetulnya begitu banyak tragedi kemanusiaan di belahan dunia yang memerlukan bantuan semua pihak. Mengingat Islam sendiri sebetulnya merupakan agama kasih, yaitu Allah memberikan rahmat bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga seluruh umat manusia, tanpa membedakan agama dan bangsa.
Khusus pendidikan, Abu Yazid sepakat bahwa itu merupakan hak setiap warga negara. Maka semua agama perlu menekankan pendidikan perdamaian yaitu upaya-upaya yang ditempuh baik formal maupun non formal untuk membawa, membimbing anak-anak dan generasi muda untuk keluar dari geto-geto spiritual.
“Perlu keluar dari klaim kebenaran sepihak yang terkadang menyesatkan,” ujarnya sambil menekankan pentingnya pendidikan pada kaum muda yang harus dibekali pendidikan yang sehat dan inklusif mulai dari rumah, lingkungan sekitarnya dan juga institusi-institusi formal. Yang ketiga ditujukan kepada pendidikan kaum wanita.
“Damai itu dimulai dari para tokoh agama lalu menjadi contoh bagi umat beragama lainnya. Maka kehadiran sembilan tokoh agama menjadi sangat penting,” ujar Linus Setiadi Pengurus Yayasan Atma Jaya Jakarta.
Sementara perwakilan dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti mengatakan, dokumen ini memberikan kepada kita pelajaran bahwa agama itu berbeda secara ritual tapi memberi banyak kesamaan mengenai persoalan kemanusiaan.
“Satu hal penting adalah one humanity, one responsibility, untuk kemanusiaan konteksnya manusia sebagai mahluk Tuhan yang sangat mulia dan memiliki hak untuk mencapai kebahagiaan. Dokumen Abu Dhabi, bukan hanya etika tetapi etik,” kata Prof Mu’ti.
Sedangkan Ketua Umum dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Budi Tanuwibowo mengatakan bahwa agama yang sejati ialah agama yang mendekatkan kita pada kemanusiaan.
“Contohnya agama Islam itu rahmat bagi semua manusia, kemudian Trikitakarana dari Hindu yang sama juga dengan aliran kepercayaan ialah semua mahluk berbahagia, agama Katolik ialah agama penuh kasih, agama Konghucu dan Buddha adalah semua mahluk hidup itu bersaudara,” jelas Budi.
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr. Antonius Bunjamin Subianto, OSC menegaskan perlunya rekonsiliasi di antara umata beragama. Menurutnya rekonsiliasi dan usaha-usaha damai dibutuhkan saat ini agar masing-masing agama tidak memandang rendah atau melihat umat beragama lain sebagai lawan.
“Kita semua dikuatkan karena budaya saling memaafkan. Maka dokumen Abu Dhabi ini tidak sulit dipraktekkan pada bangsa yang memiliki budaya gotong royong dan saling memaafkan,” ujarnya.
Kegiatan tersebut juga menghasilkan Deklarasi Atma Jaya yang ditandatangani oleh para pemuka agama dan kepercayaan yang diserahkan kepada Kementerian Agama selaku wakil pemerintah dan nantinya diharapkan menjadi fasilitator tindak lanjut dari seminar yang dihadiri sekitar 350 peserta yang merupakan pemimpin umat lintas agama dan kepercayaan, mahasiswa, para tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, maupun LSM.
Nilai-nilai dalam Dokumen Abu Dhabi tersebut sejalan dengan nilai inti Yayasan Atma Jaya yakni Kristiani, Unggul, Profesional dan Peduli (KUPP). Keempat nilai ini menjadi landasan untuk mewujudkan komunitas yang kuat dalam bentuk persaudaraan sejati, untuk mampu bersikap plural, inklusif, adil, demokratis dan berbudaya karena Atma Jaya merupakan perwujudan Bangsa Indonesia yang terdiri dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda.
Di akhir seminar, dilanjutkan para pemimpin umat lintas agama dan kepercayaan serta pimpinan Yayasan Atma Jaya dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya bersepakat dan menyatakan:
1. Mendukung semua pihak dalam upaya menegakkan kemanusiaan dan persaudaraan sejati antara umat lintas agama dan kepercayaan.
2. Mengutamakan pendekatan damai tanpa kekerasan dalam menyelesaikan segala konflik nasional dengan mengutamakan hak asasi setiap warga, kesetaraan, keadilan, dan belas kasih.
3. Melibatkan orang muda dan mahasiswa dalam aksi-aksi nyata membangun relasi persaudaraan lintas agama dan kepercayaan dalam rangka merawat kebinekaan.
4. Mengembangkan kerja sama perguruan tinggi, umat lintas agama dan kepercayaan untuk memperkuat pesaudaraan kebangsaan.
5. Mengecam dan menolak keras terorisme dan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan ajaran agama dan kepercayaan.