HIDUPKATOLIK.COM – Tidak disangka, Jenderal Jorge Rafael Videla (1925-2013), penguasa Argentinia tahun 1976-1981, yang sangat Katolik dan punya devosi tinggi kepada Bunda Maria, justru pada ‘bulan Maria’–Mei 1977–, menolak ‘kehadiran Ibu Yesus’ itu di publik. Awalnya ia hanya kesal dengan demo setiap hari Kamis, yang dilakukan sejak akhir April 1977 oleh para ibu, yang menuntut rezim Videla bertanggung jawab atas hilangnya anak-anak, suami, atau kerabat mereka, karena ‘diculik’ oleh intelijen militer. Kekesalan Videla itu berubah menjadi kemarahan, ketika mengetahui bahwa para ibu itu selalu mendaraskan doa rosario dan mengakhirinya dengan kidung Magnificat. Bahkan tulisan Luk. 1:52: “Tuhan menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya” dari Magnificat, banyak terpampang di spanduk-spanduk dan poster-poster jalanan.
“Cukup”, kata Videla. “Sejak hari ini, Magnificat tidak boleh dinyanyikan atau didaraskan di mana saja, termasuk di biara-biara!”, perintahnya.
Bagi rakyat, sikap Videla ini bertentangan dengan tradisi negeri mereka, yang sejak 1630, sudah sangat menghormati “Nuestra Señora de Luján” (Bunda kami dari Lujan). Setiap 8 Mei, patungnya di Basílica Menor de Nuestra Señora de Luján, Buenos Aires, menjadi tujuan ziarah. Sejak 1930, “Nuestra Señora de Luján” bahkan menjadi pelindung resmi Argentina, Paraguay, dan Uruguay.
“Banned”
Ini bukan pertama kali Kidung Magnificat diberi stempel “Banned”, atau larangan muncul di publik.
Saat semangat kemerdekaan di India, yang dijajah Inggris sejak 1858, mulai berkembang pada 1930-an, umat Katolik dan Kristen negeri itu dilarang untuk menyanyikan Magnificat di gereja-gereja. Kerajaan menilai, bait mengenai ‘karya Tuhan menurunkan orang berkuasa dari tahtanya’ (lih. Luk. 1:52), berbahaya. Mahatma Gandhi (1869-1948), pejuang kemerdekaan India beragama Hindu, yang banyak membaca Kitab Suci, mengecam larangan tersebut. Ia bahkan mengusulkan agar menjelang hari-hari terakhir kekuasaan Inggris (Juli-Agustus 1947), madah Magnificat didaraskan di semua tempat bersamaan dengan penurunan bendera Inggris, “Union Jack”.
Di Amerika Selatan, setelah dilarang di Argentinia, pada tahun 1980-an, Magnificat juga di-‘banned’ di Guatemala. Kata-kata Bunda Maria: “Tuhan telah melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan telah menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa” (Luk.1:53), dinilai berbahaya, subversif, dan revolusioner. Ayat itu telah menginspirasi rakyat miskin Guatemala untuk meyakini bahwa perubahan itu bukan sesuatu yang mustahil, asal kita mau percaya pada karya penyelamatan Allah.
Karakter subversif
Bila diresapi dan direnungkan, kidung Magnificat itu memiliki karakter subversif, ‘menjungkirbalikkan’ apa yang sudah mapan.
Hal itu diungkapkan oleh Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), teolog dan pejuang kemanusiaan anti-Nazi kelahiran Polandia, dalam khotbah pekan Adven 17 Desember 1933: “Kidung Maria ini adalah himne Adven tertua. Ia punya karakter semangat tak terbendung, sekaligus sangat liar; ia bahkan bisa disebut sebagai himne Adven paling revolusioner ….. Ini bukan nyanyian dari seorang Maria yang lembut, halus, dan suka bermimpi indah, seperti terkadang kita lihat dalam lukisan … Liriknya juga tidak penuh dengan kata-kata manis, nostalgik, atau bernada gembira seperti kebanyakan lagu-lagu Natal kita. Sebaliknya, ini adalah lagu yang keras, kuat, dan tak kenal kompromi, mengenai kekuatan Allah, dan ketidakberdayaan manusia”.
Khususnya ayat-ayat Magnificat pada Luk. 1:51-53, merupakan ‘Injil’ bagi mereka yang sedang berjuang, yang dieksploatasi, dan yang dirusak martabatnya serta disingkirkan. Sebaliknya, bagi para pemilik kekuasaan dan penindas, Magnificat menjadi sesuatu yang menakutkan.
Keyakinan Luther dan Calvin
Jangan terkejut, dua tokoh besar Reformasi Kristen Abad XVI, Martin Luther (1483-1546) dan Yohanes Calvin (1509-1564), sangat mengagumi Magnificat.
Terjemahan Magnificat dalam Bahasa Jerman dari Luther, mungkin merupakan yang paling indah. Ia dibuat pada tahun 1520-1521 khusus untuk Duke John Frederick (1503-1554), calon penguasa wilayah Saxony, Jerman, sebagai materi dasar pengajaran etika kepemimpinan. Luther mengawali penafsiran Magnificat dengan Ams. 21:1: “Hati raja seperti batang air di dalam tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini”, dan menutupnya dengan doa Salomo pada 1 Raj. 3:5-14, agar memiliki “hati yang paham menimbang perkara untuk menghakimi umat Tuhan dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat” (lih. ay. 9) (lih. Maria Curtean (2017), hlm. 371-372).
Sedangkan Yohanes Calvin dari Prancis, menunjukkan melalui Magnificat, betapa sentralnya peran dan sosok Bunda Maria. “Sampai hari ini, kita tidak dapat menikmati berkat yang dibawa kepada kita di dalam Kristus, tanpa pada saat yang sama mengakui bahwa Allah telah menganugerahi kemuliaan dan kehormatan kepada Maria, yang dengan rela telah menjadi ibu dari Putra Tunggal-Nya”, tulis Calvin (lih. Konrad Algermissen, “John Calvin”, dalam Marienlexikon, Regensburg, 1988).
Kidung Istimewa
Kidung “Magnificat Anima Mea Dominum”, ‘Jiwaku memuliakan Tuhan’, adalah salah satu madah tertua dalam liturgi Gereja, yang sejak berabad-abad sudah didaraskan dalam doa bersama di biara-biara. Madah itu merupakan rangkaian kata-kata terpanjang dalam PB, yang diucapkan oleh seorang perempuan. Karakternya mengingatkan pada madah dua tokoh perempuan PL, Debora dan Hana (lih. Hak. 5:1-31; 1 Sam. 2:1-10), yang mensyukuri kuasa perlindungan dan penyelamatan Yahwe. Bahkan Hana meramalkan jatuhnya para penindas: “Busur para pahlawan telah patah” (lih. 1 Sam. 2: 4 dst.).
Bagi Maria, Magnificat merupakan jawaban syukur atas pernyataan Elisabet, saudarinya yang sedang mengandung Yohanes: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan, dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhan-ku datang mengunjungi aku?” (Luk. 1:42-43).
Namun, di sisi lain, Magnificat juga menjadi sebuah jeritan seorang beriman, yang menghadapi kegelapan. Sebagai gadis berusia 14-an tahun, Maria telah hamil sebelum menikah. Menurut hukum Yahudi, ia bisa dipermalukan secara publik, dan bahkan terancam dengan hukuman rajam (lih. Ul. 22: 20-21).
Dalam kerangka ini, maka janganlah membayangkan Maria mendaraskan Magnificat itu dengan senyum ketenangan. Gadis Nasaret ini mungkin berteriak kepada Allah-nya dengan air mata dan tangan terkepal, karena harus menghadapi sebuah masa depan yang tidak bisa ditebak. Di sinilah, Magnificat harus dipahami sebagai sebuah nyanyian keberanian untuk tetap mencari sumber kekuatan Ilahi di tengah penderitaan dan konflik hidup sehari-hari. Nada madah ini keras, kuat, penuh keyakinan dan kepastian akan kuasa Allah. Secara bersamaan, Magnificat juga merupakan pengakuan atas ketidakberdayaan manusia. (lih. ilustrasi).
Inti “Magnificat”
Inti madah Magnificat adalah pengakuan terhadap pemihakan Allah kepada mereka yang rendah dan tersingkir (lih. Luk. 1:51-53).
Pada zaman Yesus, mayoritas penduduk Palestina itu miskin. Layaklah, bila zaman itu, harapan akan kedatangan Messias menjadi penantian setiap orang. Namun, hanya Bunda Maria, melalui Magnificat-nya, yang meyakini, bayi yang dikandungnya adalah Sang Mesias itu.
Gadis Nazaret itu adalah pewarta pertama Kabar Gembira inkarnasi Putra Allah dalam kehidupan manusia di dunia. Yesus Kristus akan mengampuni dosa dan mendamaikan orang dengan Tuhan. Dia akan mencerai-beraikan orang yang sombong, dan mereka, yang merasa paling benar sendiri, dengan menunjukkan jati diri mereka yang sesungguhnya. Dia akan mengguncangkan para penguasa kejam seperti Herodes dan Kaisar, melalui kekuatan cinta. Dia akan mewartakan keadilan, belas kasih, dan perdamaian. Dia akan duduk bersama mereka yang miskin, yang lapar, yang berdosa, dan yang terbuang, serta memenuhi mereka dengan harapan. Dia akan mencela orang kaya yang menindas orang miskin. Dia akan minta para pengikut-Nya untuk menyangkal diri, memikul salib mereka, serta mengikuti tapak-tapak perjalanan hidup-Nya, dari sengsara, wafat, hingga kebangkitan-Nya.
Singkat kata, Magnificat adalah madah keyakinan atas kuasa karya Allah dalam kehidupan manusia. Melalui madah ini, Gereja mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah “pola Gereja, yakni dalam hal iman, cinta kasih, dan persatuan sempurna dengan Kristus” (Lumen Gentium, 63). Maka, marilah kita kembali memadahkan kembali Luk. 1:46-55.
Henricus Witdarmono, M.A. Rel. Stud. Khatolieke Universitteit te Leuven, Belgia
HIDUP, Edisi No 50, Tahun ke-76, Minggu, 11 Desember 2022