HIDUPKATOLIK.COM – MANUVER Perahu merupakan salah satu atraksi yang paling ditunggu di dalam Festival Asmat Pokman. Tak ayal, ratusan orang berbondong-bondong ingin menyaksikan rangkaian parade tersebut tahun ini. Meskipun terik matahari begitu menyengat, masyarakat dan turis dengan antusias berkumpul di lapangan Yos Sudarso menyaksikan para pendayung menghias ci (perahu) dengan daun-daun kelapa berwarna hijau segar lalu menabuh tifa dan bernyanyi. Ini adalah Ci Pokombi/Cimbi sebutan untuk Pesta Perahu Baru. Pesta adat ini masih dilestarikan hingga sekarang. Persaudaraan antarklan ditonjolkan.
Kemudian, otot-otot liat para pendayung itu dengan enteng mengangkat ci baru mereka dengan panjang berkisar 6-10 meter. Ada pendayung tengah duduk di dalamnya. Tak ada raut letih hanya rasa gembira yang terpancar. Pendayung itu juga berhias meriah tanda bangga dengan ci yang dimiliki. Mereka mengarak ci itu hingga ke bibir kali bersiap menuju Sungai Asuwets Agats. Sebelum diturunkan, seorang pendayung meniup Fu – alat musik tradisional Asmat berbentuk tabung yang terbuat dari kayu sebagai penanda perahu akan siap diluncurkan ke dalam air.
Kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Emerickus Sarkol membeberkan, pertujukan manuver perahu ini digelar sebagai bentuk pemeliharaan tradisi orang Asmat yang hidupnya berdampingan dengan sungai. Tahun ini ada 30 ci yang diluncurkan dengan satu ci membawa enam hingga tujuh pendayung.
Ketangkasan mereka dalam mendayung sambil berdiri dengan gerakan cepat begitu memukau. Sesaat mereka berkumpul, berteriak, dan menabuh perahu berbentuk lesung itu dengan sampan bak tombak hingga suatu rasa ‘magis’ bangkit dalam diri penonton yang menyaksikan dari Pelabuhan Fery. Terpukau dibuatnya. Inilah ‘Manusia Perahu Asmat’ yang dekat dengan ci nya.
Jenis Ci
Guna memahami peran ci di dalam hidup masyarakat Asmat, HIDUP berbincang dengan penulis buku “Ci, Gender and Social Change Among The Asmat of Papua, Indonesia” yang dipublikasikan oleh Sidestone Press, Pastor Onesius Otenieli Daeli, OSC di Biara Salib Suci Agats. Imam yang akrab disapa Pastor Ote ini pernah bertugas di Keuskupan Agats-Asmat dari 2002 hingga 2008 di Paroki St. Paulus Atsj dan St. Anna Yaosakor. Kemudian ia kembali di tahun 2012 (Januari-Mei) untuk melakukan penelitian khusus tentang ci.
Pastor Ote menyatakan, ci membuatnya tertarik karena ini merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Asmat.
“Tanah Asmat secara geografis berada di tengah lautan, sungai, dan rawa. Maka perahu menjadi sarana transportasi paling utama. Perahu itu sangat penting untuk mencari nafkah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada tiga hal penting dalam diri orang Asmat, yakni: jew (rumah adat), ci (perahu), dan dunia roh. Jadi, budaya Asmat berpijar di sekitar itu. Jew sendiri dibuat dari kayu, papan, dan daun sagu. Semua perlengkapan ini diambil di hutan dan ini tidak bisa diambil di hutan tanpa perahu. Untuk itu, mereka memiliki pesta perahu.
“Sebetulnya, jika ada pesta-pesta utama sejatinya harus ada perahu. Jadi pesta perahu dulu baru pesta lain karena fungsi perahu yang bisa digunakan untuk berbagai macam hal,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ada tiga jenis ci. Pertama, perahu biasa (Pakanam ci/Pokomber ci/Pomer ti). Perahu ini digunakan keluarga untuk keperluan sehari-hari. Bentuknya sederhana, lebih kecil, dan tidak dihias atau diukir.
Kedua, perahu pesta atau ritual (Jicap ci/Jia ci/ Jo ti). Digunakan untuk kepentingan dan keperluan khusus, seperti perang, pengayauan, serta pesta-pesta adat. Ukurannya lebih besar dan gagah bila dibandingkan pakanam ci. Dihias dan diukir dengan motif tertentu.
Ketiga, perahu roh (Wuramon). Desain perahu ini berlubang di bagian bawah sebagai simbol dunia yang tak dikenal, masa depan yang tak terduga, dan kekosongan. Perahu ini menjadi bagian dari ritual inisiasi emak cem. Di atasnya diukir beberapa figur yang menyimbolkan roh-roh baik dan roh jahat. Wuramon ini dapat dilihat di Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat.
Makna Ci
Imam yang memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Antropologi dari University of Philippines pada tahun 2013 ini menemukan banyak temuan menarik mengenai ci. Ada dua istilah yang ia populerkan dalam penelitian ini di mana di dalam masyarakat sendiri sudah biasa.
Pertama, ‘Ci opak, jis opak’ yang berarti tidak ada ci, tidak ada kayu bakar. Artinya, sebuah keluarga tidak bisa makan tanpa ci karena hal yang paling sederhana sekalipun untuk memasak seperti mengambil kayu bakar tidak bisa terpenuhi.
“Jika tidak bisa masak, tidak bisa makan, dan ini sama dengan mati,” terangnya. “Asmat sebagai manusia sejati pertama-tama kalau punya perahu,” tegasnya lagi. Ini menandakan ci menjamin kehidupan.
Kedua, ‘Ci opak, cemen opak’ yang artinya tidak ada perahu, tidak ada penis. Makna lebih jauh dari ungkapan ini adalah ketika seseorang tidak memiliki ci sama artinya dengan seorang laki-laki yang impoten. Penis sangat esensial dan berharga bagi seorang laki-laki. Laki-laki tanpa penis tidak bisa menghasilkan keturunan. Dengan demikian, ci dapat membawa kesuburan dan kegembiraan dalam keluarga serta masyarakat.
Ci juga dapat menembus luas dan dalamnya laut dan sungai. Ci bisa menakuti dan mengusir musuh. “Tanpa ci berarti tidak punya kekuatan, tidak punya power. Tidak bisa apa-apa. Tidak ada kehidupan,” sebutnya. Laki-laki Asmat sendiri tidak akan rela disebut “cemen opak” (tidak ada penis) sebab hal ini menjadi hinaan paling keji terhadap mereka.
Kalau tidak memiliki ci seorang laki-laki dianggap sebagai cowut (perempuan) yang hanya bisa menerima, namun tidak bisa memanasi, tidak bisa menembusi. Menurut orang Asmat, jelasnya, kalau tidak ada penis, suasana menjadi dingin dan tidak menarik. Ini sama halnya, bila tidak punya ci suasana keluarga jadi jif (dingin) karena tungku tidak menyala. Namun jika ada ci suasana menjadi amop (panas), seperti laki-laki yang agresif penuh nafsu memanasi perempuan.
Peran Gender
Temuan lainnya ialah ci dapat menjadi kunci untuk memahami peran gender dalam masyarakat Asmat. Berdasarkan definisi Barfield, Pastor Ote menuturkan, gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, dapat berubah dari waktu ke waktu, dan yang memiliki variasi yang luas di dalam dan di antara budaya. Gender bukanlah bawaan biologis.
Dalam masyarakat Asmat, pembuat ci adalah laki-laki berbakat dan tidak pernah dikerjakan oleh perempuan. Selagi laki-laki membuat ci, peran perempuan ialah menyediakan makanan, menganyam tapin (tikar) baru, membuat noken, dan lap perahu dari daun sagu muda.
Saat satu keluarga Asmat berpergian dengan ci seketika dapat diidentifikasi perbedaan gender itu. Dalam hal posisi, Laki-laki akan berada di bagian paling depan (ci cimen) dengan posisi berdiri tegak sedangkan perempuan akan duduk di bagian belakang (ci ep). Anak-anak dan hewan peliharaan berada di tengah. Cara mendayung pun berbeda antara laki-laki dan perempuan.
“Jadi dari jarak jauh saja kita bisa melihat siapa yang mendayung. Ini sebenarnya sudah menunjukkan peran itu,” jelasnya.
Ini tidak berarti, terangnya, laki-laki lebih penting atau perempuan lebih penting. Mengapa? Dahulu saat keadaan terancam dengan perang, masyarakat Asmat harus selalu siap sedia, jadi laki-laki akan mengarahkan di depan tetapi yang memegang kendali untuk mengarahkan kemudi akan kemana adalah perempuan.
“Dalam hidup berumah tangga pun begitu, laki-laki memutuskan tetapi tidak terlepas dari perempuan. Itu bagus sekali,” ujarnya.
Selamatkan Ci
Seiring dengan percepatan pembangunan dan pemenuhan kebutuhan hidup diwaranai dengan proses modernisasi, terjadi pergeseran kebiasaan hidup di dalam masyarakat Asmat di bidang transportasi. Kini, masyarakat lebih tertarik dengan perahu bermesin seperti longboat. Konsekuensinya, dibutuhkan dana pembelian bahan bakar yang mahal.
Pergeseran ini menjadi kemasygulan Pastor Ote. “Ketika masyarakat meninggalkan ci, maka mereka akan semakin tergantung pada belas kasihan orang,” ujarnya prihatin.
Emerickus Sarkol dalam kegiatan manuver perahu pun menekankan, “Boleh saja kebiasaan bergeser tetapi filosofi mendayung ci harus terus melekat dalam jati diri orang Asmat.”
Mengapa demikian? Imam yang pernah memaparkan penelitian di Universitas St. Thomas, Minnesota, Amerika Serikat ini menegaskan bahwa jika masyarakat Asmat terpisah dari ci nya, mereka akan bergantung pada orang lain, tidak mampu membawa makanan, lemah disegala bidang kehidupan, dusun tidak terpelihara, secara supranatural relasi dengan leluhur putus atau tidak menjadi penting, dan kriminalitas meningkat.
“Ci sangat penting dalam kehidupan masyarakat Asmat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, ritual, maupun spiritual,” tandasnya keras.
Peran ci sungguh dapat membawa masyarakat Asmat menjadi masyarakat mandiri yang terhindar dari kelaparan dan konflik.
Felicia Permata Hanggu (dari Agats-Asmat)
HIDUP, Edisi No. 46, Tahun ke-76, Minggu, 6 November 2022