HIDUPKATOLIK.COM – TANGGAL 27 Oktober 2022 kemarin, Sekretariat Sinode Uskup mengeluarkan dokumen kerja untuk proses sinodalitas tingkat benua. Dokumen tersebut merupakan rangkuman dari proses sinodalitas di tingkat Konferensi Uskup, atau tingkat nasional.
Ada 112 laporan yang masuk dari 114 Konferensi Uskup seluruh dunia, 15 dari gereja-Gereja timur, 17 dari dikasteri Vatikan, dan beberapa dari tarekat-tarekat religius. Tema dan cakupan pembahasannya beragam, dan menarik untuk disimak. Tidak mengherankanlah kalau dokumen tersebut mengambil pendasaran dari Kitab Nabi Yesaya, “Bentangkanlah tenda tempat kediamanmu” (Yes. 54:2). Ajakannya adalah agar Gereja membentangkan dan melebarkan tenda, agar menjadi tempat berdiam bagi semakin banyak orang, di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Buah Roh
Berulangkali Paus Fransiskus dan Kardinal Mario Grech, Sekretaris Sinode Uskup, mengingatkan bahwa Sinode ini bukanlah survei, jajak pendapat maupun analisa sosiologis atas kondisi Gereja. Sinodalitas adalah cara hidup menggereja milenium ketiga, sesuatu yang lama sekaligus baru, demikian ungkap Paus.
Sebagai cara hidup, sinodalitas membuat proses perjumpaan, keterlibatan, saling mendengarkan dan penegasan rohani. Proses ini dikatakan sebagai proses yang membiarkan Roh Kudus menuntun agar cara bertindak Gereja menjadi semakin sinodal. Hanya Roh Kudus yang berhak mengarahkan perjalanan sinode, demikian dikatakan Kardinal Jean-Claude Hollerich, postulator sinodalitas ini.
Salah satu tanda penyertaan Roh Kudus adalah luasnya keterlibatan dalam proses sinodalitas ini, terlebih dari berbagai kalangan yang biasanya kurang didengarkan dan diberi ruang dalam kehidupan Gereja: kaum muda, perempuan, orang miskin dan difabel, mereka yang berada di pinggiran dalam kehidupan masyarakat, maupun mereka yang dipandang bermasalah seperti kelompok LGBT.
Yang mendasar dari proses ini adalah mendengarkan. Tidak mengherankanlah kalau berulangkali diingatkan bahwa sinodalitas bukanlah survey atau jajak pendapat, akan tetapi bagaimana umat Allah berkumpul dan saling mendengarkan, menegaskan kehendak Roh. Sekretariat Sinode menyebutkan, karenanya, yang paling mendasar dari proses ini adalah spiritualitas. Karenanya bukan suatu analisa sosiologis yang diharapkan menjadi ciri perjalanan sinodalitas, namun mencermati tanda-tanda zaman dalam suatu percakapan serta penegasan rohani.
Sinodalitas pada dasarnya bukanlah sekadar suatu proses pembuatan keputusan, ataupun pembuatan keputusan bersama, yang memuat langkah mengkaji berbagai alternatif, pembagian tanggungjawab serta penyusunan berbagai program. Sinodalitas mengungkapkan karakteristik dasar dari identitas serta kehidupan Gereja, yang mencerminkan dimensi komunal dan pendasaran misi evangelisasinya, di dalam terang bimbingan Roh Kudus.
Dikatakan dalam dokumen kerja tersebut bahwa laporan-laporan yang dikirimkan dari berbagai belahan dunia menyuarakan kegembiran dan harapan, penderitaan serta luka murid-murid Kristus. Di dalamnya tergemakanlah apa yang terkandung dalam kedalaman hati umat manusia. Mereka mengungkapkan suatu harapan bagi Gereja, yang berjalan bersama Kristus di bawah bimbingan Roh Kudus dalam menjalankan tugas perutusannnya untuk mewartakan Injil.
Tidak mengherankanlah kalau Kitab Suci memegang peran penting dalam proses serta langkah sinodalitas ini. Sekretariat Sinode sendiri membantu dengan menyajikan kekayaan teks-teks Kitab Suci bagi proses pembicaraan dan penegasan rohani di dalamnya. Malahan Paus Fransiskus menyebutkan Kisah Para Rasul, yang dikatakannya sebagai bahan dasar dalam mendalami ciri sinodalitas Gereja. Maka mendengarkan Kitab Suci menjadi landasan dalam menegaskan terang bimbingan Roh Kudus dalam perjalanan sinodalitas ini.
Laporan menunjukkan bahwa proses perjalanan sinode menghasilkan buah-buah yang segar dan benih-benih baru yang membawa harapan bagi pertumbuhan yang memberikan sukacita dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Sukacita itulah yang hendak dibagikan, sehingga memberi kekuatan dalam menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Menarik kalau memperhatikan bahwa kaum awam semakin merasa menjadi bagian dari Gereja, berkat proses sinodalitas ini. Gereja yang berjalan bersama adalah Gereja yang melibatkan semuanya, dan jangan sampai ada yang terabaikan dalam perjalanan ziarah hidup Gereja ini.
Bukan Roh Ketakutan
Tidak bisa disangkal bahwa sementara kalangan cemas dan bahkan takut dengan berjalannya prose sinodalitas ini. Suara semacam itu juga muncul dari beberapa kardinal dan uskup. Mereka khawatir bahwa proses ini akan mengubah ajaran dan bahkan tubuh Gereja.
Paus dan Kardinal Grech, sekretaris sinode uskup, memang menantang semua untuk tidak takut menghadapi berbagai topik-topik hangat dalam Gereja, misal soal peran perempuan, ataupun persoalan LGBT. Tema-tema seputar itu memang diangkat dalam dokumen kerja ini. Namun dokumen kerja tersebut mengingatkan bahwa dokumen ini bukanlah suatu dokumen akhir, suatu rangkuman konklusi atas perjalanan sinodalitas.
Proses sinodalitas masih berlangsung, bahkan oleh Paus Fransiskus prosesnya diperpanjang sampai 2024. Dimaksudkan dengannya agar proses konsultasi meluas dan penegasan rohani bersama semakin bisa dijalankan dan diperluas cakupan maupun pendalamannya. Apa yang diterima dari berbagai belahan dunia, dibiarkan begitu saja, namun kemudian dikembalikan kepada umat Allah untuk ditanggapi dan direfleksikan sehingga nanti bisa menjadi bahan yang semakin matang bagi penegasan rohani para bapa sinode di bulan November 2024 nanti.
Bukan Roh ketakutan yang diharapkan menyertai perjalanan hidup Gereja. Roh ketakutan hanya akan membawa kemandegan, kekeringan dan luka, sehingga bukan sukacita Injil yang dibuahkannya. Roh Kudus mengajak kita untuk berani menghadapi berbagai persoalan maupun permasalahan, dan dalam terang bimbingan-Nya lalu mencermati semuanya untuk menegaskan kehendak Allah di tengah berbagai persoalan tersebut.
Langkah memperlebar kemah mengisyarkan kesediaan untuk menerima dan menyambut siapa saja, menggambarkan Allah yang menerima siapa saja dan menuntun mereka ke dalam persekutuan dengan-Nya. Hal itu membuka ruang bagi keberagaman. Tentu ini sangat tidak mudah, sebab mendengarkan itu sendiri sulit, apalagi mendengarkan dengan hati, sebab orang lebih suka mengadili bukannya mendengarkan, apalagi menerima.
Gereja yang hendak dibangun adalah Gereja yang terbuka, sebab Gereja bukanlah untuk orang-orang yang sempurna, namun mereka, betapapun rapuh, mencari Tuhan dan membiarkan diri dicari oleh-Nya. Itulah Gereja yang bagaikan mencari domba-domba yang hilang, merangkul yang pulang (Lih. Luk. 15:1-7.11-32).
Gereja itu adalah Gereja misioner, senantiasa melebarkan kemahnya. Gereja yang melebarkan kemahnya adalah pula Gereja yang menempuh perjalanan bersama semua yang lain, dalam dialog bagi kehidupan bersama, terutama dialog agama maupun dialog budaya. Semua ini merupakan wujud dari panggilan sinodalitas akan persekutuan dan keterlibatan, mewujudkan tanggungjawab bersama akan dunia kehidupan.
Gereja diajak untuk tidak takut menghadapi berbagai persoalan, berbagai tantangan dan berbagai gugatan akan dirinya. Semuanya dibawa dalam suatu proses penegasan rohani tiada henti akan kehendak Allah. Penegasan rohani mengajak untuk terus berjalan bersama, menempuh ziarah kehidupan menuju kepada Allah.
Tentu ini semua langkah panjang, maka diakui pula dalam dokumen kerja ini bahwa Gereja masih perlu terus-menerus belajar akan sinodalitas sebagai cara hidup serta cara bertindak Gereja. Langkah ini memerlukan pertobatan serta pembaharuan diri terus-menerus pula: belajar berjalan bersama agar tenda keselamatan Allah makin melebarkan dan menaungi semua orang.
‘Gereja yang hendak dibangun adalah Gereja yang terbuka, sebab Gereja bukanlah untuk orang-orang yang sempurna, namun mereka, betapapun rapuh, mencari Tuhan dan membiarkan diri dicari oleh-Nya.’
Romo T. Krispurwana Cahyadi, Teolog/tinggal di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah
HIDUP, Edisi No. 46, Tahun ke-76, Minggu, 13 November 2022