Pesan di Balik Kunjungan Paus ke Kazakhstan

100
Paus Fransiskus berbicara di hadapan para pemuka agama dan pemimpin dunia.

HIDUPKATOLIK.COM – Kazakhstan, betapapun umat Katolik hanyalah minoritas sangat kecil, namun punya arti bagi Gereja dan sumbangannya bagi dialog serta perdamaian dunia. Sepuluh hari setelah peristiwa 11 September 2001, peledakan gedung WTC New York, Paus Yohanes Paulus II di Kazakhstan berseru untuk menghentikan perang serta kekerasan, dan menyebarluaskan spiritualitas dialog antar agama serta kepercayaan. Pesan serupa disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Kazahstan pada tanggal 11-15 September 2022. Tentu pesan dan   kunjungan tersebut mempunyai arti di tengah kenyataan perang, seperti situasi konflik berkepanjangan antara Ukraina-Russia yang berdampak bagi seluruh dunia.

Kazahstan  merupakan negara mayoritas Muslim (sekitar 75%), kelompok lain yang cukup besar adalah umat Kristiani Ortodoks Rusia. Sedangkan umat Katolik hanya sekitar 1%. Namun Paus berkunjung ke sana untuk menghadiri pertemuan para pemuka agama untuk berdialog tentang perdamaian. Dialog tersebut, menurut Kardinal Pierro Parolin, Sekretaris Negara Vatikan, mengacu pada pertemuan dialog dan doa bersama para pemuka agama di Assisi. Memang prakarsa Gereja Katolik akan dialog bergema, sebagaimana juga 36 butir yang dihasilkan dari deklarasi yang dihasilkan di Kazakhstan pun banyak mengacu pada Deklarasi Abu Dhabi, yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam besar Al-Azhar Ahmad Al-Tayyeb (4 Februari 2019).

Agama bagi Perdamaian

Gereja Katolik senantiasa menyakini bahwa perang serta kekerasan merupakan sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari. Sayangnya jalan ini yang tidak ditempuh. Kazakhstan digambarkan sebagai negeri lautan darah dan air mata, mengingat sejarah kelam kekerasan di masa lalu di masa Uni Sovyet. Yohanes Paulus II sendiri saat berkunjung ke sana menyebut Kazakhstan sebagai tanah para martir. Setelah merdeka di tahun 1991 mereka ingin menumbuhkan semangat persaudaraan dan kesatuan di tengah keberagaman agama dan etnis di wilayah tersebut. Di situlah Gereja Katolik menunjukkan sumbangan dan perannya yang besar: hadir sebagai pewarta kedamaian dan kebersamaan. Kazakhstan berada di simpang jalan geopolitik dunia, demikian diakui oleh Paus, mengingat Rusia di sebelah utara dan China di sebelah selatan negara tersebut. Malahan Yohanes Paulus II menyebut Kazakhstan sebagai jembatan antara Eropa dan Asia, persimpangan barat dan timur. Negeri tempat titik perjumpaan, demikian digambarkan Paus Fransiskus.

Dalam kunjungan tersebut Paus menyatakan kecamannya akan perang, terutama mengacu pada situasi di Ukraina, yang dikatakannya tragis dan tak beralasan. Saya dating sebagai peziarah perdamaian, yang mengupayakan dialog dan kesatuan. Dunia kita sangat membutuhkan perdamaian, perlu memulihkan harmoni kehidupan bersama, demikian dikatakannya.  Karena itu agama-agama perlu terlibat aktif dalam upaya tersebut, terutama dengan mengikis kecenderungan ekstrimis dan sikap pembenaran diri, yang cenderung akan menyingkirkan dan melecehkan yang lain. “Kita membutuhkan agama, untuk menanggapi rasa haus akan perdamaian dunia dan rasa haus akan keabadian, yang menjadi dambaan hati umat manusia saat ini”.   Agama-agama perlu membangun budaya perjumpaan.

Yang perlu diperhatikan juga untuk itu adalah bagaimana kondisi sosial-politik memberi penghargaan sungguh akan martabat hak asasi manusia setiap pribadi, setiap   etnis, setiap kelompok sosial dan kepercayaan.  Demokrasi diharapkan bukan sekedar kata-kata manis, namun sungguh mewujud nyata dalam pelayanan kepada rakyat, suatu praksis politik yang baik yang lahir dari mendengarkan rakyat, meningkatkan keterlibatan menyeluruh serta menanggapi kebutuhan-kebutuhan nyata mereka, terlebih yang rapuh dan biasanya diabaikan. Demokrasi dan pembangunan jangan sampai hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat saja, tidak menyumbang bagi kesejahteraan masyarakat luas. Jangan sampai seorang pun tertinggal dan diabaikan. Para pemuka agama diajaknya untuk  mengingatkan   akan hal ini.

Umat beragama adalah para peziarah menuju Surga, dalam perjalanan bersama-sama menggapai yang Ilahi. Itulah nilai otentik religiositas agama-agama, dan jangan sampai hal tersebut dinodai oleh ekstrimisme dan fundamentalisme. Semua itu merusak bangunan iman, karena di dalamnya tidak ada keterbukaan dan kepedulian hati. Agama bukanlah bagian dari persoalan, namun bagian dari solusi bagi terbangunnya masyarakat yang makin harmonis. Karena itu umat berbagai macam agama perlu senantiasa mengarahkan tatapannya akan yang transendens dan nilai suci persaudaraan, apalagi di tengah situasi politik, sosial, ekonomi dan ekologi, serta krisis spiritual yang dihadapi institusi-institusi modern, termasuk institusi demokratis dewasa ini.  Namun diingatkan Paus syarat dasar akan hal itu adalah adanya kebebasan beragama bagi semua saja.

Agama tidak bisa abai dan bersikap tidak peduli akan situasi krisis dewasa ini. Tanda situasi krisis ini adalah krisis ekologi dan persaudaraan, di mana ketidakpedulian akan mereka yang lemah dan miskin berkembang. Kita perlu membangun budaya kepedulian, kesediaan mengenali pergulatan hidup pribadi sesama. Paus  tentang ini menyebut tentang budaya membuang, kultur menyingkirkan. Inilah tantangan mendasar bagi perdamaian dunia. Untuk itu dia menyeruakan tidak lagi menghamburkan uang untuk senjata, tapi pedulikan pendidikan serta sikap penerimaan persaudaraan satu sama lain. Homo sacra res homini, setiap pribadi manusia itu sakral, ciptaan Allah. Agama-agama perlu mengingat hal itu.

Katolik sebagai Minoritas

Kepada umat Katolik Paus mengingatkan bahwa jalan yang ditempuh Gereja adalah jalan salib, maka hati-hati akan jebakan kesuksesan dan kebesaran. Demikian diingatkannya. Untuk itu perlu senantiasa ditanamkan ingatan. Pertama-tama ingatan penuh syukur akan situasi keberagaman masyarakat, yang menumbuhkan keberagaman kharisma dan pelayanan. Tentu selain itu perlu ditanamkan pula kenangan akan karya keselamatan Allah dalam diri Kristus. Iman diwariskan terutama lewat kesaksian hidup, kesaksian di tengah kondisi konkret kemajemukan serta kondisi nyata budaya setempat. Kenangan tersebut menjadi bekal langkah menuju ke masa depan, dalam janji akan keselamatan.

Di dalam semua itu kita perlu menyadari kerapuhan  serta keterbatasan diri kita, pun keterbatasan Gereja. Berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah, demikian dikutipkannya dari Sabda Bahagia (Lih Mat. 5:3). Gereja perlu dengan rendah hati meletakkan segalanya di tangan Allah, bukan bersandar pada dirinya sendiri. Jangan kita merasa berkecukupan, namun memeluk kesederhanaan serta kerendahan hati, selalu mau terbuka, berdialog dan mengulurkan tangan kepada yang lain.  Dengan demikian Paus hendak mengingatkan agar Gereja tidak menutup diri, bersandar dan bangga dengan dirinya sendiri saja, pun terlalu percaya pada sikap atau cara-cara lama yang malahan tidak mewartakan Injil. Gereja adalah benih yang kecil, disebarkan, tertanam dan berbuah berkat rahmat-Nya bukan berkat usaha manusia.

Paus mengingatkan pula agar Gereja membangun persaudaraan meluas, terlebih dengan mereka yang miskin dan menderita, yang menjadi kurban ketidakadilan dan kerusakan lingkungan. Gereja hendaknya menjadi “sekolah ketulusan”, bukan tempat bagi penanaman sikap kaku dan formalitas, melainkan tempat umat beriman belajar tentang kemurahan hati, keterbukaan dan kesediaan berbagi serta peduli.  Umat Katolik diharapkan menjadi insan bagi persaudaraan serta perdamaian.

Paus dengan demikian hendak mengajak Gereja berani menjadi garam di tengah masyarakat, kecil namun berbuah bagi persaudaraan, kemanusiaan, keadilan, perdamaian serta kelestarian lingkungan. Itulah Gereja umat Allah yang berjalan bersama di tengah realitas nyata menuju pada kemuliaan Allah.

Krispurwana Cahyadi, SJ, teolog, tinggal di Girisonta

HIDUP, Edisi No.40, Tahun ke-76, Minggu, 2 Oktober 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini