HIDUPKATOLIK.COM – “SAYA mau ditanya-tanya apa, Mas,” ujar Kardinal Suharyo sambil bergurau ketika awak Redaksi HIDUP dan Kanal Youtube HIDUPtv bersama lima orang Kontributor Senior menemuinya di Wisma Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Jumat, 12/8/2022. Juga hadir Romo Harry Sulistyo (Pemimpin Umum) dan Freddy Yuwono (Pemimpin Perusahaan). Kami ingin berbincang-bincang secara khusus dengan Kardinal menyambut ulang tahun ke-25 tahbisan episkopalnya. Ia ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang pada 22 Agustus 1997 di Lapangan Jatidiri, Semarang. Penahbis utama Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ, Uskup Agung Jakarta yang tadinya adalah Uskup Agung Semarang namun dipindahkan ke KAJ. Tak lama kemudian Mgr. Suharyo ditunjuk, awalnya sebagai Uskup Koajutor KAJ sebelum menggantikan Kardinal Julius. Berikut ini petikan wawancara. (Wawancara lengkap dapat dinikmati di Kanal Youtube HIDUPtv).
Bertepatan dengan peringatan 25 tahbisan epsikopal Bapa Kardinal, apa makna 25 tahun ini?
Dua puluh lima tahun itu lama. Bagi saya pribadi, entah satu tahun, entah lima tahun, 20 tahun, sama dalam arti ini. Kalau hal itu berkaitan dengan tahbisan uskup, itu pasti rahmat yang khusus, yang boleh saya terima. Rahmat, jangan diganti dengan jabatan. Dalam arti tertentu, saya boleh kembali pada cita-cita saya yang paling awal. Saya dulu memilih menjadi imam projo/diosesan, karena saya mempunyai cita-cita untuk melayani umat secara langsung sebagai pastor paroki. Sesederhana itu. Karena ketika saya ditahbiskan menjadi imam berarti melayani umat di paroki. Tapi nyatanya kehidupan saya dibalikkan atau dibelokkan oleh Tuhan. Ketika saya ditahbiskan menjadi uskup, teringat kembali cita-cita awal saya. Selama 16 tahun, saya menjadi guru bagi para calon imam, dan dikembalikan pada cita-cita saya dalam arti itu, melayani umat secara langsung. Uskup itu kan artinya penilik. Itulah tugas dan tanggung jawab yang utama. Tentu tidak sekadar berkunjung, tapi juga berdoa bagi umat dan sekitar itu. Untuk itu tidak perlu sampai menunggu 25 tahun. Setiap tahun diingatkan: tugasmu adalah mengunjungi umat, dalam arti yang seluas-luasnya.
Kalau sekarang 25 tahun, waktu yang dalam jangka tertentu, biasanya disyukuri secara istimewa, karena “moga-moga” selama dalam 25 tahun itu, saya barusaha untuk sungguh mencintai umat yang dipercayakan kepada pelayanan saya. Harapan selanjutnya, sesudah 25 tahun, tugas pokok itu selalu saya jalankan dengan harapan menjalankannya dengan semakin baik.
Kalau 25 tahun perjalanan itu diringkas dalam satu kata atau satu frase, kira-kira seperti apa, Bapa Kardinal?
Apa bisa ya, 25 tahun itu diringkas dalam satu kalimat. Kalau saya boleh menggunakan semboyan yang selalu saya pakai, tiga kata, tidak tiga kalimat. Baik, Terima Kasih, Lanjutkan.
Baik bukan dalam arti konsep. Dalam tugas pelayanan, saya berusaha mengatakan, menghargai apa yang dikerjakan teman-teman sepelayanan saya, oleh umat dalam usaha mereka menjadi warga Gereja. Ungkapan penghargaan saya ya itu baik. Apapun yang dikerjakan itu baik, kecuali kalau itu jelas salah. Tetapi pada umumnya kan baik.
Karena yang dikerjakan itu, sekecil apapun itu baik, maka ungkapan saya selanjutnya, ya menguncapkan terima kasih. Itu yang selalu saya pakai sebagai kata penutup kalau saya menulis Surat Gembala. Pada akhir selalu saya mengatakan, terima kasi kepada seluruh umat dalam peran yang berbeda-beda telah terlibat dalam merawat dan mengembangkan Gereja. Kata yang ketiga, lanjutkan. Yang sudah bagus dilanjutkan, pasti lebih baik
Bicara tentang Gereja 25 tahun lalu dengan sekarang, kira-kira apa yang berbeda? Tantangannya seperti apa?
Dalam pelayanan ini, saya sangat yakin, bahwa jati diri Gereja dalam arti tertentu, dinamika Gereja yang saya layani sangat ditentukan oleh jati diri yang disadari oleh Gereja setempat. Maksud saya begini: kalau kita bertanya kepada mahasiswa teologi, Gereja itu secara resmi rumusannya apa? Rumusannya adalah umat Allah, tubuh mistik Kristus, misteri, dan sebagainya. Rumusan itu bagus, sesuai ajaran Gereja. Tetapi sajauh saya alami, sulit dipahami umat. Karena itu, salah satu yang saya usahakan adalah merumuskan jadi diri Gereja tidak menurut ajaran resmi Gereja. Dalam 25 tahun ini, sekurang-kurangnya saya mencoba memperkenalkan tiga rumusan Gereja.
Yang pertama, Gereja sebagai peristiwa. Gereja bukan organisasi. Organisasi iya, tapi bukan organisasi yang dinilai dengan ilmu organisasi modern. Yang saya maksud adalah kalau kita menyadari diri kita sebagai peristiwa, Gereja itu selalu dinamis. Gereja ada secara real ketika umat berkumpul. Yang mengumpulkan adalah iman kepada Allah. Orang berkumpul menjadi Gereja. Tapi tidak berhenti di situ. Karena, Gereja menjadi peristiwa lengkap ketika berkumpulnya didorong oleh iman, ada perwujudannya. Saat berkumpul itu ada usaha mewujudkan iman. Itu peristiwa. Ketika Misa sudah selesai, anda diutus. Nah peristiwa perutusan itu konkret sekali. Di KAS waktu itu dan di KAJ saat ini, yang namanya perutusan oleh Gereja, wujudnya amat sangat banyak.
Yang kedua, tahun 2004, saya merumuskan Gereja adalah komunitas pengharapan. Saat saya membaca dokumen-dokumen KWI, setiap kali, kata itu muncul. Bertahan di dalam pengharapan. Kita selalu mempunyai cita-cita yang bagus. Negara kita juga selalu mempunyai cita-cita yang bagus. Keadilan, persatuan, dan sebagainya. Nyatanya apa? Kan tidak seperti itu. Kalau antara yang kita cita-citakan berbeda dengan realitas terlalu jauh, orang bisa menjadi kecil hati. Betul enggak ini apa yang kita harap-harapkan itu. Menurut iman Kristiani, betul. Karena karya keselamatan Allah tidak akan pernah gagal. Itu namanya harapan. Makanya, Gereja musti menjadi komunitas pengharapan, yang percaya pada janji Allah. Inspirasi iman seperti ini dapat menjadi kekuatan yang dahsyat bagi orang beriman, untuk tetap berusaha mencari jalan kendatipun seolah-olah dia nabrak tembok. Tetapi tidak cukup itu. Harapan juga bisa dilandaskan pada kenyataan bahwa selalu ada benih-benih yang baik di tengah-tengah yang tidak baik itu. Misalnya, kenapa kita berharap bahwa Indonesia ini akan bertumbuh menjadi bangsa yang sejahtera. Jawabannya, karena salah satu watak bangsa Indonesia yang diuji oleh penelitian adalah peduli. Itu saya baca di salah satu hasil penelitian Internasional, yang meneliti 146 negara, Indonesia ditempatkan pada nomor satu dalam hal kerelaan berbagi. Itu kan dahsyat.
Yang ketiga, saya rumuskan di KAJ. Gereja sebagai gerakan. Landasan Alktabihnya, Yesus yang kita ikuti adalah Dia yang memulai gerakan Kerajaan Allah. Sehingga harapannya Gereja tidak diam. Tidak merasa puas berada di zona nyaman. Karena bergerak terus. Selalu mencari jalan supaya cita-cita, jati diri Gereja akan dapat menampakkan wajah Allah yang berbelas kasih selalu dicari jalan lewat gerakan-gerakan yang nyata. Kalau melihat lambang KAJ, ada domba. Dulu ada domba yang duduk, sekarang tidak ada yang duduk. Domba-domba semua aktif. Umat KAJ bukan domba-domba yang duduk-duduk tetapi selalu mencari jalan-jalan baru untuk mewujudkan gerakan itu.
Awalnya berkarya di KAS yang kental dengan kultural Jawa, lalu tiba-tiba dipindahkan ke Jakarta yang suasananya urban. Apa yang Bapa Kardinal pikirkan waktu ditunjuk Paus menjadi Uskup Agung Jakarta?
Hanya taat saja. Saya terus terang tidak pernah berpikir, bahwa saya “ditransfer bebas” ke Jakarta. Karena saya sama sekali tidak tahu Jakarta. Yang saya tahu beberapa imamnya, Bapa Kardinal Julius saya kenal dengan baik. Saya ditunjuk dan tidak bisa mengatakan tidak dan berangkat dengan keyakinan ini: Seandainya hanya saya yang tidak tahu Jakarta ini, pasti saya bingung bukan main. Tetapi selalu saya katakan, keuskupan itu kalau uskupnya tidak ada enggak apa-apa. Namun, kalau tidak ada ketua lingkungannya, itu susah. Mekanisme Gereja, khususnya keuskupan-keuskupan di Jawa sudah katakanlah “jadi”, dasarnya sudah diletakkan. Kuat sekali dasar itu sehingga berikutnya adalah kreatifitas untuk membangun di atas dasar yang sudah sangat kuat itu. Dalam hal ini, saya selalu berpikir, kalau saya membandingkan tugas yang diberikan kepada saya, dengan bapa uskup yang diunjuk untuk menjadi Uskup Ketapang misalnya atau Keuskupan Agats, saya ini malu sebetulnya. Ketika saya ditunjuk menjadi Uskup Agung Semarang, ya Semarang kan keuskupan yang sudah matang. Saya tinggal meneruskan, hanya kreatifitas kecil-kecil. Sama ketika saya pindah ke Jakarta, saya tinggal terima jadi saja. Saya tahu betul, bahwa imam-imam yang ada di KAJ pastilah imam-imam dengan segala kompleksitasnya sudah bisa melayani umat. Saya belajar dari teman-teman itu.
Tensi di Jakarta itu lebih tinggi dalam hal politik, sosial-ekonomi dan sebagainya. Pasti Bapa Kardinal pernah mengalami atau bersentuhan dengan isu-isu itu. Bolehkan diceritakan kepada kami….
Memang Gereja mempunyai fungsi kenabian. Seorang nabi tidak pernah ketinggalan zaman, tidak pernah tidak terlibat dengan sejarah bangsanya. Maka dia berbicara dengan bahasa bangsanya. Gereja juga mempunyai perhatian seperti itu. Tetapi keterlibatan orang-orang seperti saya, tidak ada di dalam hal-hal praktis melainkan pertama-tama menyangkut iman dan kesusilaan. Kalau kita omong tentang Gereja, itu bukan uskup, bukan imam. Gereja itu hierarki, religius, awam. Mempunyai peranan yang berbeda-beda dalam kehadirannya di dunia. Masalah-masalah yang menuntut keterlibatan praktis adalah wilayah awam. Awam di sini kurang apa. Ada ahli di segala macam kehidupan. Kalau ada apa-apa, yang dikumpulkan adalah ahli-ahli itu. Berbicara mengenai aktualia. Kalau teman-teman itu perlu menyampaikan kepada saya, mereka sampaikan. Sementara saya tidak di dalam keterlibatan praktis. Tapi memberikan atau menawarkan kerangka berpikir. Itulah yang namanya iman dan moral.
Dua uskup dari Semarang dipindah ke Jakarta. Apakah polanya seperti itu?
Itu hanya Paus yang tahu. Tapi begini. Yang pertama-tama harus disadari bahwa Gerja itu universal. Orang dari mana pun bisa ditunjuk menjadi uskup mana pun. Itu konsep umum. Konsep itu harus diterima. Bukan karena saya orang Jawa maka harus di Jawa, bukan seperti itu. Kalau perlu ditempatkan di Agats, mau juga saya kalau diterima di sana. Yang kedua, ini yang tidak mudah, dengan konsep tadi, biasanya kalau ada takhta kosong, dicarilah calon-calon pengganti dalam proses yang panjang yang sifatnya rahasia.
Lalu ada syarat tambahan. Ini yang seringkali bebeda-beda penafsiran dari pimpinan Gereja. Misalnya, ada yang menganut aliran (tidak tertulis), untuk menjadi uskup agung harus ditahbiskan uskup dulu. Sementara nyatanya, tidak selalu seperti itu. Seperti saya misalnya, ketika ditahbiskan, langsung menjadi Uskup Agung Semarang. Sama dengan Bapa Uskup sekarang. Langsung dari pengajar menjadi Uskup Agung Semarang. Sebetulnya di Jakarta juga bisa kalau ada uskup ditahbiskan menjadi Uskup Agung Jakarta.
Ada pendapat yang tidak resmi tapi mungkin berpikir praktis. Yang ditanya itu adalah uskup-uskup. Bapa Uskup Julius waktu itu minta Uskup Koajutor. Artinya, Beliau masih uskup. Tapi minta supaya ditunjuk seorang uskup yang nanti kalau Beliau sudah selesai, langsung mengganti Beliau. Saya tidak tahu prosesnya seperti apa, tiba-tiba saya yang ditunjuk. Saya juga tidak tahu siapa yang ditanya mengenai saya. Itu rahasianya Paus lewat Nunsiatura.
Yose Marwoto/A.M. Lilik Agung/Ruy Pamadiken/St. Sularto/Henry C. Widjaya/F. Hasiholan Siagian
HIDUP, Edisi No. 34, Tahun ke-76, Minggu, 21 Agustus 2022