Stasi St. Stanislaus Kostka Kranggan, Paroki Kampung Sawah: Hadir untuk Masyarakat

793
Gereja St. Stanislaus Kostka, Krangkan, Paroki St. Servatius, Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat

HIDUPKATOLIK.COM – MENJELANG sore hari, Panitia Lustrum Pertama Peresmian Gedung Gereja St. Stanislaus Kostka memenuhi Aula Aloysius Gonzaga, Gereja St. Stanislaus Kostka, Stasi Kranggan, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 2/7/22.  Mereka yang mengenakan kaos bergambar sosok Romo Y.B. Mangunwijaya ini merupakan umat Wilayah Santa Katarina, Stasi Kranggan dan bersiap menyelenggarakan salah satu rangkaian Lustrum Pertama yakni Nonton Bareng (nobar) dan Dialog Film “Sang Manyar, Nyanyian Pinggir Kali” karya Sergius Sutanto.

Nobar dan dialog ini mengusung tema Toleransi dan Kebudayaan serta menghadirkan beberapa narasumber seperti Romo F.X. Mudji Sutrisno, SJ, Raymundus A. Setiawan sebagai co-sutradara film yang mewakili Sergius Sutanto sutradaranya. Melalui daring, hadir Ferry T. Indratno, seorang pemerhati budaya dan Eko Prawoto, arsitektur dan pemerhati budaya.

Film docudrama yang berdurasi 1 jam 15 menit yang diproduksi berdasarkan novel terbitan tahun 2016 berjudul “Mangun” karya Sergius.  Film ini mengisahkan sosok Romo Mangun yang humanis dan begitu mencintai masyarakat lapisan bawah yang tertindas. Umat dan para tamu disugguhkan denggan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, pendidikan, seni dan budaya dari film ini.

Teladan Romo Mangun

Romo Mudji mengulas tentang spiritualitas Romo Mangun sebagai imam yang mengajarkan umat hidup dengan penuh cinta terhadap sesama tanpa melihat perbedaan. Menurutnya, Gereja harus bisa hadir dengan damai berdampingan dengan masyarakat sekitar dalam bentuk pelayanan apapun bagi sesama.

“Bagaimana seekor burung manyar jantan dalam membuat sarang untuk menarik perhatian betina, dengan sangat dipikirkan keindahan dan manfaatnya. Jika sang betina menolaknya maka sang jantan akan membongkar lalu membangun ulang sampai sang betina ingin masuk ke sarang itu. Hal itu menunjukkan kegigihan sang jantan dalam hidupnya. Itulah kegigihan Romo Mangun sebagai imam dalam memperjuangkan rakyat kecil. Itulah kenapa Romo Mangun dijuluki Sang Manyar,” tutur Romo Mudji kepada para penonton.

Romo F.X. Mudji Sutrisno, SJ (tengah) dalam acara dialog toleransi dan kebudayaan.

Narasumber lain, Ferry sebagai murid Romo Mangun, menyampaikan tentang pendidikan. Mental dan karakter itu harus dibentuk sejak dini. Karena itu Romo Mangun sangat peduli dan konsen terhadap pendidikan di sekolah dasar. Sarana pendidikan di sekolah harus memfasilitasikan anak menjadi dirinya sendiri dan merdeka.

Menurut Romo Mangun, kata Ferry, anak merdeka adalah sosok citra manusia yang humanis sebagai cerminan manusia Indonesia yang memilki karakter sebagai manusia pembelajar yang eksploratif, kreatif, dan intergral serta komunikatif.

Sementara Eko membahas tentang karya-karya arsitektur Romo Mangun dengan segala filosofinya. Romo Mangun dalam membangun karyanya selalu memikirkan segala bahan bekas ataupun murah yang sangat bermanfaat serta selalu ramah lingkungan serta memikirkan estetika dalam membangun setiap karyanya.

Menariknya, nonton bareng dan diskusi bersama ini, juga dihadiri oleh para Gusdurian serta NU, khususnya NU Tanah Abang Jakarta serta Pimpinan Ponpes Hurin’in yang ada di Tanah Abang Bunder Jakarta. Acara semacam ini sangat bermanfaat agar umat tetap menjalin rasa toleransi dan mencipta kebudayaan menjadi sarana kebersamaan.

Menjadi Dewasa

Ketua Panitia Lustrum Pertama Peresmian Gedung Gereja St. Stanislaus Kostka, Edoardus Enrico Fermi Refwalu, kerap disapa Enrico, mengungkapkan bahwa persiapan acara ini memakan waktu dua bulan. “Dalam perayaan Ekaristi, kami mengundang Krontjong Toegoe. Di hari jadi kami yang kelima ini kami ingin mewujudkan kebersamaan. Sesuai dengan tema dari Lustrum Pertama: Gereja Stasi Kranggan hadir melayani sesama,” ujarnya.

Tema ini diusung juga sesuai dengan ARDAS Keuskupan Agung Jakarta 2022-2026 (KAJ) untuk penghormatan martabat manusia yang inklusif, bukan eksklusif. Bagi Enrico, Romo Mangun dengan karya dalam hidupnya sangat relevan dengan tema tersebut.

Pada tahun ini pula, direncankan Stasi Kranggan akan menjadi sebuah paroki. Enrico merasa sangat bersyukur. Aartinya umat Stasi akan bertambah dewasa. “Kami melangkah ke tahap berikutnya. Umat yang dewasa adalah umat yang aktif di tengah masyarakat dan berkontribusi. Tahun ini, kami sungguh bersyukur bisa menjadi sebuah paroki, bisa berkarya lebih lagi,” ujarnya.

Kian Kompak

Berbagai rangkaian acara telah diselenggarakan oleh Panitia. Mulai dari lomba TikTok, fotografi, bakti sosial, nonton bareng serta dialog hingga acara puncak yakni Misa Syukur Konselebrasi bersama Romo Yohanes Wartaya, SJ, Romo Mikael Irwan Susiananta, SJ dan Romo Yakobus Rudiyanto, SJ, Minggu, 3/7/22.

Pemotongan tumpeng oleh Romo Mikael Irwan, SJ (paling kiri), Romo Yakobus Rudiyanto, SJ (tengah), Romo Yohanes Wartaya, SJ (ketiga dari kiri).

Pada kesempatan yang sama, Romo Irwan sebagi imam yang mendampingi Stasi Kranggan, menceritakan bahwa dirinya datang ke Stasi sejak Oktober 2020.

“Awalnya, saya tiba di Paroki Kampung Sawah bulan September. Kemudian ditugaskan Romo Wartaya untuk mendampingi Stasi Kranggan yang sebentar lagi akan menjadi paroki. Saya melayani seperti layaknya imam di sebuah paroki dan melihat apa yang bisa ditingkatkan oleh Stasi,” ujarnya.

Bagi Romo Irwan, menjadi sangat tepat ketika memasuki Lustrum Pertama, Stasi sedang berbenah dan dalam masa pergantian. Meskipun belum tahu persis tepatnya diresmikan menjadi paroki, namun Stasi Kranggan sudah memulai dengan adanya dewan stasi, struktur yang sudah disesuaikan dengan ketentuan di KAJ.

“Yang lainnya menyusul, kelengkapan di lingkungan. Apa yang diwajibkan, kami upayakan. Tidak hanya sekitar Stasi tapi juga menyiapkan sampai di ranah lingkungan,” tambah Jesuit asal Surakarta ini.

Jumlah umat Stasi Kranggan sebanyak 2.600. Menurut Romo Irwan, umat Stasi Kranggan adalah umat yang mandiri. Ketika diajak dalam dinamika, umat tidak sulit dan selalu bersemangat.

Pembangunan gereja terbilang tidak mudah kala itu.  Ada berbagai macam penolakan dari masyarkat. Justru hal inilah, bagi Romo Irwan, umat terpacu membagun pagar hidup, artinya bisa berdamai dan semakin terlibat dengan sekitarnya.

“Jika waktunya ditingkatkan menjadi paroki, semoga umat Kranggan tetap kian kompak dan gembira dalam melayani sesama,” pesan Romo Irwan.

Raymundus A. Setiawan/Karina Chrisyantia

HIDUP, Edisi No. 30, Tahun ke-76, Minggu, 24 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini