MENCARI JHUKO’

106

HIDUPKATOLIK.COM -FAJAR telah memancarkan kehangatannya, menantang hembusan angin darat yang cukup kencang. Aroma amis ikan-ikan segar, beceknya jalanan, serta lalu-lalang manusia tak menyurutkan langkahku memutar roda rezeki. Rezeki itu tak hanya bagiku sendiri, tetapi harus kubagikan kepada sesama yang berjuang. Setelah lolos dari keramaian yang tak berujung, aku tiba di lapak Bhu Fateha, pedagang ikan langgananku.

“Bhu, tumben jhuko’nya sedikit?” kejutku melihat barang dagangannya yang hampir bersih.

Eppa’ kan sudah tua. Jadi sekarang cuma bisa menjala dekat tase’,” balas Bhu Fateha dengan logat Maduranya.

“Waduh, hasil melaut eppa’ cuma segini?” tanyaku kembali.

“Sebenarnya eppa’ tadi dapat banyak. Ketika mau buka lapak, ada pemuda bergamis putih hampir borong semua jhuko’. Alhamdulliah, jiya kasih satu jhuta. Makanya tinggal sejumput aja tuh jhuko’,” jelasnya.

Akhirnya, aku membeli semua ikan yang tersisa dan bergegas pulang. Aku berpikir apakah lima kilo ikan akan cukup untuk operasional warung, apalagi nanti malam minggu.

Ketika aku berada di ambang rumah, kulihat sebuah boks besar berisi ikan. Aku sering melihat boks tersebut di lapak Bhu Fateha, namun tercantum namaku di atasnya. Entah siapakah yang menaruhnya.

“Masa pria bergamis yang diceritakan tadi membelikanku semua ikan ini? Jika benar, ada apa ini? Aku harus segera berjumpa dengannya,” gumamku.

Sampai warungku tutup jam dua pagi, aku masih dihantui penasaran. Setelah aku membersihkan warung, aku memacu motorku ke tase’, melawan derunya angin malam.  Aku duduk terkantuk-kantuk di lapak yang masih kosong itu. Saat dunia mimpi hendak menjajah konsentrasiku, kudengar geraman mesin yang memekakan telinga. Kubuka mata, kupandang sosok pemuda bergamis putih itu sedang memarkirkan vespa kuningnya. Sepertinya aku tidak asing dengan pemuda tersebut. Bentuk wajahnya dan model rambut kribonya masih tersimpan di memori.

Penampakan pemuda itu mengingatkanku pada Warih, sosok yang paling dekat denganku ketika aku masih menjadi putri altar. Ia adalah putra altar terajin di paroki saat itu. Ia dikenal baik, menyenangkan, dan siap bertugas dalam setiap kondisi. Sebenarnya, aku hendak mengutarakan perasaanku padanya saat itu. Namun, ia pergi untuk menjawab panggilan Tuhan menjalani pendidikan calon imam. Semenjak itu, aku hilang kontak dengannya, hampir empat tahun lamanya. Konon kabarnya, kini ia sudah menjadi seorang frater. Apakah dia Warih, sosok yang sudah lama hilang dari bola mataku? Apakah ia masih mengenalku?

“Hai Bela, kok kamu sudah ke mari sepagi ini,” tanya pemuda itu.

“Eh, Warih… maksudku Frater Warih, ternyata kamu masih mengenalku. Aku mau beli ikan, sekalian menunggu sunrise. Aku punya warung yang harus kuurus,” sahutku.

“Kamu, masih gadis sudah berani berbisnis,” cetusnya tersenyum.

“Wah be’en berdhua pagi-pagi sekali datang,” sahut Bhu Fateha mengejutkan kami berdua. Ia dan suaminya membawa boks ikan yang cukup besar.

“Kami kan ga mau kehabisan ikan segar dagangan be’en. Kami bantu ya,” balasku.

Aku dan Warih membantu pasangan paruhbaya itu memindahkan boks-boks ikan dari kapal dan menatanya di lapak. Tak terasa hari mulai terang. Aku dan Warih membeli ikan secukupnya. Ketika aku hendak pulang, Warih mengajakku untuk berjalan-jalan sejenak di tase’, menyaksikan para nelayan yang baru saja pulang melaut.

“Tumben kamu pulang, Rih. Apakah kamu ditugaskan di sini?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Di atas kertas, aku memang ditugaskan di sini. Tetapi sebenarnya ini sebuah pelarian bagiku,” jawabnya datar.

“Pelarian? Maksudmu apa, Rih?”

“Ya, aku sebenarnya ingin lari dari panggilan yang telah kujalani saat ini. Aku merasa tidak berkembang. Jati diriku kini tak bisa hidup berdampingan dengan langkahku menanggapi panggilan-Nya.”

“Buang saja pemikiran itu dan tetap jalani panggilanmu, Rih. Banyak orang yang berharap engkau menjadi gembala mereka.” sanggahku.

“Tidak semudah itu, Bela. Banyak sekali orang berpikir, bahwa menjadi seorang imam itu mudah. Tetapi yang sulit adalah memurnikan panggilan tersebut dan berproses menjadi diri sendiri. Jiwaku ini rasanya sudah menemukan panggilanku yang sejati, menghadapi realitas dunia yang kejam ini,” katanya sambil melemparkan batu ke laut.

“Jadi, frater mau keluar? Kenapa frater berani menyia-yiakan panggilan mulia itu?”

“Panggilan hidup adalah sebuah misteri. Manusia boleh berharap, namun Tuhan sendiri yang memurnikannya. Semua panggilan hidup mulia adanya. Dia telah membebaskanku dari jawaban hatiku yang semu dan memanggilku untuk menjadi alatnya, sesuai dengan apa yang kupunya.”

Aku tak menyangka, sosok frater yang suci, baik, dan menyenangkan sepert Warih meninggalkanjalan panggilannya. Kuteteskan air mata di atas jubah putihnya, dan membujuknya untuk bertahan. Jika panggilan itu mulia adanya, mengapa Tuhan tak mengizinkannya menjadi imam yang memuliakanNya secara penuh.

“Tenanglah, Bela. Engkau tak usah menangisi keputusanku. Aku sudah siap dengan segala risikonya. Lebih baik kita menikmati pemandangan tase’ ini. Suasana tase’ dengan lalu-lalang manusia dan bau ikan mengingatkanku pada kisah Yesus memanggil murid-muridnya yang pertama. Pada awalnya, mereka sudah semalaman berjuang menjala ikan, namun tak kunjung mendapatkannya karena mereka hanya menjala dekat pantai saja.Seperti itulah gambaran diriku ketika berada di dalam biara, tak berkembang. Aku hanya dihadapkan pada dunia dekat pantai saja, dengan alasan untuk pemurnian panggilan,” ucapnya sambil membelaiku.

“Selama beberapa waktu, aku masih saja menjala dekat pantai, tanpa hasil apapun. Sampai pada suatu hari, Tuhan membukakan mataku untuk bertolak ke kedalaman realitas kehidupan, yang membuatku takjub. Aku menyaksikan banyak hal yang tak pernah tersentuh dan sudah dianggap tiada oleh dunia ini. Nelayan-nelayan itu, hanyalah wong cilik di mata dunia, namun di mataku merekalah Tuhan yang memberikanku panggilan sejati. Ia memanggilku untuk menyentuh yang tak tesentuh, menyelamatkan mereka yang terdampar, dan memberdayakan mereka yang hidupnya terancam. Tuhan membutuhkanku untuk karya ini, dan aku sudah siap meninggalkan segalanya. Jubah tebal ini, atap biara, vespa kuning itu, hingga status ‘frater’ rela kutinggalkan.”

Aku terdiam sejenak mencerna pembicaraan berat yang keluar dari mulutnya. Aku menoleh kesamping dan membuka mata, namun Warih sudah menghilang di tengah lautan manusia. Aku lebih baik segera pulang daripada terjebak di tengah kerumunan ini.

Kini, tepat sebulan sejak pertemuanku dengan Warih di tase’. Aku membawanya ke tempat yang sama, mengantarnya pergi. Ia telah bebas dari tembok biara, dan berkelana menuju tempat yang jauh, menyentuh mereka yang tak tersentuh dunia. Setelah mengucapkan salam perpisahan, kapal yang ditumpanginya perlahan-lahan meninggalkan tase’, menuju lautan lepas. Hanya lambaian tangan serta tangisan yang kuhadiahkan untuk mengiringi kepergiannya. Hembusan angin mengusap air mataku yang berlinang.

“Lepaskanlah jiya mencari jhuko’, jauh dari tase’nya,” ucap Bhu Fateha sambil memelukku dari belakang, menghangatkan diriku dari terpaan angin malam.

Oleh Slm Wikan

____________

Jhuko’ : ikan

Eppa’ : bapak

Jiya’ : dia

Tase’ : pantai

Be’en : kamu

HIDUP, Edisi No. 30, Tahun ke-76, Minggu, 24 Minggu 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini