“Amin-Amin-Amin” Masih Halal

697

HIDUPKATOLIK.COM – BERAPA kali dalam sehari kita mengucapkan “Amin”? Mungkin lebih dari satu kali. Atau mengulangnya beberapa kali, bahkan dalam satu tarikan nafas. Kita lazim melakukannya ketika berdoa. Entah untuk mengakhiri doa itu sendiri atau menegaskan setiap bait permohonan yang diucapkan petugas. Mungkin juga jawaban “Amiiiiin….” itu sekadar untuk menimpali secara latah ketika mendengar pernyataan bernada harapan yang diawali dengan: “Semoga….” Kata “Amin” yang diucapkan satu kali bisa jadi diperlakukan sebagai suatu kelaziman tanpa makna, atau sebagai “titik” untuk menutup doa saja.

Asal usul kata ini dapat ditemukan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru. Kata “amin” berasal dari bahasa Ibrani “aman”, bisa berarti “iya, sungguh, benar, jadilah demikian, dia memegang teguh.” Mazmur 89:53 menyebutkan:  “Terpujilah TUHAN untuk selama-lamanya! Amin, ya amin.” Tuhan dalam Perjanjian Lama adalah Tuhan yang patut di-amin-i, karena Dia itu setia, terpercaya, tak pernah ingkar janji. Kata ini juga bermakna gelar (Wahyu 3:14): ”Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah.” Kata ini memang tidak semata soal ujaran tapi terutama tentang relasi kita dengan Allah, khususnya sebagai ungkapan iman dalam doa pribadi dan peribadatan bersama.

Kata “Amin” juga dapat dilagukan demi ekspresi tertentu. Dua suku kata dari “A-min” yang diulang-ulang telah diberi nada-nada dan menjadi suatu komposisi musikal yang indah. George Frideric Handel pun menciptakan “Amin Agung” (Great Amen) dalam salah satu karyanya yang terkenal: Messiah. Disajikan oleh chorus beserta orkestranya dalam waktu sekitar 4.40 menit. Bagian kecil dari oratorio yang dibuat pada tahun 1741 ini merupakan contoh “Amin Agung” di luar konteks liturgi. Ada juga lagu “Amin Agung” dalam perayaan Ekaristi.

Aklamasi “Amin” dalam Misa

Dalam Ordo Missae (OM) terdapat dua jenis ungkapan “Amin”. Sebagai (1) jawaban atas pernyataan (: tanda salib, absolusi umum, komuni) atau doa oleh imam (presidensial, permohonan) dan (2) penutup suatu madah (Gloria) atau pernyataan iman (Credo) yang dinyatakan jemaat secara bersama. Untuk jenis pertama, setidaknya, umat menjawab “Amin” sampai sekitar 13 kali. Masih bisa lebih jika digunakan versi utuh “Kanon Romawi” atau Doa Syukur Agung 1 dengan tiga tambahan “Amin”, penutup tiga doksologi kristologis yang fakultatif. Theodorus Mopsuestia memaknai pernyataan itu sebagai persetujuan dan penegasan terhadap doa imam.

Dalam rubrik-rubrik OM, “Amin” itu diantar dengan dua kata kerja berbeda: “menjawab” (Latin: respondere, Ingris: reply) atau “menyerukan” (Latin: acclamare, Inggris: acclaim). Perbedaan ini tidak tampak dalam buku Tata Perayaan Ekaristi/TPE (2020) karena dalam rubrik-rubriknya hanya ditulis huruf “U”, tanpa penjelasan. Rupanya diandaikan saja pembaca sudah paham bahwa itu berarti  giliran “Umat menyatakan”. Tanpa menyebut bagaimana bentuknya: menjawab/mengucapkan atau menyerukan/menyanyikan?

Dari sekian jumlah “Amin” itu, empat di antaranya adalah tanggapan untuk doa-doa presidensial yang dibawakan oleh imam, yakni Doa Kolekta, Doa Atas Persembahan, Doa Sesudah Komuni, dan Doa Syukur Agung (DSA) sebagai yang terpenting. Secara tekstual, dari bentuk, struktur, dan durasinya, DSA yang paling berbeda, namun keempatnya menggunakan petunjuk “acclamat: Amen” (jemaat menyerukan), atau dalam Pedoman Umum Misale Romawi/PUMR  disebut “acclamatione Amen”.

Namun untuk doksologi DSA, yang lebih tinggi bobotnya daripada tiga doa presidensial lainnya, “Amin” dapat diperlakukan secara khusus. Praktik itu dikaitkan dengan bukti tertua adanya “Amin” dalam DSA yang ditemukan dalam tulisan Yustinus Martir sekitar tahun 150 M (Apologi Pertama, 67): “… ketika Dia mengakhiri doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir menjawab dengan aklamasi ‘Amin’.” Aklamasi ini biasa juga disebut “Amin Agung” atau “Amin Meriah”, karena merupakan “Amin” terpenting dalam Misa.  Memang istilah ini tidak ada dalam PUMR dan rubrik Ordo Missae, namun tafsir atas rubrik itu mendapat peneguhan dari PUMR juga. Ternyata dalam buku PUMR versi Indonesia (Komisi Liturgi KWI, 2013, no. 79. h) pun diterjemahkan “yang dikukuhkan dan ditutup oleh jemaat dengan aklamasi Amin agung” (versi Latinnya hanya “acclamatione Amen”, dan dalam no. 180: “Amen acclamaverit”).

Apa maksud pemakaian kata “aklamasi” itu? PUMR (no. 34-35) menegaskan pentingnya menciptakan suasana yang hidup dalam Misa, karena, “seturut hakikatnya, Misa merupakan perayaan jemaat. Oleh karena itu, sangat pentinglah dialog antara pemimpin dengan umat beriman yang berhimpun; begitu pula aklamasi-aklamasi sangat  besar artinya. Semua itu bukan hanya tanda lahiriah perayaan bersama, melainkan juga sarana untuk membina dan memperdalam kebersatuan antara imam dengan umat. Aklamasi dan jawaban-jawaban umat beriman terhadap salam dan doa-doa imam menciptakan tingkat partisipasi aktif yang harus ditunjukkan jemaat dalam setiap bentuk Misa. Dengan demikian, tindakan seluruh jemaat dapat diungkapkan secara jelas dan ditingkatkan.” Membawakan “Amin Agung” dengan dilagukan merupakan bentuk atau cara terindah sebuah aklamasi yang mestinya dipilih untuk melukiskan tindakan jemaat yang bersukacita menerima sakramen Ekaristi yang baru saja dikonsekrasi.

Makna Amin Agung, Amin Meriah  

Disebut “agung” untuk menunjukkan sisi hakikatnya. Atau “meriah”, dari sisi cara merealisasikan hakikat itu. Maka “Amin” yang amat penting itu diungkapkan dalam bentuk yang mendukung dan indah, yakni dinyanyikan, sebagaimana teks-teks lain yang sepatutnya “diserukan”, karena bersifat aklamatif. Secara tradisional, menyanyikan “Amin” berulang-ulang hingga tiga kali sudah bermakna agung dan bersuasana meriah.

Termasuk golongan yang bersifat aklamatif adalah Alleluya, Aklamasi Anamnesis, Kudus. Seperti halnya ketika umat menyanyikan “Kudus” bersama para malaikat dan semua orang suci, demikian juga saat “Amin Meriah” dikumandangkan, umat sedang melantunkannya bersama para penghuni surga. Amin duniawi-manusiawi bergabung dalam Amin ilahi-surgawi yang abadi. Kelak kita pun akan menyanyikan “Amin” itu selamanya di surga.

Pemaknaan ini ada dasar biblisnya. Kitab Wahyu diyakini memberi gambaran unsur-unsur ibadah Kristen awal yang mencerminkan penyembahan surgawi. Maka sudah sepatutnya Gereja pun mengambil unsur-unsur dari Kitab itu di dalam liturginya. Dalam Wahyu 7:10-12 dilukiskan bahwa para malaikat dan orang-orang kudus itu dengan suara nyaring berseru: ”Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” Dan semua malaikat berdiri mengelilingi takhta dan tua-tua dan keempat makhluk itu; mereka tersungkur di hadapan takhta itu dan menyembah Allah, sambil berkata: ”Amin! Puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!” Sembah sujud penghuni surgawi itu mestinya disambut oleh jemaat ekaristis di bumi, yang sedang dalam perjalanan menuju kehidupan surgawi juga. Jemaat Allah di bumi meneladani kesucian para kudus di surga.

Dalam Misa di negara-negara lain juga biasa dinyanyikan “Amin Agung” tiga kali. Misalnya, dalam misa-misa pontifikal yang dipimpin Paus di Vatikan, lalu di Denmark (Danish Amen), Jerman (Dresden Amen), Amerika (Threefold Amen), juga karya Owen Alstott (Heritage Mass) dan André Gouzes, OP (Rangueil Mass) yang dipakai di beberapa negara. TPE 2005 sendiri mempunyai empat pilihan aklamasi “Amin”, ada yang satu, dua, dan tiga kali (hlm. 411-412). Sayangnya dalam TPE 2020 ditiadakan semua dan tersisa yang versi pertama dengan satu “Amin” (sol sol la).

Dalam DSA kita menyatakan pengakuan “Amin” komunal, bersama seluruh jemaat. Untuk mewujudkan dimensi keagungannya, patutlah “Amin” dinyanyikan secara meriah. Hiasan suara lonceng kecil ketika “Amin” terakhir akan mempersemarak dan melukiskan klimaksnya. Sementara, sebagai kontrasnya, dalam Ritus Komuni kita cukup mengucapkan “Amin” personal, saat menerima Tubuh Kristus. Tak perlu dinyanyikan. “Amin” yang DSA itu meneguhkan partisipasi visual dan yang komuni itu partisipasi sakramental. Keduanya merupakan ungkapan iman dan pujian syukur kita kepada Allah Tritunggal Mahakudus yang telah hadir secara nyata dan melalui kurban diri Kristus telah menyatukan kita. Jangan haramkan “Amin Agung”, demi keindahan partisipasi aktif jemaat.

Secara tradisional, menyanyikan “Amin” berulang-ulang hingga tiga kali sudah bermakna agung dan bersuasana meriah.

Pastor C.H. Suryanugraha, OSC, Pengajar Liturgi di ILSKI dan UNPAR, Bandung

HIDUP, Edisi No. 29, Tahun ke-76, Minggu, 17 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini