Ketika Perang Menghancurkan Peradaban

161
Anak-anak pengungsi Ukraina bersama Paus.

HIDUPKATOLIK.COM – “Saya benar-benar menangis karena kepahitan,’’ kata Paus Fransiskus.

KAMIS, 24 Februari, pukul 18.00 waktu setempat, menjadi malam kelam bagi 41.167.336 jiwa (data per Januari 2022) Ukraina. Rusia mulai melakukan serangan berskala penuh ke Ukraina, sebuah Negara berdaulat.

Pemimpin Rusia, Vladimir Putin, murka atas tingkah Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang telah mengajukan proposal untuk bergabung dengan NATO yang berada di Eropa Barat. Sejak awal 2021 telah terjadi penumpukan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina. Namun pihak Rusia selalu menyangkal akan melakukan invasi ke Ukraina.

Menjadi ancaman besar bagi Rusia, kalau sampai Ukraina berhasil menggabungkan diri dengan NATO. Namun Presiden Volodymyr Zelenskyy seolah menutup telinga terhadap seruan pihak Rusia. Pihak Moskow juga terusik oleh ekspansi NATO di dekat wilayahnya. Ukraina memang bukan anggota NATO, namun aliansi pertahanan itu selama ini menganggap Ukraina “spesial” seperti calon anggotanya. Ukraina sendiri terlihat semakin mendekatkan diri pada NATO dalam beberapa tahun terakhir, meski di kala tensi dengan Rusia sangat memanas.

Presiden Putin tidak ingin kehilangan Ukraina. Ia ingin negara penghasil bunga matahari terbesar di dunia ini bergabung dengan Rusia seperti Belarusia. Pihak Rusia tidak ingin kehilangan sejumlah negara seperti Lithuania, Latvia, dan Esthonia, Polandia hingga Rumania yang pernah menjadi satu blok saat dipimpin oleh komunis Uni Soviet.

Putin terus menegaskan Ukraina dan Belarusia bagian dari Rusia secara budaya dan sejarah. Dia bahkan memegang kendali besar atas Belarusia dan terus melakukan pembicaraan soal reunifikasi yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Kini Belarusia merupakan sekutu setia yang mendukung Rusia memerangi Ukraina yang didukung Barat.

Puncak kesabaran Vladimir Putin terjadi pada Kamis (24/2/2022), ketika dia melakukan invasi berskala penuh ke sejumlah Kota Ukraina. Pasukan Rusia kemudian membantu pemberontak lokal di wilayah Donbas untuk menyatakan diri merdeka dari Ukraina.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa pertempuran Donbas telah dimulai, merujuk pada serangan pasukan Rusia di wilayah Ukraina timur.

“Kami sekarang dapat mengatakan bahwa pasukan Rusia telah memulai pertempuran Donbas, yang telah lama mereka persiapkan,” kata Zelensky pada awal-awal invasi Rusia ke negaranya.

“Tidak peduli berapa banyak pasukan Rusia yang didorong ke sana, kami akan bertarung. Kami akan membela diri. Kami akan melakukannya setiap hari,” tambah mantan pemain film komedi ini.

Akhirnya wilayah Donbass di Ukraina Timur yang terdiri dari Donetsk dan Luhansk menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka dari Ukraina. Keduanya mengikuti semenanjung Crimea yang dianeksasi Rusia pada tahun 2014 silam.

Target Presiden Putin untuk melucuti pasukan Ukraina dalam sepuluh hari tidak tercapai. Kini (Jumat, 22 April 2022) telah 58 hari upaya pasukan Rusia tampak sia-sia melucuti pasukan Ukraina.

Terakhir, Rusia menghantam Ukraina Timur dalam fase serangan terbaru. Menurut Presiden Ukraina, serangan Rusia yang telah lama ditunggu-tunggu di timur telah dimulai. Juru bicara militer Rusia Igor Konashenkov mengatakan, “Pasukan roket melakukan serangan terhadap 1.260 sasaran militer.” Dia menambahkan bahwa “Pasukan kami menyerang 25 pos komando militer Ukraina di kota Mykolaiv dan Golubivka,” serta banyak situs lainnya.

Serangan-serangan Rusia menyebabkan gelombang pengungsi yang besar sejak awal invasi berskala penuh. Polandia menjadi tujuan utama para pengungsi. Badan urusan Kemanusiaan PBB melaporkan lebih dari 10 juta warga Ukraina, termasuk lebih dari separuhnya anak-anak, telah meninggalkan rumah mereka sejak awal dimulainya serangan Rusia pada 24 Februari lalu.

Saat berbicara di depan Dewan Keamanan PBB beberapa waktu lalu, Wakil Koordinator Darurat Urusan Kemanusiaan PBB Joyce Msuya mengatakan bahwa dari jumlah tersebut, sebanyak 6,5 juta merupakan pengungsi internal dan 3,9 juta telah melintasi perbatasan ke negara-negara tetangga. Msuya mengatakan, bantuan kemanusiaan meningkat setiap hari dan sekarang lebih dari 1.230 personel PBB berada di negara tersebut bekerja dengan lebih dari 100 organisasi kemanusiaan di seluruh Ukraina.

“Ukraina adalah paradoks kemanusiaan: berdampingan dengan kekerasan ekstrim, kami melihat kebaikan ekstrim, solidaritas mendalam, dan perhatian paling lembut,” kata Msuya pada akhir Maret lalu.

Banyak rakyat Ukraina mengalami keputusasaan. Mereka mesti bersembunyi di ruang-ruang bawah tanah. Mereka mengalami kekurangan makanan dan air. Mereka mengalami kebekuan di tengah dinginnya musim dingin karena ketiadaan listrik untuk pemanas.

“Adikku dan suaminya terbunuh,” kata warga Desa Kamianske di Tenggara Ukraina, Halya Steblyuk sambil menyeka air mata dari wajahnya. “Saya tidak bisa bicara, di sepanjang jalan ini. Kami mengubur mereka seperti anjing dikubur,” katanya dengan suara bergetar.

Sikap Vatikan

Paus Fransiskus selalu berbicara tentang serangan Rusia ke Ukraina. Pada awal serangan, pemimpin Gereja Katolik itu mendatangi kedutaan besar Rusia untuk Takhta Suci di Roma untuk melakukan protes terhadap serangan yang membahayakan martabat manusia itu. Paus Fransiskus menyerukan penghentian invasi di berbagai forum.

Dalam perjalanan pulang dari Perjalanan Apostoliknya yang ke-36 dari Malta ke Roma, Paus Fransiskus menegaskan bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah. Paus Fransiskus menyinggung Perang Dunia Kedua yang seharusnya menjadi pelajaran sejarah bagi manusia zaman modern. Manusia semestinya belajar untuk menghentikan perang yang menghancurkan peradaban manusia.

Pada Audiensi Umum, Paus dengan anak-anak Ukraina yang keluarganya harus mengungsi karena perang.

Paus Fransiskus mengatakan, sebagai manusia kita keras kepala. Kita jatuh cinta dengan perang, dengan semangat Kain. “Bukan kebetulan bahwa di awal Alkitab masalah ini disajikan: semangat membunuh ‘Kainis’ bukannya semangat perdamaian,” tandas Paus Fransiskus ketika ditanya oleh wartawan Minggu (3/4/2022) dalam perjalanan dari Malta ke Roma.

Menurut Paus Fransiskus, perang selalu merupakan tindakan kekejaman, hal yang tidak manusiawi, yang bertentangan dengan semangat manusia. “Saya tidak mengatakan Kristen, (saya katakan) manusia. Itu adalah roh Kain, roh ‘Kainis’,” tandas Paus Fransiskus yang asal Argentina ini.

Bapa Suci merasa sangat sedih menyaksikan banyak korban jiwa yang terjadi dalam perang dalam berbagai bentuknya. Ia menuturkan, pada tahun 2014, ketika beliau berada di Redipuglia, dia menangis melihat nama-nama orang yang meninggal.

“Saya benar-benar menangis karena kepahitan. Kemudian, satu atau dua tahun kemudian, untuk Hari Orang Mati, saya pergi untuk merayakannya di Anzio dan melihat nama-nama orang yang jatuh di sana. Mereka semua adalah pria muda dan saya juga menangis di sana. Saya benar-benar melakukannya. Kita harus menangis di kuburan,” kata Paus Fransiskus.

“Semoga Tuhan mengasihani kita, kita semua. Setiap dari kita bersalah!” pesan Paus Fransiskus.

Paus Fransiskus menyamakan perang sebagai sesuatu yang irasional atau tidak masuk akal. Perang menyebabkan penderitaan dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

“Semoga ada perdamaian untuk Ukraina yang dilanda perang, yang begitu tersiksa dengan kekerasan dan penghancuran perang yang kejam dan tidak masuk akal yang menyeretnya. Di malam penderitaan dan kematian yang mengerikan ini, semoga fajar harapan baru segera muncul! Biarlah ada keputusan untuk perdamaian. Semoga ada akhir dari kelenturan otot saat orang-orang menderita. Tolong, tolong, jangan biarkan kita terbiasa dengan perang! Mari kita semua berkomitmen untuk memohon perdamaian, dari balkon kita dan di jalan-jalan kita!” kata Paus Fransiskus sebelum memberikan berkat Urbi et Orbi di Roma.

Paus Fransiskus tetap mengecam perang yang berkecamuk di seluruh dunia, tidak hanya yang terjadi di Ukraina. Dalam sebuah wawancara dengan “A Sua immagine” (Dalam gambar-Nya), di saluran TV Rai 1 Italia, paus menunjuk pada perang yang saat ini berkecamuk di seluruh dunia.

“Saat ini di Eropa, perang ini benar-benar mempengaruhi kita. Tapi mari kita lihat lebih jauh,” katanya.

“Dunia sedang berperang, dunia sedang berperang! Suriah, Yaman, lalu pikirkan orang-orang Rohingya yang diusir, tanpa tanah air. Perang ada di mana-mana. Genosida di Rwanda 25 tahun yang lalu,” kata Paus Fransiskus.

Sebelum Pekan Suci, Paus Fransiskus menyerukan adanya niat baik dari Presiden Putin untuk melakukan gencatan senjata selama perayaaan Pekan Suci. Tujuannya agar umat kristiani di Ukraina dapat merayakan Pekan Suci dengan damai dan tenang.

Namun Paus Fransiskus tidak hanya mengecam perang yang telah mematikan ribuan orang. Paus Fransiskus juga memberikan bantuan kepada masyarakat Ukraina berupa dua buah ambulans. Kardinal Conrad Krajewski, almoner kepausan, mengirim sendiri kedua ambulans itu. Bahkan Kardinal Krajewski tinggal di Ukraina untuk memberikan dukungan moral kepada masyarakat Ukraina.

Pengungsi Ukraina

Pada Jumat Agung lalu, Kardinal Krajewski sempat berdoa di kuburan massal di mana dikuburkan 80 jenasah di Ukraina Utara.

Kardinal itu mengatakan dalam pesan audio yang dibagikan oleh kantor pers, “Di sini dengan nunsius, kami sekarang kembali ke Kyiv, dari tempat-tempat sulit bagi setiap orang di dunia, di mana kami masih menemukan begitu banyak orang mati dan kuburan setidaknya 80 orang, dimakamkan tanpa nama depan dan nama belakang. Dan air mata hilang, kata-kata hilang.”

Kehadiran Gereja Katolik melalui lembaga sosial seperti Caritas Ukraina sungguh-sungguh membantu warga yang menderita.

Pastor Frans de Sales SCJ/dari berbagai sumber

HIDUP, Edisi No. 19, Tahun ke-76, Minggu, 8 Mei 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini