“SAYA mengambil engkau menjadi istri/suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai hukum Allah yang Kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
***
“Kevin, ambillah anak dari Panti Asuhan,” pinta Diandra kepada suaminya.
“Kamu bicara apa, sih? Aku masih ingin menikmati bulan madu bersamamu,” tukas Kevin dengan nada kesal.
“Biarlah rumah tangga kita ramai dengan kehadiran anak-anak. Kalau hanya kita berdua yang tinggal di rumah besar ini, akan terasa sepi.”
“Aku belum siap mendidik anak.”
“Pikirkan lagi, Kev. Biar ada penerus keluarga kita.”
“Aku tidak mau mendengar ada pembicaraan lagi tentang anak. Titik!”
Diandra terkunci mulutnya mendengar nada keras Kevin. Suaminya selalu menyuruhnya bersabar menanti kehadiran bayi dalam kandungannya.
Menginjak pernikahan tahun kelima, belum juga mereka dikaruniai anak. Diandra menjadi waswas, ia khawatir dirinya yang membuat sulit mendapat keturunan. Diam-diam Diandra memeriksakan diri ke dokter ahli kandungan. Setelah melewati beberapa pemeriksaan, ia dinyatakan normal. Diandra tidak ada hambatan untuk bisa mengandung. Namun, ia tidak mempunyai keberanian untuk mendesak Kevin memeriksakan diri ke dokter.
Satu tahun rasa itu dipendam sendirian. Tuduhan dan cibiran dari mertua dan tetangga diterima Diandra bertubi-tubi. Apalagi kata-kata adik iparnya yang tanpa ditutupi menuduh dirinya mandul.
Puncak kekesalannya pada waktu merayakan hari ulang tahun Diandra yang ke tiga puluh. Pada waktu selesai acara meniup lilin, saudara kandung Kevin tertawa cekikikan melecehkannya.
“Seharusnya yang meniup lilin itu anak balita, bukan orang setengah tua.”
Perkataan adik iparnya disambut tawa berderai seluruh anggota keluarga yang hadir.
Wajah Diandra memerah menahan marah, tetapi tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia pun meringis menahan sakit akibat gigitannya sendiri.
Kevin terlihat hanya melihat istrinya kikuk tanpa ada usaha untuk melindunginya. Diandra akhirnya hanya memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang mulai mengembang di matanya.
Malamnya Diandra mendesak Kevin agar mau memeriksakan diri ke dokter. Perdebatan panjang berlangsung hingga tengah malam. Akhirnya Kevin mengalah memenuhi permintaan istrinya.
Hasil pemeriksaan dokter, ia mempunyai sperma yang lemah. Seringkali sperma kehabisan tenaga sebelum sampai ke sasaran.
“Ada beberapa terapi yang bisa kalian lakukan?” kata dokter Hendra di ruang praktiknya.
Kevin dan Diandra saling berpandangan. Ada nada tanya dalam tatapan mereka. Kevin langsung merangkul istrinya, lalu berkata,
“Apa yang paling aman dan mudah dilaksanakan, Dokter?
“Sebaiknya kita lakukan secara bertahap. Langkah awal yang paling mudah, murah dan tidak berisiko. Kevin harus banyak berolah raga, nanti saya resepkan vitamin untuk menambah stamina. Apabila terapi ini tidak berhasil, Kevin mendapat terapi obat untuk memperbaiki kualitas spermanya. Namun, kalau tidak berhasil juga, langkah terakhir kita bisa melakukan program bayi tabung. Syaratnya masih ada sperma satu atau dua yang bagus untuk diambil. Selain itu biayanya tinggi, waktunya lama, dan ada rasa tidak nyaman. Bagaimana?”
“Baik, kami akan jalani tahap demi tahap sesuai saran Dokter,” jawab Kevin sambil menundukkan kepala.
“Semoga tiga bulan pertama sudah membuahkan hasil, tidak perlu ke tahap berikutnya.” Dokter Hendra menutup pembicaraan sambil menulis resep.
***
Tiga bulan telah berlalu, Diandra tidak ada tanda-tanda kehamilan. Mereka kembali menemui Dokter Hendra. Terapi selanjutnya, Kevin memperoleh resep obat untuk memperbaiki kualitas sperma.
Diandra semakin khusyuk melambungkan doa-doa, agar terapi kali ini membuahkan hasil. Doa Novena dan ziarah ke tempat suci seringkali dilakukan Diandra secara diam-diam. Mereka sebagai umat yang taat berharap tidak melakukan program bayi tabung. Tuhan mengabulkan doa mereka yang percaya sungguh-sungguh. Diandra mulai mengandung, tetapi di awal kehamilannya, Diandra mengalami lonjakan tekanan darah. Ia harus dirawat secara intensif selama tiga bulan di rumah sakit.
Setiap asupan makanan, selalu dimuntahkan kembali oleh Diandra. Lambungnya menolak segala macam makanan. Ia sangat tergantung dari infus saja. Dalam perkembangan selanjutnya, janin di rahim Diandra kurang bisa berkembang dengan baik. Di saat usia tiga bulan, Diandra harus merelakan bayinya.
“Jangan tangisi anak kita, Diandra. Semoga ia menjadi pendoa bagi kita.” Kevin menghibur istrinya yang sangat berduka.
Hari-hari dilewati Diandra dengan banyak berdoa untuk mengurangi kesedihan dan menepis pikiran yang berkecamuk di kepala. Ia belajar seperti Bunda Maria merelakan semua agar terjadi sesuai kehendakNya. Ia berserah diri.
Lambungan doa Diandra didengar olehNya. Setelah jeda tiga bulan setelah keguguran, ia mulai mengandung lagi. Kevin langsung membawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan prima untuk istrinya. Ia tidak mau mengambil resiko lagi. Namun, kali ini kondisi Diandra lebih baik daripada kehamilan yang pertama. Setelah tiga bulan, Diandra diizinkan dokter untuk kembali ke rumah. Dokter berpesan untuk menjaga tekanan darah Diandra, karena akan berakibat fatal apabila tidak terkendali.
Alat pengukur tekanan darah diletakkan di samping tempat tidur. Setiap bangun dan mau tidur, Diandra rajin memonitor dengan alat digital yang mudah dioperasikan.
***
Mendekati hari persalinan, tekanan darah Diandra melonjak drastis. Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Kevin memegangi tangan Diandra sepanjang perjalanan untuk memberikan kekuatan.
“Kevin, bila kamu dihadapkan pada pilihan. Pilihlah anak kita,” kata Diandra sambil memegang erat tangan Kevin.
“Janganlah berpikir macam-macam, Diandra. Kita semua akan mengusahakan yang terbaik. Dokter akan melakukan tindakan yang benar. Semua akan baik-baik saja,” jawab Kevin gemetar.
Butiran keringat muncul di dahi Kevin. Ia menutup matanya. Bibirnya komat-kamit merapalkan doa. Beberapa saat ia membuka mata, mendapati istrinya tersenyum bahagia.
“Semua pasti akan berhasil baik, Sayang.” Sambil berkata, ia mengusap pipi istrinya. Diandra membalas dengan senyuman.
Di rumah sakit, Diandra langsung mendapat penanganan dari para medis. Ia dianjurkan untuk rawat inap sampai saatnya melahirkan. Kevin memasrahkan keputusan kepada pihak rumah sakit, demi keselamatan istri dan bayi yang dikandungnya.
Meskipun Kevin tetap bekerja, ia selalu memantau perkembangan kesehatan istrinya. Malam hari, ia selalu menginap di rumah sakit. Lambat laun tekanan darah Diandra mendekati normal. Kabar baik ini sangat melegakan Kevin. Untuk sementara ia bisa beristirahat di rumah tanpa merasa waswas meninggalkan istrinya sendirian di rumah sakit.
Sekian lama Kevin tidur di sofa rumah sakit, saatnya ia menikmati ranjang di rumah. Dalam jangka waktu tidak lama ia pun terlelap.
Kevin terlonjak dari tidurnya dan segera mengambil ponsel yang berbunyi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegembiraan. Ia segera mencuci muka di wastafel dan berganti pakaian. Kevin segera mengambil kunci mobil lalu mengendarainya menuju rumah sakit.
Senyum ditebarkan Kevin kepada setiap orang yang dijumpainya, mulai dari tukang parkir, satpam, resepsionis, dan siapa pun yang berpapasan dengannya. Ponsel di sakunya bergetar kembali.
“Pak, segera menuju ruang isolasi. Istri bapak kejang-kejang.” Suara dari telepon seberang terdengar panik.
“Apa? Tidaaak!” teriak Kevin sambil berlari. Ia menuju ke ruang jaga dan langsung bertanya kepada perawat di situ,
“Kenapa istri saya kejang-kejang, Suster?” tanya Kevin.
Setelah meneliti sejenak wajah Kevin, perawat itu mengambil map status pasien lalu menjawab,
“Istri Anda namanya Diandra, ya, Pak?”
Kevin mengangguk sambil menyugar rambutnya, lalu meremas-remasnya.
“Istri Bapak mengalami eklamsia, nanti dokter akan menjelaskannya.”
Perawat itu berdiri dari duduknya lalu mengajak Kevin memasuki ruang isolasi.
Di pojok ruangan terbaring Diandra dengan mata kosong menatap langit-langit. Kevin segera mendekat dan memegang tangannya, tetapi istrinya tidak memberikan reaksi apa-apa.
***
Tangan kiri Kevin menggendong bayi yang bernama Claire, anaknya. Bayi itu sekarang sudah bisa berceloteh. Sedang tangan kanannya memegang lengan Diandra yang tergolek tanpa daya. Dua kehidupan yang sangat tergantung padanya, entah sampai kapan.
Oleh Arlbertha Tirta