HIDUPKATOLIK.COM – Hari ini, tanggal 10 April 2022, kami mengikuti perayaan Ekaristi Minggu Palma tahun 2022 ini di gereja paroki kami, Paroki Santo Martinus, Lanud Sulaiman, Kopo, Soreang, Bandung, Jawa Barat. Pastor yang memimpin perayaan Ekaristi pagi ini ialah Romo Yustinus Siswa Subrata. Kor kami, Laetitia Sancta, bertugas mengiringi perayaan Ekaristi itu dnegan suara-suara kami yang sederhana, di bawah pimpinan dirigen kami, Atin Pepe (isteri saya tercinta).
Ada satu hal yang amat menarik pada pagi hari ini, yang patut saya catat di sini. Hal itu terjadi pada perayaan Ekaristi pagi ini. Semua berjalan lancar pada mulanya. Putera-puteri Altar berarak dari Sakristi, menuju ke pintu depan Gereja, bersama pastor, untuk memulai perayaan Minggu Palma itu di sana. Tidak ada tanda-tanda apa pun juga yang terlihat ataupun terasa. Bahkan sesaat sebelum Ekaristi dimulai, saya juga melihat sang romo dari dekat sedang menyapa umat yang lewat. Saya juga ikut menyapa beliau.
Saat, Romo Sis (begitu panggilan akrabnya) memulai dengan tanda salib, kami dengar suaranya masih normal-normal saja. Tetapi saat ia mulai mengucapkan salam pembuka di depan Gereja, Romo Sis seperti terbatuk-batuk, tersendat-sendat dan seperti bakal tidak bisa lagi melanjutkan ritus salam pembuka itu. Suaranya seperti orang yang mau batuk. Tetapi saya mengintip melalui monitor TV, beliau sepertinya sedang menangis. Ia cukup lama terdiam.
Tentu saja hal itu membuat kami semua, para umat seperti tidak mengerti akan apa yang terjadi. Tetapi dalam sekian detik saya pun akhirnya mendapat sebuah firasat yang sangat kuat bahwa Romo Sis mungkin sedang berada di tengah-tengah sebuah ret-ret Pribadi dalam rangka mempersiapkan diri menyambut Pekan Suci. Saya belum mengkonfirmasi hal itu kepada beliau. Lepas dari itu, saya andaikan saja bahwa pasti Romo Sis sedang sangat intens dalam permenungan rohaninya tentang sengsara Tuhan.
Nah di tengah peremungan panjang itulah, tiba-tiba ia dilanda sebuah pengalaman rohani. Hanya saja pengalaman ketersentuhan itu datang persis pada saat perayaan Ekaristi. Ya, rasa itu tidak bisa diduga-duga. Ia bisa datang tiba-tiba, mampir seperti tamu yang tidak diundang.
Karena itu saya segera berbisik kepada kedua teman kor saya, bahwa Romo Sis sedang mengalami sebuah pengalaman rohani. Atau dalam bahasa teologi spiritualnya, ia sedang mengalami sebuah pengalaman mistik. Pengalaman rohani yang sangat kuat, di mana manusia, si subjek pengalaman itu, merasa benar-benar disentuh, bahkan disergap oleh Tuhan sendiri, sehingga si manusia yang mengalaminya pun seperti merasa tidak berdaya untuk mengatasinya, tidak bisa menghindar selain pasrah saja.
Itu sebabnya, saat Cynthia, anggota kor kami di alto, yang juga sangat dekat dengan romo Sis, mencoba mendekati Romo Sis utnuk menawarkan seteguk air agar mungkin ketersedakan itu bisa diatasi sedikit dengan air itu. Saat Cynthia membawa air itu, saya sudah mengatakan kepada teman saya tadi, bahwa air itu tidak akan menolong apapun. Bahkan saya juga memastikan kepada mereka bahwa pasti Romo Sis akan menolak air itu. Ya, benar saja. Romo tidak menerimanya. Karena saya bilang bahwa air itu bukan obatnya. air itu tidak akan menolong.
Lalu apa obatnya? Obatnya hanya satu. Biarkan saja Romo Sis menangis dan hanyut di dalam keterharuan itu. Sebab kita tidak bisa mencegahnya untuk memaksa dia keluar dari kolam pengalaman rohani, pengalaman mistik itu. Jalan keluar yang lain, ialah, saya berbisik ke dalam hati saya sendiri, agar umat juga terseret dan terhanyut di dalam pengalaman rohani, pengalaman mistik yang sama. Hanya dengan cara itu, perayaan Ekaristi itu akan menjadi sangat bermakna karena ia seperti menancap dalam hati. Itu kan seperti pengalaman Paulus yang suatu saat pernah mengatakan, aku pun ditangkap Kristus.
Dan benar saja, Romo Sis terus terseret dalam pengalaman rohani itu sepanjang Misa, dan saya sudah menduganya, dan saya pun sangat bisa memahaminya. Ya, sepanjang Misa Romo Sis masih terus tersendat-sendat suaranya seperti orang yang sedang menahan tangis duka, bukan tangis sukacita. Walaupun demikian, Romo Sis tetap mencoba ikut menyanyi saat Passio. Tetapi saya juga sudah menduga bahwa passio kali ini Romo Sis akan mengalami kesusahan sekali. Dan benar saja, jawaban Yesus yang dibawakan Romo Sis benar-benar seperti sedang menangis. Saya sendiri menjadi sangat terharu karenanya. saya pun terseret dalam suasana mistik rohani itu.
Selesai menyanyikan Passio, Romo Sis seharusnya berkhotbah, sebagaimana yang seharusnya dan biasanya selama ini. Tetapi dengan terbata-bata Romo Sis memohon maaf kepada kami semua, umat, bahwa dirinya tidak bisa berkhotbah. Entah apa yang dirasakan dan dialami para umat yang lain. Saya sendiri, sangat bisa memahami hal itu. Bagi saya, bahkan fakta bahwa ia menangis dan menghayati misa sampai post-passio itu dengan menangis, sudah merupakan kotbah rohani yang luar biasa kaya dan mendalamnya. sangat tidak biasa bahwa ada romo yang membawa kami umatnya bisa terseret di dalam arus pengalaman dan kolam mistik cinta kasih di dalam sengsara, derita, dan salib. Sebuah pengalaman paradoks kasih Kristiani yang mungkin tidak bisa dipahami oleh orang-orang lain.
Ya, saya merasa sangat terharu dan terhanyut dalam rasa itu, dalam “khotbah” nir-kata-kata itu. Tetapi justru karena nir-kata-kata, maka ia justru telah menumpahkan selaksa makna yang hanya bisa dirasa oleh jiwa, bukan terutama diolah oleh rasio. Dalam tahap seperti itu, yang kita butuhkan bukan lagi daya otak kita, melainkan kepekaan hati, kepekaan rohani yang merasa dan merasakan. Pada saat itu, semoga saya tidak salah, saya merasa ada juga umat (sebagian) yang bisa merasakan hal itu. Merasakan pengalaman Romo Sis dan ikut terseret di dalamnya. sangat unik. Ya, Romo Sis seperti menyeret kami semua dalam peristiwa anamnesis, pengenangan duka yang sangat nyata. di dalam daya anamnesis itu, kita juga secara imajinatif merayakan sebuah mimesis yang menggerakkan dan menyalakan jiwa.
Pertanyaannya, mengapa saya begitu cepat mencoba memahami peristiwa Romo Sis itu dengan bingkai penafsiran dan pemahaman seperti itu? Jawabannya sederhana saja. Karena saya sudah mempunyai pemahaman terlebih dahulu akan hal-hal seperti itu. Terus terang saja, saat Romo Sis hanyut dalam pengalaman rohani mistik seperti itu, spontan dalam hati saya, aku teringat akan Bapa Serafik, Santo Fransiskus dari Asisi. Saya memahami peristiwa Romo Sis pagi ini dalam bingkai pengalaman rohani dan mistik Fransiskus dari Asisi. Bagaimana itu? Begini….
Fransiskus Asisi adalah salah satu santo yang sangat tersentuh dan tergerak oleh pengalaman cinta Tuhan dalam diri Yesus Kristus. Ia terhanyut oleh cinta Yesus yang penuh pengorbanan, seperti yang dikatakan oleh santo Yohanes itu: tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang rela menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya. Itulah kasih Yesus. Dan fransiskus sangat tergerak oleh cinta itu.
Dalam beberapa riwayat hidupnya, dan yang paling saya ingat ialah dalam Fioretti (Kisah Bunga-bunga Kecil), dilukiskan bahwa Fransiskus sering sekali bisa terhanyut dalam tangis yang sedih jika ia teringat akan drama kasih Tuhan Yesus di salib. Saat ia merenungkan salib, dan salib bagi dia adalah kasih, definisi salib bagi dia adalah drama cinta, Fransiskus cepat sekali terseret dalam dukacita yang ajaib karena mengandung kegembiraan sekaligus. Dan di saat-saat seperti itu, para biograf mengatakan bahwa Fransiskus akan terseret dan terhanyut dalam pengalaman mistik, dan ia hanya mengulang-ulang satu kalimat pendek: Oh Amor non amatur, Oh Kasih yang tidak ditanggapi.
Siapa Amor itu? Itulah Tuhan sendiri, yang menampakkan kasih atau amor itu dalam diri Yesus Kristus yang rela mengorbankan hidupNya di salib untuk kita manusia. Tetapi mengapa non amatur, mengapa tidak ditanggapi? Karena kita manusia terus dan tetap saja berdosa. Keberdosaan kita itulah tanda dari sikap kita yang tidak menanggapi amor itu dengan amor juga. seharusnya balasan yang sepadan dari amor dei adalah amor hominis. Tetapi amor Dei itu seperti berlalu begitu saja tanpa mendapat balasan amor hominis.
Fransiskus Asisi dengan seluruh hidupnya mencoba mewakili amor homonis itu sebagai imbalan bagi amor dei yang senantiasa terpancar dan tercurah dari hari ke hari, bahkan dari detik ke detik. Hanya amor dei itulah yang memungkinkan kita bisa hidup di dunia ini. Kembali lagi ke Fransiskus asisi, setiap kali ia teringat akan drama kasih Tuahn di salib, ia pasti menangis. Dan itulah yang dialami Romo Sis pagi ini, walaupun saya belum berdialog dengan dia, tetapi saya bisa menduganya. Romo Sis, semoga saya tidak salah memahami dramamu pagi ini.
Saya mau menutup renungan singkat ini dengan kembali lagi kepada Fransiskus Asisi. Masih dalam buku Fioretti di atas tadi, terungkap bahwa dalam seluruh hidup Fransiskus asisi, hanya ada satu saja kerinduannya, yaitu ia diberi kesempatan untuk bisa merasakan secuil saja cinta kasih Allah dalam diri Yesus Kristus yang karena kasih itu bisa mengorbankan diri di salib. Kerinduan itu pun dijawab oleh Tuhan Yesus sendiri, tidak dalam rangka merayakan Pekan Suci, melainkan dalam rangka merayakan Pesta Salib Suci, 14 september itu.
Di dalam konteks perayaan akan salib suci itu, peninggian salib, exaltatio crucis itulah akhirnya harapan Fransiskus terpenuhi. Ia didatangi sang serafik bersayap enam seperti yang dilihat Yesaya bab 6 itu, dan dari ujung-ujung sayap sang seraf itulah terpancar cahaya ajaib yang seperti api las listrik-karbit, menembus tubuh Fransiskus, sehingga terbentuklah stigmata itu, kelima luka Kristus di tubuh fransiskus asisi: di kedua telapak tangan, di kedua telapak kaki, dan satu di lambung.
Cinta itu akhirnya dipatri secara jasmani pada tubuh dari orang-orang yang benar-benar mencinta dan mendamba cinta Tuhan. Laksana rusa mendamba air, jiwaku rindu pada-Mu Tuhan. Kecaplah dan lihatlah dan rasakan sendiri, betapa sedapnya Tuhan. Fransiskus sudah merasakan sedapnya cinta Tuhan itu. Romo Sis juga sudah… Mari kita semua juga berusaha merasakan percik-percik cinta itu selama pekan suci ini.
Dr. Fransiskus Borgias, MA, Dosen Fakultas Teologi UNPAR,tinggal di Taman Kopo Indah II, Blok D4, Bandung, Jawa Barat.