HIDUPKATOLIK.COM – MARAH itu perasaan yang wajar. Sebenarnya sifatnya juga netral. Normal dalam relasi kita dengan sesama. Juga dalam relasi suami istri dan dengan anak-anak.
Kadang ada hal-hal yang tidak terhindarkan yang membuat kita marah pada pasangan dan anggota keluarga lain. Untuk membantu mengubah perilaku sesama kita yang kurang bertanggung jawab, kadang-kadang marah diperlukan.
Hanya saja, cara kita marah yang sering membuat suasana menjadi runyam. Bahkan memancing terjadinya persoalan yang lebih banyak dan keributan yang lebih besar. Serta kemungkinan besar, tujuan kita marah justru tidak tercapai.
Melelahkan karena menguras energi, tetapi tanpa hasil. It’s not about “why”, ….but, “how”. Alias bukan mengenai ‘mengapa’ kita marah, tetapi lebih penting tentang ‘bagaimana’ kita marah.
Dalam berbagai upaya evaluasi diri di masa pertobatan ini, kiranya layak kita merenungkan, bagaimana kita bisa marah dengan sehat dan produktif? Memang sulit, tetapi kita bisa mencoba belajar mengelolanya.
Dalam keadaan marah, umumnya kita merasa kesal dan dikuasai perasaan kesal itu, sehingga logika berpikir sehat kurang jalan dan pilihan kata-kata yang kita ucapkan pun amburadul.
Bahkan kalau bisa, makin jelek/menyakitkan kata-kata yang kita keluarkan, makin baik. Supaya rasa marah kita terlampiaskan dan kita menjadi puas. Hmmm….Puas? Tunggu dulu.
Kita harus ingat after taste-nya (wah, seperti mencicipi jajanan saja) atau akibat sesudahnya. Cara marah ala orang kebanyakan biasanya tidak membuat persoalan selesai. “Bonus”nya lagi, membuat hati tidak damai.
Awalnya sepertinya membuat kita puas, tapi endingnya ternyata bisa pahit, karena masalah bisa jadi malah semakin besar, hati tidak damai, orang lain bisa tersinggung, dan suasana tidak nyaman pun dijamin hadir.
Bahkan kalau keseringan mungkin kita bisa terkena penyakit tekanan darah tinggi.
Jadi tidak ada salahnya kita belajar menguasai teknik marah yang lebih sehat.
Pikirkan Akibat dari Kemarahan
Pertama-tama, karena sudah membayangkan adanya ending yang kemungkinan besar bakal tidak mengenakkan, maka sebelum kita menjadi marah, pikirkanlah akibat dari kemarahan kita.
Hal ini memang tidak mudah, karena sumbu kita yang tidak selalu panjang bisa cepat tersulut mendapati hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kita atau menyinggung perasaan kita.
Apalagi dalam keadaan kita lelah atau sedang banyak tekanan.
Maka kuncinya di sini adalah mengetahui gerak dan kiprah ego kita. Marah pada umumnya adalah kegiatan melayani ego kita, yang kita rasakan sedang terinjak.
Ego kalau terlalu dituruti memang membuat kita seperti dalam penjara alias budak ego.
Menjadi lebih dewasa secara mental dan spiritual salah satunya adalah dengan mengelola rasa marah dan menjinakkan ego kita, supaya kita menjadi manusia lepas bebas yang bahagia dengan karakter yang welas asih dan endah hati.
Hal ini tidak saja membuat diri kita bertumbuh, tetapi juga akan sangat memberkati sesama dan masyarakat di sekitar kita.
Tips Mengendalikan Rasa Marah dan Menjinakkan Ego
Pertama, saat kemarahan melanda, sadarilah sepenuhnya bahwa kita sedang merasa marah, tetapi waspada, jangan membiarkan rasa marah itu menguasai diri dan mengambil alih jati diri kita.
Kedua, jangan terlalu berkonsentrasi pada rasa marah kita. Ambillah jarak terhadap perasaan marah itu dengan menarik nafas panjang, diam sejenak untuk mengambil waktu tenang bagi diri sendiri, lalu berdoa kepada Tuhan mohon kekuatan untuk tetap pada jalur damai sejahteraNya agar kita tidak sampai melakukan hal hal yang akan kita sesali.
Ketiga, mohonlah Tuhan menyelidiki hati kita, apa yang sesungguhnya memicu rasa marah kita. Kemudian mohon Tuhan memulihkan hal-hal yang membuat kemarahan itu muncul, sehingga kita bisa selesai dengan diri kita sendiri.
Proses pertama dan kedua di atas bisa jadi hanya dalam hitungan beberapa detik atau beberapa menit, namun proses ketiga dapat membutuhkan waktu lebih lama, memerlukan latihan sambil menimba kekuatan dari firman Tuhan, doa, dan juga Ekaristi, saat kita ambil bagian dalam misteri Paskah Kristus, di sana Tuhan Yesus sudah menanggung beban-beban kita di atas kayu salib.
Keempat, setelah gelombang marah berhasil kita redakan, alihkan fokus kita dari kemarahan itu kepada aspek lain yang lebih luas.
Ambillah waktu untuk mencoba memikirkan kondisi-kondisi yang tidak kelihatan, yang membuat suatu kejadian atau orang lain itu menimbulkan kemarahan kita.
Luaskanlah cakrawala kita, pikirkan kemungkinan-kemungkinan bahwa orang yang membuat kita marah itu mungkin awalnya tidak bermaksud demikian, mungkin ia tidak sengaja, mungkin orang itu sedang dalam kesedihan atau kesulitan hidup yang membuatnya lalai, cuek, atau menyebalkan, dan sebagainya.
Juga jika yang membuat marah itu suatu kejadian.
Pikirkanlah hal-hal di luar kontrol manusia yang mungkin melahirkan sebuah kejadian yang membuat kita marah.
Carilah hikmat yang pasti ada terkandung di balik setiap peristiwa. Kita pasti bisa menemukannya kalau membuka hati untuk mencarinya.
Tidak Mudah
Demikianlah tips-tips sederhana yang dapat kita coba. Memang tidak semudah kelihatannya tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan.
Mungkin kita tetap marah, tetapi marah yang sangat terkendali dan tidak menyakiti hati orang atau membuat persoalan menjadi lebih banyak.
Kemarahan yang terkontrol juga membuat kita siap untuk memaafkan kesalahan orang lain pada kita.
Jangan lupa, kita juga sering berbuat salah kepada orang lain, sengaja maupun tidak, disadari atau tidak.
Marah yang sehat juga biasanya lebih efektif, tujuan kita untuk memperbaiki keadaan atau mengubah perilaku bisa lebih tercapai. Jadi marahnya ada hasilnya.
Atau lebih baik lagi, ketika kita memberi kesempatan hati kita berdamai, kita bisa melihat masalah dengan lebih jernih sehingga kita sadar bahwa mungkin sejak awal kita sebetulnya tidak perlu marah, dan bahwa marah itu bukan solusinya.
Ternyata kita melihat bahwa solusi bahkan lebih cepat dicapai jika dihadapi dengan senyuman, pengertian, dan kerendahan hati.
Kemauan dan Usaha
Semoga marah tidak menguasai kita dan akhirnya membuat kita menyesal. Belajar mengelola kemarahan itu bisa, asal ada kemauan dan usaha dari kita.
Selamat berdamai dengan kehidupan. Mari memilih untuk lebih mudah bersukacita, karena Tuhan sangat mengasihi kita.
Ucapkan bye bye marah, dan welcome senyum, damai, pengertian, dan belas kasihan. Seperti kasih Tuhan pada kita, yang selalu mengampuni kita, yang selalu mencintai kita apa adanya.
Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu (Efesus 4:26)
Caecilia Triastuti Djiwandono