HIDUPKATOLIK.COM – SUDAH kurang lebih satu tahun saya menjadi biarawan. Menjadi biarawan bukanlah pilihan hidup yang mudah, yang oleh kebanyakan orang dipandang sebagai jalan hidup yang penuh berkat, yang tak menjumpai tantangan.
Memang soal memenuhi kebutuhan primer (yang kasat mata) kaum berjubah tidak terlalu sulit karena banyak orang baik yang menaruh perhatian pada kaum berjubah. Namun, soal suasana batin, kaum berjubah tak bisa mengelak dari bidikannya.
Suasana batin tentu terlalu luas untuk dibahas. Oleh karena itu, saya membatasi sharing ini pada relasi antara saya sebagai biarawan dengan keluarga saya. Selama saya berada dalam tembok biara, saya tak pernah pulang libur untuk berjumpa dengan keluarga.
Kami hanya saling berkomunikasi menggunakan media sosial. Tentunya rasa rindu untuk berjumpa selalu ada tetapi mau tidak mau, suka tidak suka inilah konsekuensi mutlak atas jalan hidup yang telah saya pilih.
Perihal relasi dengan keluarga – orang tua khususnya. Saya teringat akan suatu peristiwa yang sungguh berkesan bagi saya. Peristiwa ini terjadi saat saya bersama teman seangkatan saya sedang menjalani masa Novisiat di Depok, Jawa Barat. Selama menjalani masa Novisiat, kami tidak diijinkan untuk berkontak dengan orang tua, keluarga dan kenalan.
Di Novisiat, saya menempati kamar tidur yang letaknya dekat kantor magister (formator/pembimbing). Di kantor ini terdapat satu-satunya telepon rumah. Biasanya para tamu yang hendak berkunjung ke Novisiat, menghubungi atau mengabari kami lewat telepon itu.
Hingga pada suatu pagi, tanggal 22 Oktober 2021 Pukul 04.23 waktu setempat, telepon rumah itu berdering, hingga membuat saya terbangun dari tidur dan berjalan ke sumber bunyi itu disertai perasaan jengkel dan marah karena telah mengusik waktu tidur saya.
Saya pun mengangkat telepon itu, lalu saya mendengar suara dari si penelepon dengan nada yang terkesan tergesa-gesa, “Frater… bisa bicara dengan Frater Rio?” Sambil menguap saya pun bertanya, ini dengan siapa?
Dari seberang menjawab dengan nada tinggi, saya dari Bandung keluarga dari Frater Rio, ini sangat urgen. Kemudian saya memanggil Frater Rio yang kamarnya cukup jauh dari kantor.
Lalu Frater Rio mulai bercakap dengan keluarganya sedangkan saya tetap berdiri di sampingnya. Saya tentu mendengarkan percakapan mereka tetapi saya tidak mengerti karena mereka berkomunikasi dalam bahasa lokal.
Namun usai mereka berkomunikasi, Frater Rio memeluk saya sambil menangis, dan berkata, “Jello, ibu saya telah tiada; saya sudah tidak memiliki ibu lagi!” Lalu dengan spontan saya saya mengatakan Rio yang sabar ya, ingatlah ini ibuku adalah juga ibumu.
Ia pun berhenti menangis dan kami berdua beranjak kembali ke kamar kami masing-masing. Saat tiba di kamar, saya tidak bisa tidur lagi tetapi merenungkan kata-kata yang telah saya lontarkan kepada Frater Rio.
Dalam permenungan itu, saya kemudian teringat akan perkataan magister kepada saya saat bimbingan pribadi, “Jello saat kamu memutuskan untuk masuk dalam biara, maka kamu akan memiliki banyak keluarga, karena orang tuamu, keluargamu, juga merupakan keluarga dari saudara lain, begitupun sebaliknya”. Saya pun tersenyum bahagia.
Selain teringat akan pesan magister itu, saya pun berkomitmen untuk selalu menyelipkan orang tua, keluarga, dalam doa pribadi saya dan meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan mereka.
Dan sampai sekarang saya selalu setia mendoakan mereka. Karena merekalah harta yang tak tertandingi, seperti pula dikatakan dalam sebuah lirik lagu yang dinyanyikan Bunga Citra Lestari, “harta yang paling berharga adalah keluarga”.
(Catatan: Rio bukanlah nama asli dari saudara yang bersangkutan.)
Fr. Anjelinus Darmin, OFM
Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta