dr. Jodi Visnu, MPH : Dokter Filantropi bagi Masyarakat Kecil

1089
dr. Jodi Visnu saat memeriksa kesehatan seorang anak di Asmat, Papua/ Dok. Pribadi

HIDUPKATOLIK.COM – Profesinya sekarang memiliki potensi besar, tetapi minim insentif dan dukungan kebijakan.

 SEBUAH video ajakan kepada biarawan-biarawati untuk menjaga kesehatan beredar luas di beberapa group WhatsApp. Seorang dokter berpakaian anno berwarnah merah maroon memberi harapannya agar biarawan-biarawati wajib menjaga kesehatan agar terhindar dari Covid-19. Sebab, kata sang dokter, biara bisa menjadi cluster baru bagi penyebaran virus.

dr. Jodi Visnu / Dok. Pribadi

“Betul!biarawan-biarawati tidak bersentuhan dengan dunia luar.Tetapi jangan berpikir tidak terinfeksi. Nyatanya, ada orang yang positif tanpa gejala. Kalau satu yang tertular, biara akan menjadi cluster baru Covid-19,” ujar dr. Jodi Visnu.

Bagi dokter Jodi, antisipasi terhadap penyebaran Covid-19 adalah salah satu bentuk penyempurnaan iman. Mengapa menyasar kepada kaum religius? Jodi mengatakan, karena kaum religius adalah sosok teladan dan publik figur yang senantiasa memberi contoh yang baik bagi umat.

Pasien Kurang Mampu

Dokter Jodi mengawali karier kesehatannya di bidang pelayanan misioner untuk pasien kurang mampu di pinggiran Kota Jakarta. Ia melayani orang-orang kecil di Ibukota yang tidak mendapat perhatian di bidang kesehatan. Ironis, kata Jodi, ditengah gemerlap Ibukota, masih ada masyarakat yang tidak mendapatkan akses kesehatan. Ketika sakit, mereka lebih memilih membeli obat-obatan di warung. Kualitas obat diragukan, tanpa petunjuk penggunaan dokter. Bukan kesembuhan yang didapat, justru penyakit lain yang diderita. Rumah sakit adalah pilihan terakhir, pun kalau memiliki uang.

Kebesaran hati untuk melirik orang kecil membuat Jodi bertanya: Jakarta saja demikian, bagaimana dengan wilayah terpencil seperti Indonesia Timur? Apakah di sana akses kesehatan telah memadai? Bagaimana orang kecil bisa hidup sehat, bila ukuran kesehatan diukur lewat uang?

Rasa penasaran itu membawa Jodi tiba di Asmat, Papua, tahun 2012. Asmat menjadi pilihat utama karena di sana banyak pasien dengan mayoritas ekonomi lemah dan terbelakang. Saat tiba di Asmat, Jodi menyaksikan bagaimana penderitaan masyarakat kecil. Bukan semata soal akses kesehatan saja, tetapi wilayah yang menantang. Cuaca tidak menentu, juga penerimaan masyarakat terhadap pendatang.

Untuk mencapai tempat kerja, Jodi menggunakan speedboat dari Kota Asmat dan melewati gelombang dan badai. Belum lagi keterbatasan jaringan internet dan listrik. Selama bekerja, Jodi memanfaatkan bahan bakar seadanya untuk menghidupkan peralatan rumah sakit. “Tidak ada perawat. Dokter harus serba bisa. Banyak kasus yang ditemui, langsung ditangani. Tidak keburu melakukan rujukan ke rumah sakit lain,” ceritanya.

Di Asmat, Jodi seakan menemukan passionsebagai dokter.Lulusan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya tahun 2011 ini bercerita, tawaran ke Asmat datang dari Pastor Charles Carolus Burrows, OMI. Pastor Carolus menawarkan kepadanya untuk bergabung dalam organisasi Misereor (organisasi Katolik asal Jerman yang memerangi kemiskinan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin).

Tahun 2018, Jodi kembali lagi ke Asmat karena bencana gizi buruk. “Memperbaiki gizi itu bukan sekadar kasih makan saja, kemudian dia sehat. Ini butuh proses yang sangat panjang. Mereka butuh pemahaman gizi sehat secara turun-temurun,” tutur dokter yang saat ini menjadi konsultan di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada(UGM) Yogyakarta ini.

Penghargaan Tertinggi

Dari Papua, Jodi makin melebarkan sayap pelayanan. Beberapakali ia diundang untuk melayani di beberapa negara. Tahun 2017, Jodi menjalankan misi sosial di bidang pendidikan kesehatan di Beijing. Selanjutnya tahun 2018, Jodi juga memenuhi undangan untuk memberikan layanan medis kepada komunitas Katolik di Kenya, Afrika. “Di Kenya, saya melayani masyarakat kecil seperti di Asmat. Saya menikmati profesi ini,” ujarnya.

Idealisme, kerendahan hati, dan determinisme yang kuat adalah keutamaan yang bisa menggambarkan siapa dr. Jodi. Ia memiliki segudang pengalaman dan jaringan luas dengan orang-orang luar biasa di usianya yang masih terbilang muda, 34 tahun.

Segudang pengalaman dan panggilan terlibat bersama masyarakat kecil membuat ia diangkat menjadi Doctor on Boarduntuk salah satu maskapai tersohor Eropa Lufthansa German Airlines. Sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai perwakilan dari Indonesia untuk maskapai tersebut.

Tahun 2014, bersama rekannya dr. Asdi, mendirikan Divisi Estetika untuk melengkapi Klinik Intan yang saat itu hampir 20 tahun berkarya. Berbekal pendidikan estetika, Jodi siap melayani di Divisi Estetika.

Lulusan Doktoral di UGM ini tak pernah berhenti memberi edukasi kepada masyarakat kecil. Di tengah kesibukan bersama masyarakat kecil, Jodi masih menyempatkan menulis dua buku, Visit The Land of Cendrawasih: “Catatan Seorang Dokter Misioner”, tentang perjalanannya di Asmat dan otobiografi berjudul,“Jejak Langkah Kaki.”

“Saya percaya bahwa di atas kekuatan besar saya, ada kekuatan lain yang jauh lebih besar. Segala kekuatan yang saya mulai saat ini, saya percaya karena kekuatan Tuhan. Ia yang merencanakan semua ini,” tutur Jodi.

Dua Bidang

Setelah asam garam melayani di bidang kesehatan, Jodi melihat bahwa profesi kesehatan khususnya Health Marketing dan Health Philanthropyadalah profesi yang penting bagi Bangsa Indonesia. Bukan semata untuk mencari kekayaan, tetapi menjadikan diri bermanfaat bagi sesama. “Bukan soal uang yang utama, tetapi pemberian diri di tengah masyarakat,” sebut Jodi.

Maka itu, setelah menggondol sarjana, Jodi mengambil magisternya dengan fokus pada health marketing. Sedangkan disertasi doktoralnya fokus pada health filantropi. “Kedua studi ini memang tidak linier secara akademis. Tetapi seiring dengan perjalanan studi saya, keduanya saling berhubungan,” ungkapnya. Tujuan utama filantropi adalah membantu  masyarakat marginal yang kesulitan memperoleh akses kesehatan yang layak. Dan untuk mencapai itu, health marketing sangat penting.

Dalam berbagai proyek, kata Jodi, seorang filantropi kesehatan tidak hanya membuat proposal yang bagus untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Tetapi juga membangun relasi dengan berbagai pihak dengan pendekatan-pendekatan partisipatif. Saat ini tidak saja filantropi di bidang kesehatan, tetapi juga pendidikan. Ia mengajarkan ilmu-ilmu klinis ke anak-anak pedalaman baik di Papua maupun Afrika.

Sementara marketing kesehatan fokus pada usaha membantu masyarakat di bidang kesehatan dengan berbagai pihak lewat produk-produk kesehatan yang dibutuhkan. Dengan kode etik kedokteran, saya bisa membangun bisnis yang baik untuk orang-orang yang membutuhkannya.

Kelahiran Cilacap 1986 ini menambahkan saat ini ada banyak cara yang bisa dibuat untuk menjadi sehat. Dokter paling mujarab adalah diri sendiri. Dalam pengalaman Jodi, bernyanyi adalah salah satu cara yang bisa menyembuhkan diri.

Selain menjadi dokter, Jodi juga adalah singer yang cukup dikenal. Tahun 2001, ia beruntung menimbah ilmu pada maestro seriosa Indonesia (alm) Pranawengrum Katamsi di Cilacap. Tahun 2002, Jodi berkesempatan mengikuti orchestral conducting workshop di Melbourne dengan conducting sebagai bidang mayor dan biola sebagai bidang minor.

Karier dalam bidang musik klasik mulai lebih serius digeluti setelah menjuarai lomba seriosa mahasiswa tingkat nasional Peksiminas tahun 2006 di Makassar untuk mewakili DKI Jakarta, di mana saat itu Jodi masih berstatus sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya.

Tahun 2010, ia menyelesaikan diploma dalam bidang music performance di Cantata Institute of Arts Jakarta dengan predikat with first honor. Meski saat ini tinggal di Yogyakarta, Jodi masih berstatuskan sebagai anggota aktif paduan suara St. Peter’s Choir and Chamber di Gereja Katedral Jakarta.

“Saya tidak akan pernah lupa dokter kehidupan saya yaitu Yesus sendiri. Seberapa besar penyakit yang saya derita, Yesus adalah penyembuh utama. Saya hanya bisa membalas-Nya dengan pujian,” demikian dr. Jodi.

Yusti H. Wuarmanuk

dr. Jodi Visnu, MPH

 Ttl        : Cilacap, 22 Desember 1986

Pendidikan:

  • Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta, 2011
  • Diploma di bidang Music Performance di Cantata Institute of Arts Jakarta, 2010
  • Alumnus Indonesia Council of Medical Aesthetic (Physician Extender), Jakarta, 2014
  • Alumnus Aesthetic Dermatology Educational Group by National Skin Center, Singapura, 2014
  • Master of Public Health UGM, Yogyakarta, 2017
  • Doktor di bidang Health Philanthropy, UGM, Yogyakarta

Jabatan:

  • Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, UGM
  • Anggota Ikatan Dokter Indonesia
  • Anggota Perhimpunan Dokter Estetika Indonesia

Penghargaan:

  • Doctor on Board Lufthansa German Airlines, 2013

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini