Bermisi secara Digital

157

HIDUPKATOLIK.COM – MELALUI internet, kita mendapatkan begitu banyak informasi dengan begitu cepat dan mudah. Dengan jaringan internet, manusia di mana pjn berada di muka bumi ini dapat terhubung; melakuan percakapan atau perjumpaan virtual. Sejak ‘era pandemi’, dengan internet, kita bisa bekerja dari rumah atau anak-anak belajar dari rumah. Kita sudah mulai ‘terbiasa’ dengan cara baru bekerja/belajar dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi terkini.

Gereja pun tak bisa menutuo diri terhadap perkembangan global ini. Bahkan, dewasa ini, adalah sesuatu yang lumrah jika kegiatan menggereja atau pastoral dilangsungkan secara digital. Beribadan dari rumah. Tidak berhenti di situ. Orang-orang berlomba-lomba untuk masuk dalam dunia ini dengan membuat akun-akun sendiri dalam pelbaga platform. Selain karena berdampak secara finansial, proses pembuatan konten-konten digital, termasuk konten rohani, bukanlah perkara yang sulit. Orang-orang ditantang untuk berkreasi, mulai dari konten-konten kaleng-kaleng hingga konten-konten yang paling sofisticated. Ramalan futurolog John Naisbitt dan Patricia Aburdene seakan menjadi kenyataan saat ini. Tsunami informasi!

Maka, suka atau tidak suka, Gereja pun memang harus ‘menceburkan diri’ ke dalam dunia ini. Lebih spesifik lagi, berkatekese secara digital sudah menjadi tuntutan zaman ini. Langkah untuk masuk ke dunia digital tidak bisa dihentikan lagi. Jangan sampai terlalu jauh ketinggalan. Tidak hanya anak-anak, orang-orang dewasa pun secepat-cepatnya berselancar mencari jawaban atas banyak pertanyaan ke jejaring terhubung (www) itu.

Tantangannya ada di sini. Bagaimana mewartakan kabar sukacita sampai ke dunia maya? Bagaimana  memenuhi dunia digital dengan konten-konten yang positif, bahkan yang benar-benar bernuansa perwartaan kabar sukacita. Kegiatan misioner tak lagi terbatas secara fisik (mengutus misionaris) tetapi ‘perutusan’ atau pengiriman pesan-pesan misi secara daring (digital).

Bukan waktunya lagi melarang seorang anak misalnya untuk memegang gawai. Tidak mengherankan kalau seminaris, calon religius, calon rohaniwan, calon biarawan-biarawati ‘bersahabat’ dengan teknologi in. Kendati teknologi ini juga ambigu.

Maka, tugas kita sekarang ini adalah memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi ini secara baik dan benar. Para usernya perlu menyadari agar memanfaatkan alat tersebut secara dewasa dan bertanggung jawab. Untuk anak-anak perlu dibuat semacam aturan atau pemahaman agar mereka jangan sampai kecanduan yang berdampak buruk. Salah satu dampak buruknya, budaya cepat saji (budaya instan). Ingin serba cepat. Mengabaikan proses, kehilangan atau penumpulan daya nalar.

Disrupsi digital ini mendorong semua pihak di dalam Gereja untuk waspada terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini. Bagaimana mendesain karya misi (pewartaan) yang mampu menyentuh semua kalangan tanpa batas. Juga, bagaimana menanamkan semangat solidaritas dalam diri anak-anak agar mereka pun peduli dengan sesamanya, terutama mereka yang tersingkir dan termarjinalisasi? Dan, dengan teknologi digital ini, mereka dapat saling menolong: berdoa dan berderma. Jangan sampai mereka tercerabut dari akarnya.

HIDUP, Edisi No. 01, Tahun ke-76, Minggu, 2 Januari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini