Sarat Makna, Tradisi Natal Suku Marind

248
Perarakan patung Kanak-kanak Yesus di Paroki Wendu, Merauke, Papua pada setiap tanggal 26 Desember. (Foto: Helen Yovita Tael)

HIDUPKATOLIK.COM – Diiringi petikan gitar, tabuhan tifa, dan tari-tarian, mereka mengarak patung Kanak-kanak Yesus dari rumah ke rumah menuju pusat paroki. Terik mentari atau guyuran hujan tak menghalangi langkah-langkah mereka.

NATAL adalah salah satu momen terindah yang dinanti-nantikan sepanjang tahun oleh umat Kristiani. Pada awal bulan  Desember  mal-mal atau tempat-tempat tertentu sudah diwarnai oleh music/lagu atau hiasan Natal yang membawa sukacita.

Hari Natal memang selalu membawa kebahagiaan tersendiri bagi umat Kristiani di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia, termasuk di Papua, khususnya di Paroki Bunda Hati Kudus, Wendu, Keuskupan Agung Merauke. Selain berkumpul dan berdoa di gereja pada Misa Malam Natal, 24 Desember dan Hari Raya Natal, 25 Desember, umat Paroki Wendu — di wilayah paling Timur Indonesia —  memiliki tradisi unik pada setiap tanggal 26 Desember dalam memperingati kelahiran Sang Juru Selamat.

Pada hari ini, mereka mengarak patung Kanak-kanak Yesus secara meriah dari rumah ke rumah dalam suasana sakral dan agung. Konon, tradisi ini sudah berlangsung selama hampir setengah abad. Kebanyakan warga Paroki Wendu memang berasal dari Suku Marind. Dan, tradisi ini, menurut informasi yang dihimpun HIDUP dari sejumlah tokoh umat setempat, dapat bertahan hingga saat ini karena tradisi ini telah berakar dalam budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang sesuai dengan gaya hidup Suku Marind.

Orang Marind dikenal punya nilai-nilai kehidupan. Mereka bersatu dengan Allah melalui gerak, tari, dan nyayi. Mereka bersatu  membangun keharmonisan dengan leluhur, tete moyang  yang sudah meninggal namun dianggap masih bagian dari hubungan mereka dengan Allah. Mereka merawat keharmonisan dengan alam semesta dan persaudaraan dengan sesama.

Keluarga menyambut patung Kanak-kanak Yesus di gamav aha.

Persaudaran dalam karifan lokal Marind ini sangat padu-padan dengan persaudaraan Kristiani dalam Kitab Suci. Karenanya, makna perarakan patung Kanak-kanak Yesus bagi orang Marind sungguh-sungguh menyimpan makna mendalam setiap tahun. Dikisahkan bahwa iman akan Yesus diterima oleh orang Marind di pesisir pantai. Bagi mereka, Namek Yesus adalah Saudara mereka. Suatu kabahagiaan dan sukacita berlimpah menerima-Nya sebagai Saudara,Tuhan, dan juru Selamat. Anak cucu mereka harus bergembira menerima Yesus yang terungkap dalam simbol perarakan meriah ini.

Penerimaan patung Kanak-kanak Yesus merupakan tanda penerimaan untuk hidup berdampingan dengan yang lain: bahwasanya Yesus sudah masuk dalam budaya, rumah,  dan hati orang Marind. “Dia adalah Saudara kami, maka kami harus menerima-Nya dengan penuh persaudaraan dan sukacita,” kata Kamilus Mahuze, seorang tokoh umat yang ditemui di Wendu, beberapa waktu lalu.

Wendu terletak di pesisir pantai. Untuk sampai ke Paroki Bunda Hati Kudus ini dari pusat Kota Merauke, kita harus menyeberang Sungai Maro. Di atasnya terbentang jembatan tujuh wali-wali. Jarak tempuh mencapai 40 kilometer menggunakan kendaraan roda dua atau empat dengan waktu tempuh 1-1,5 jam. Jalan berlubang-lubang di sana-sini.

***

Konon, sejak 50 tahun lalu perarakan patung Kanak-kanak Yesus sudah dimulai. Seorang misionaris guru dari Kei, Provinsi Maluku bernama Natalis Temorubun  membawa dan memulai tradisi ini. Ia dikenal memiliki dedikasi yang sungguh-sungguh mengenalkan iman Katolik sebagai guru tetapi juga menyampaikan pewartaan. Tradisi inilah yang ia ajarkan kepada umat Katolik secara turun-temurun di tengah Suku Marind hingga saat ini.

Perarakan dimulai dari rumah ke rumah. Biasanya perarakan dengan berjalan kaki ini diawali sejak pukul 07.00 WIT, start dari rumah salah satu umat. Paroki Wendu memiliki empat stasi yaitu Stasi St. Yosep Serapu, Stasi Hati Kudus Yesus Notif, Stasi Maria Margareta Matara, Stasi St. Anastasius Doga Anasai. Masing-masing stasi akan membawa patung berarak-arakan dari rumah ke rumah mengelilingi masing-masing stasi.

Jarak stasi yang satu dengan stasi yan lain sampai pusat paroki sekitar 15 kilometer. Guyuran hujan atau panas terik tak akan menghalangi mereka melakukan perarakan ini.

Biasanya dari gereja, patung Kanak-kanak Yesus dibawa lewat laut hingga sampai di tempat tujuan keluar pertama. Di situlah sebagai titik awal, perarakan dimulai. Didahuli dengan doa, arak-arakan disemarakkan dengan petikan gitar, tabuhan tifa dan tari-tarian. Sebagian umat mendaraskan doa-doa.

Patung Kanak-kanak Yesus diletakkan dalam palungan. Patung dibawa oleh seorang perempuan dan laki-laki. Seorang muda berperan sebagai Maria dan seorang sebaagi Yosep. Keduanya memakai pakaian misdinar. Yosep akan memegang payung untuk melindungi patung Kanak-kanak Yesus dari hujan atau sengatan matahari.

Perarakan diikuti orang tua, dewasa, kaum muda, anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir yang digendong sekalipun akan berjalan kaki. Tete dan nenek yang sudah tidak kuat berjalan kaki biasanya menunggu di rumah untuk menerima kunjungan. Tapi, yang masih bisa jalan boleh ikut dari ujung ke ujung.

Sepanjang perjalanan, mereka tampak penuh sukacita  hingga sampai pada rumah yang sudah ada hiasan janur kuning. Janur kuning menandakan bahwa tuan rumah tersebut telah siap menerima kedatangan arakan-arakan patung Kanak-kanak Yesus.

Umumnya di satu rumah telah berkumpul sejumlah keluarga. Tidak hanya terdiri dari keluarga inti tapi juga keluarga jauh yang tidak punya persiapan dan mau bergabung dengan senang hati. Saat inilah momen yang  paling ditunggu.

Sejak pagi, keluarga memang sudah menunggu dan siap menerima kunjungan Kanak-kanak Yesus. Karena itu selalu ada rasa penasaran dan sukacita. Biasanya ada utusan dari keluarga untuk menyongsong perarakan sudah sampai di titik mana.

Keluarga menyediakan rumah kecil yang disebut gamav aha yang terpisah dari rumah tinggal untuk menerima dan meletakkan patung Kanak-kanak Yesus. Gamav aha dibangun di samping atau di halaman rumah. Bentuk dan ukuran rumah tinggal orang Marind dulu kecil. Atapnya terbuat dari daun sagu atau pohon bus. Pohon bus adalah salah satu pohon yang biasa digunakan untuk macam–macam hal. Semisal, membakar sagu sep, makanan lokal. Kulitnya dipergunakan menutup sagu sep ketika dibakar. Tradisi melestarikan rumah gamav aha sengaja diprogramkan supaya lebih dikenal oleh anak-anak muda zaman sekarang. Memasuki zaman peradaban modern gamav aha  berfungsi sebagai tempat berdoa dan berkumpul untuk menerima nasihat orang tua.

Ada keluarga yang menyiapkan palungan  atau Kandang Natal untuk meletakkan patung Kanak-kanak Yesus. Waktu singgah di setiap rumah berkisar 10-15 menit. Keluarga akan berdoa bersama dan memberi persembahan atau derma pada kotak yang telah disediakan.

Setelah itu, bagi sejumlah umat yang menghantar disediakan makanan dan minuman untuk dinikmati bersama. Jadi, mereka akan melanjutkan perjalanan tanpa kawatir akan kelaparan. Jika tiba di pusat paroki di waktu malam pun tidak menjadi masalah. Tapi selama ini pukul 16.00 WIT sudah sampai. Pada puncak perarakan pastor paroki menerima patung Kanak-kanak Yesus dan persembahan umat.

Karena rangkain perarakan ini dilihat sebagai kesatuan Ibadat Natal maka pembukaan di stasi merupakan pembukaan ibadat di gereja. Sehingga ketika sampai di gereja paroki, acara langsung dilanjutkan dengan pembacaan Kitab Suci, Renungan, dan Doa Aku Percaya, Komuni, dan Berkat Penutup kepada setiap keluarga. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah, makan bersama lagi kalau disediakan. Setelah itu, mereka akan kembali ke rumah masing-masing sambil membawa kabar sukacita: Penyelamat dunia telah datang!

Helen Yovita Tael (Merauke, Papua)

HIDUP, Edisi No. 51, Tahun ke-75, Minggu, 19 Desember 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini