Bruder MTB, “Saudara Pendidik” bagi yang Tersesat

245
Lima misionaris MTB pertama tiba di Singkawang, Kalimantan Barat tahun 1921.

HIDUPKATOLIK.COM – Pendidik berjiwa Fransiskan berarti menyembuhkan yang terluka, menyatukan yang remuk, terpecah-pecah, dan memanggil kembali yang tersesat.

SINGKAWANG, Borneo, 10 Maret 1921. Sebuah rumah reyot, tak layak huni berdiri tepat di pinggir pastoran. Lima bruder dari Belanda terpaksa menempati gubuk tua di tengah kebun karet milik seorang warga. Berkulit putih dengan jenggot tebal membuat mereka terasa asing di tengah masyarakat Dayak.

Malam pertama di Tanah Borneo seakan menjadi malam panjang bagi misi mereka. Di temani suara jangkrik dan gemerlapan kunang-kunang, para utusan dari Belanda ini tertegun dalam doa. Mereka saling menguatkan agar tidak putus asa di tengah situsi sulit ini. Dalam terang langit malam, kelimanya mencoba membenamkan mata, meski litani pertanyaan membayang di benak mereka.

Hari kedua di Borneo. Bruder Seraphinus van Tilborg, Bruder Maternus Brouwers, Bruder Longinus van Spreeuwel, dan Bruder Leo Geers mencoba mengejar mentari pagi Borneo. Hawa sejuk pepohonan bersatu dalam kilau embun pagi melahirkan harapan baru bagi mereka.  Mereka siap “turun gunung” mengatasi kesulitan untuk misi Kerajaan Allah.

Ragam Karya

Holland Chineese School (HCS) dan asrama sudah lama ditinggalkan. Para bruder tampil memberi “nafas” bagi sekolah itu seraya membangun rumah pertama yang selesai tahun 1923. Konstruksi bangunan pertama ini dirancang begitu kuat. Hingga sekarang masih berdiri megah yang difungsikan sebagai museum. Tiga tahun berselang, berdiri asrama Santa Maria. Tahun 1928 sebuah gedung baru HCS Santo Dyonisius berdiri. Gedung ini adalah cikal bakal SMP Bruder Singkawang.

Bruder Maternus Brouwers, MTB (duduk tengah) dan para murid pertama dari Singkawang, tahun 1924.

 

Lewat karya sekolah dan asrama, para bruder menyebarkan pengetahuan dan menebarkan iman. Di Pontianak para bruder memulai sekolah HCS Santo Mikael putra dan asrama tahun 1924. Sepuluh tahun kemudian Bruder Canisius membuka sekolah Tionghoa, Hoi Sen (Bintang Laut) di Siantan, seberang Sungai Kapuas. Atas permintaan orang Tionghoa yang kebanyakan pedagang kaya, berdirilah sekolah dagang dan sekolah Inggris (sekarang SD Melati). Bruder-bruder di Pontianak tidak hanya aktif di sekolah dan asrama, mereka juga mengadakan kegiatan di luar jam sekolah seperti kelompok kor, musik, dan pramuka.

Para bruder membuktikan bahwa penyelamatan Kristus juga untuk orang lain dengan aneka situasi dan kondisinya. Maka bulan Oktober 1935 lima Bruder MTB dari Pontianak membuka pos misi ketiga di Banjarmasin. Mereka mulai dengan HCS dan sesudah Perang Dunia (PD) II mendirikan Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO)setara SMP di zaman Belanda tahun 1948, berlanjut sebuah SMP lagi tahun 1952 dan SMA tahun 1956.

Selama di Banjarmasin Bruder Mauritius dipercayai mengajar di Universitas Lambung Mangkulat spesialisasi Hitung Dagang dan Tata Buku sambil mengembangkan metode “senang membaca”. Sebagai misionaris mereka ingin berbagi kebahagiaan dan mengungkapkan cinta Yesus kepada sesama.

Karya para bruder terus mengalir seperti darah Kristus tercurah di kayu salib. Tiga bruder dari Pontianak dikirim ke Blitar, Jawa Timur tahun 1939, kemudian membuka misi di Kudus (1940) guna membantu para pastor misionaris dari Kongregasi Misi (Congregatio Misia atau CM).

Tawanan Perang

Pengabdian Bruder MTB di tanah misi perlahan-lahan membawa hasil. Masyarakat di Singkawang, Pontianak, maupun Banjarmasin merasakan buah kehadiran mereka. Namun, situasi ini berubah ketika PD II: ancaman tentara Jepang. Banyak bruder ditawan dan diangkut ke Kucing, Serawak. Para bruder Banjarmasin mengungsi ke Blitar, tetapi akhirnya juga ditangkap dan ditawan di Cimahi, Bandung. Sebagai tawanan, mereka bekerja keras membangun jalan dan lapangan terbang. Siksaan demi siksaan membuat Bruder Claudius Sommen meninggal dunia. Dua bruder lain disiksa bak binantang di Kucing, hanya Bruder Leo Geers yang tidak disiksa karena fasih berbahasa Jepang.

Usai kekalahan Jepang, para bruder kembali ke Singkawang dan Pontianak. Ada juga beberapa bruder yang harus pulang Belanda karena perlu memulihkan kesehatannya. Bruder yang berasal dari Singkawang segera membersihkan rumah bruder dan sekolah. Di Pontianak pada Januari 1946, dimulai kegiatan di sekolah Siantan, Sekolah Dagang dan HCS St Mikael; bahkan bruder membuka asrama anak yatim piatu korban perang.

Sedangkan Banjarmasin, Bruder Libertus dan rekan-rekan pada Februari 1946 memulai lagi dengan kegiatan tatap muka di sekolah. Tetepi, misi Blitar dan Kudus yang tidak bisa diteruskan setelah perang berakhir. Hal ini disebabkan oleh situasi politik yang tidak menentu, lebih-lebih tenaga bruder tidak mencukupi.

Pengalaman menjadi tawanan perang tentu menyakitkan, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat para bruder melanjutkan misi. Sebagai puncak kerasulan, karya misi ini terus berjalan dengan dibukanya sekolah dan asrama di Nyarumkop tahun 1948 bersama bersama para imam Kapusin (OFMCap) dan Suster SFIC. Perhatian difokuskan pada anak-anak dari Suku Dayak. Mereka membuka kursus guru sekolah dasar, lalu mendirikan Sekolah Pendidikan Guru.

Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus (mengenakan mitra) bersama para imam dan para Bruder MTB yang berkarya di Pontianak, Kalimantan Barat.

Misi di Kudus dan Blitar dipindahkan ke Pati tahun 1951 untuk membantu karya pastoral para Imam Keluarga Kudus (MSF) yang mengelola SD-SMP Keluarga Pati dan sekolah di Juwana. Bruder Leo Jannsen mendirikan Wisma Alverna untuk kegiatan di luar sekolah berupa kerampilan memasak, menjahit, mengetik dan juga kesenian. Sekarang ini kegiatan Wisma Alverna diarahkan pada kursus komputer, Bahasa Ingris, dan menjahit.

Bila awal misi adalah pembentuk iman lewat sarana dan prasarana, para Bruder MTB merasa pentingnya pembentukan calon-calon bruder. Urgensinya adalah kondisi kesehatan para bruder asing mulai menurun sedangkan tidak ada pengganti dari Belanda dan bibit-bibit panggilan dari Indonesia. Tahun 1965 Bruderan Pati dijadikan rumah pendidikan calon bruder dan tahun 1968 dipindahkan ke Yogyakarta. Perlahan-lahan Kongregasi Bruder MTB mulai dikenal dan muncul pemuda-pemuda yang tertarik menjadi bruder MTB.

Dari sekian pemuda yang menjadi bruder, sejumlah kebutuhan karya bisa tertangani dengan baik. Tahun 2006, atas undangan Uskup Agung Merauke saat itu, Mgr. Nikolaus Adi Seputra, MSC, para bruder memulai misi di Merauke membantu sekolah dan asrama.

Pendidik Fransiskan

Gerak misi para Bruder MTB di Nusantara tak lepas dari tantangan. Walau begitu, para bruder percaya kepada penyelenggaraan Ilahi lewat sang pelindung Kongregasi Santa Perawan Maria Bunda Allah yang Dikandung Tanpa Noda. Berkat perlindungan Perawan Maria, para bruder dapat memberi bentuk yang sempurna kepada cita-cita religius dalam tugas khususnya, yaitu pendidikan Katolik bagi kaum muda.

Ada keyakinan bahwa Maria akan selalu mendengarkan dan berdoa bagi karya misi para bruder. Maria mendengarkan dan memandang apa yang terjadi pada dirinya, lantas dengan iman dan kerendahan hati memuji Allah dalam Magnificat.

Para Bruder MTB adalah “saudara pendidik” (Statuta, 71), diharapkan bukan sekadar profesi atau pekerjaan. Panggilan menjadi pendidik adalah sarana pembaktian diri kepada Allah dan manusia. Diharapkan menjadi pendidik seturut teladan Maria yaitu berusaha mengajarkan cinta kasih.

Cinta kasih yang mendalam ini disempurnakan lewat teladan hidup St. Fransiskus Assisi, peletak dasar spiritualitas Bruder MTB. Memilih Kongregasi ini berarti memilih kehidupan Injili seturut semangat Santo Fransiskus Assisi. Para Bruder diajak untuk tidak menempatkan diri lebih tinggi dari yang lain; bahkan sebaliknya selalu merendah. Dengan begini diharapkan lahirnya pertobatan batin yang mendalam yang kemudian hari melahirkan rekonsiliasi dengan Allah dan sesama. Santo Fransiskus terus-menerus  membangun relasi dengan Allah maka para bruder hendaknya setia mengabdikan diri kepada Allah dan sesama.

          Sebagai “saudara pendidik”, yang menghayati semangat Santo Fransiskus, para bruder tidak hanya mentransfer ilmu, moral, dan keutamaan atau ketrampilan fisik tetapi terus bertumbuh sesuai perubahan zaman dan bertransformasi. Konkretnya, semangat pendidik harus terungkap dalam karya pelayanan kepada orang miskin, termasuk yang lamban dalam belajar. “Justru di sinilah letak panggilan sebagai pendidik berjiwa Fransiskan: menyembuhkan yang terluka, menyatukan yang remuk ,terpecah-pecah, dan memanggil kembali yang tersesat” (AD 30).

Usaha memanggil kembali yang tersesat terbukti dalam ragam karya Bruder MTB baik di bidang sekolah, asrama, Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC), lembaga kursus dan pelatihan, rehabilitasi kusta, dan karya pastoral lainnya.  

 Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No.49, Tahun ke-75, Minggu, 5 Desember 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini